Di kalangan kampus UI Salemba memang masih tertinggal sebuah papan nama “Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru”. Namun, seiring dengan kepindahan sebagian besar warganya ke kampus Depok, sebuah arus migrasi mental pun menderas menyertainya. Sebuah pergeseran kesadaran diri dari pendukung “kampus perjuangan” ke “kampus pertukangan”. Inilah babak baru sejarah kampus di Indonesia. Sebuah desakan pragmatisme.
Apa salahnya dengan obsesi ini? Bahkan kampus-kampus di Amerika terimbas resesi ekonomi dan inflasi yang membumbung sejak tahun 1970-an, tersihir juga oleh godaan ke arah apa yang disebut dengan “the new vocationalism”. Tetapi respons Amerika terhadap tantangan ini sungguh berbeda secara diametral dengan apa yang muncul di sini. Dalam kesadaran para pendukung vokasionalisme baru di Amerika, hal yang paling krusial untuk segera ditangani dalam kaitannya dengan desakan pragmatisme ini justru masalah krisis literalisasi. Sehingga rekomendasi yang diajukan justru perlunya perluasan pengajaran menulis (writing) dan mengarang (composition). Kendati pengajaran literasi dalam konteks ini lebih berorientasi vokasional tetapi ada argumentasi mereka yang perlu kita renungkan: “Bahwa krisis literasi pada gilirannya akan memperlemah daya saing Amerika” (lihat Wald Godzich, The Culture of Literacy, Harvard University Press, Cambridge, 1994).
Teknis dan Statis (?)
Sekian banyak penganggur, sekian rentan perekonomian, dan sekian sengit kompetisi global, memang bisa dipahami bila ada dorongan ke arah kejuruan. Tetapi bayangan tentang kejuruan di sini masih seperti bayangan lama tentang tukang pemecah batu atau penarik pedati, di mana kebutuhan pelatihan berpikir sistematis, adu argumentasi dan antisipasi untuk suatu problem solving sama sekali tidak diperlukan. Sedemikian teknisnya bayangan kita tentang dunia kerja itu, sehingga ketika pendidikan digiring ke arah link and match, bayangan yang segera muncul adalah “skripsi tidak begitu penting, karena tidak semua orang menjadi akademisi dan belum tentu ada relevansinya dengan dunia kerja. Yang jauh lebih penting adalah permagangan”.Dalam pemahaman ini terkesan bahwa dunia kerja itu sedemikian statis, oleh karena itu untuk memenuhi pragmatisnya, dunia pendidikan tinggal memainkan peranan sebagai pemasok suku cadang “siap pakai”. Dengan demikian fungsi pendidikan bukanlah membentuk anak didik menjadi semacam “tanah liat” (yang secara fleksibel bisa memenuhi kebutuhan apa pun), tetapi langsung menjadikan mereka sebagai “batu bata”. Oleh karena itu, pembuatan skripsi dan aktivitas senada bukan saja memperlama poses pencetakan “suku cadang siap pakai”, tetapi juga dianggap kurang memiliki relevansi dengan praktis kerja. Universitas juga tidak perlu mendidik orang menjadi kritis, sebab orang semacam itu bukan saja sulit dibentuk, tetapi juga tidak ekonomis. Nah, kalau olahrgawan jelas perlu. Di samping siap pakai, juga bisa mendatangkan donatur dan sponsor.
Orientasi ini harus didukung oleh manajemen pendidikan. Tugas pimpinan perguruan tinggi bukanlah menjadi transforming leader yang dengan segala dedikasinya dan sikap kebapakan terus berperan sebagai pengayom dan tempat bertanya para mahasiswa, tetapi tak ubahnya bagaikan satpam pabrik-pabrik yang terus memantau gerak-gerik buruh agar mesin terus berjalan dan target produksi bisa tecapai. Bila sang buruh tidak disiplin atau mogok, yang ditinjau bukanlah sisi manajemen, melainkan pengurangan gaji dan pemecatan. Bila sekali mahasiswa atau dosen protes, sama sekali tidak ada alasan untuk meninjau kebijakan, tetapi jalan yang rasional adalah pemecatan.
Ini benar-benar suatu mimpi buruk. Suatu impian untuk membawa bangsa bergerak jauh ke masa depan, tetapi dengan cara dan pemahaman pendekatan zaman batu. Bukankah telah sering disebutkan bahwa revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa perubahan yang radikal dalam kinerja dunia kerja. Makin erat kaitan antara hasil-hasil litbang iptek dengan kegiatan sektor industri, dan juga kian padatnya kandungan pengetahuan dan teknologi di sektor produksi itu sendiri akan membawa perubahan yang signifikan dalam postur perusahaan dan struktur ketenagakerjaan. Yang akan terjadi adalah proses transformasi dari tekanan pada volume tinggi (high volume) menuju nilai tinggi (high value). Sehingga fokus utama dari perusahaan inti tidak lagi pada produk semata, tetapi lebih berpusat pada ilmu pengetahuan.
Kemampuan Beradaptasi
Kualifikasi sumber daya manusia yang memenuhi tantangan ini bukanlah berbasis pada kemampuan teknis, melainkan pada kemampuan beradaptasi secara berkesinambungan dengan proses-proses pemecahan masalah (problem solving), identifikasi masalah (problem identifying), dan dalam aktivitas layanan strategis (strategic-brokering activities). Tenaga-tenaga terampil dalam bidang ini sangat dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas penelitian terus-menerus guna menemukan model aplikasi baru, dan peningkatan kemampuan untuk memecahkan aneka problem yang muncul, membantu konsumen mengerti kebutuhan dan cara memenuhinya, serta berperan penting dalam menghubungkan antara problem solver dengan problem identifier.Pembacaan tersebut disertai pemahaman mengenai trend perkembangan teknologi yang makin memperpendek siklus-siklus produk dan jarak antarnegara---akibat perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi---memberi kita satu wawasan bahwa yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa den itu bukanlah pabrik “batu bata” tetapi justru proses penempaan tanah liat, dan bukan manusia teknis siap pakai, melainkan manusia yang berdaya adaptasi tinggi.
Sekadar ilustrasi, mungkin bisa dikemukakan temuan awal dari tim periset Papitek-LIPI. Dari hasil wawancara dengan beberapa perusahaan industri, untuk membandingkan kinerja lulusan SMU dan SM Kejuruan, terungkap bahwa lulusan sekolah umum justru lebih mampu beradaptasi dengan perkembangan-perkembangan baru.
Untuk memenuhi kualifikasi tersebut, proses yang harus dilalui jelas bukan hanya proses pemagangan, yang paling esensial justru pelatihan-pelatihan berpikir, pengalaman berstruktur (yang diorientasikan, dimodelkan), dan creative thinking. Dalam hal ini, pembudayaan tradisi riset, observasi lapangan, reportase, baca-tulis dan perdebatan kritis menjadi faktor pendukung yang sangat penting.
Bagi kondisi Indonesia di mana minat baca, pembiasaan riset dan tradisi menulis masih merupakan kemewahan, pembuatan skripsi merupakan usaha minimal untuk membudayakan tradisi ini. Usaha ini idealnya diperkuat secara intensif dan ekstensif, sehingga menjangkau komunitas yang sangat luas.
Memang, lewat berbagai upaya, pemerintah juga telah mengkampanyekan gerakan minat baca-tulis dan riset. Tetapi ironinya, justru di pusat-pusat peggeraknya itu sendiri, seperti di universitas-universitas kelas satu, yang menjadi jantung tradisi ini, justru skripsi mulai dimatikan.
Inkonsistensi memang masih sering terjadi dalam kebijakan pembangunan kita. Tetapi inkonsistensi dalam bidang pendidikan membawa ongkos yang mahabesar. Ia bersifat irreversible (tidak dapat diubah-ubah), secara psikologis bisa menimbulkan split personality (pecah kepribadian), secara sosiologis menimbulkan delinquency (penyimpangan), dan secara kultural ia bisa menyebabkan terjadinya cultural breakdown (kehancuran budaya). Maka berhati-hatilah.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar