Selepas peristiwa-peristiwa tersebut, sekonyong-konyong terdengar warta lain yang begitu spektakuler. Para pendukung dua sekte Sunni paling berpengaruh di Indonesia, yang selamanya terus bertengkar (NU-Muhammadiyah) bisa saling "berpacaran" di Yogyakarta, pada tanggal 13 November 1989, menjelang muktamar NU di pinggiran kota itu (Krapyak).
Selain itu semua, masih ada hal-hal lain yang tak boleh kita lupakan begitu saja. Perbedaan-perbedaan cetek (furu'iyyah) antara NU-Muhammadiyah yang biasanya dipertentangkan secara dramatis-tragis, belakangan, terutama di kalangan aktivis Islam kota, perbedaan-perbedaan tersebut semakin direlatifikasi, bahkan dipandang saling melengkapi. Yang dalam proses sosialisasinya kepada para jamaah, doktrin kedua belah pihak tadi sering diajarkan secara bergandengan. Dalam pada itu, ajaran-ajaran Syi'ah yang lazim ditolak secara apriori oleh umat Islam Indonesia, sekarang tampak kian merambah memasuki agenda kehidupan umat Islam di tanah air ini. Ini bisa dilihat dari kian gencarnya kajian-kajian tentang Syi'ah dilakukan serta makin larisnya buku-buku keagamaan yang ditulis oleh orang-orang yang berlatar Syi'ah.
Semua peristiwa tadi, dan masih banyak kejadian lain yang tak mungkin kita temukan satu per satu di sini, sekilas tampak seperti serpihan-serpihan lepas yang terpisah satu sama lain tanpa mengikuti suatu pola yang konsisten. Namun yang benar justru sebaliknya, peristiwa dan kecenderungan yang berlangsung akhir-akhir ini sesungguhnya saling berkaitan dan merupakan bagian dari fenomena keagamaan yang lebih besar dari profil Islam kekinian: mulai melunturnya fanatisme sektarian dan menipisnya sekat-sekat mazhabi, beriringan dengan bangkitnya kesadaran untuk berdialog di koridor keterbukaan.
Inilah implikasi penting dari rekayasa politik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru. Ketika stabilitas dan prediksibilitas politik telah menjadi satu-satunya standar etika politik yang halal, maka suratan tangan sejarah berikutnya segera bisa dibaca. Betapa saluran-saluran artikulasi politik Islam sungguh-sungguh mengalami disartikulatif. Kelembaman orpol Islam untuk menyuarakan aspirasi golongan-golongan kepentingan Islam, telah membawa bilur-bilur kekecewaan politik yang bermuara pada kembalinya pemuka-pemuka golongan tadi ke khittah perjuangannya semula: dari organisasi politik ke organisasi kemasyarakatan, dari gerakan politik ke gerakan kebudayaan, dari aksi-aksi massa ke aksi-aksi informasi, dari indoktrinasi paham kepartaian menuju penyadaran rekonstruksi pemikiran Islam.
Dalam gerak mundurnya ke khittah semula itulah mereka menemukan bahwa eksklusivisme dan fanatisme sektarian tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman. Telah tiba saatnya bagi masing-masing pihak untuk saling membuka diri dan saling melengkapi. Maka sekarang kita lihat dan kita saksikan sendiri, mereka mulai saling berjumpa dan saling dipersatukan, terutama bukan oleh usaha penyelesaian masalah bersama, melainkan lebih karena dihadapkan pada masalah bersama: krisis operasionalisasi ajaran agama dalam konteks sejarah yang semakin kompleks.
Adanya momentum perjumpaan antarmadzhab dan sekte-sekte tersebut sesungguhnya merupakan trend baru yang menjanjikan harapan-harapan yang menggembirakan. Sebab, sekecil apa pun, perjumpaan antarmadzhab dan sekte keagamaan selalu memuat proses hermeunetik yang mengantarkan ke arah pemahaman baru, baik bagi mazhab/sektenya sendiri maupun bagi mazhab/sekte yang lain. Selanjutnya, di arah pemahaman baru itulah kita menggantungkan harapan, semoga krisis operasionalisasi ajaran agama Islam yang terus bergayut selama ini lambat-laun bisa dicarikan.
***
Sementara sekte-sekte keagamaan tengah berusaha merumuskan kembali konsep dirinya lewat dialog, di sisi lain, pada wilayah keumatan, kita mencatat perkembangan baru dalam pola anut dan pola hubungan keagamaan. Tak terasa, pelaksanaan pembangunan yang begitu gencar di bidang komunikasi, transformasi, dan pendidikan---selama masa Orde Baru---ternyata telah mempercepat terjadinya proses mobilitas sosial dan mobilitas psikologis di ranah keumatan. Mobilitas umat menuju pusat-pusat produksi dan kota-kota, membawa serta perubahan perilaku dan orientasi nilai baru. Mobilitas orientasi studi "kaum santri" dan lembaga pendidikan Islam tradisional ke lembaga pendidikan "sekular", melahirkan perubahan pola pikir dan ideal type kaum santri. Sedangkan mobilitas psikologis umat yang dihipnotis oleh kian meluasnya media exposure, yang memperluas horizon empathy para aktivis Islam untuk bisa menyesuaikan diri dalam perjuangannya dengan dinamika perkembangan masyarakat serta tantangan-tantangan baru dunia yang semakin akut.
Dalam pusaran mobilitas sosial dan psikologis inilah umat Islam, terutama para remaja Islam kota, merasa dan menyadari bahwa visi-doktrinal yang ditawarkan oleh sekte-sekte keagamaan yang ada tidak sesuai dengan zeitgeist dan kebutuhan aktual masyarakat. Lalu, muncullah semacam rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan mereka terhadap sekte-sekte tersebut, yang pada gilirannya mendorong anak muda ini berpaling dari pola anut sektarian, lantas mencoba mencari peneguh nilai dan visi keagamaan yang dibutuhkan pada tokoh-tokoh agama yang mereka anggap mampu merepresentasikan ideal-ideal mereka. Maka, selanjutnya, kita mencatat tanggal 12 April 1990, 70 ribu orang mengitari Zainuddin M.Z. di stadion 10 November Surabaya. Tanggal 14 Juni 1990, lagi-lagi ratusan orang berkumpul di kantor Kedubes Iran (Jakarta) untuk mengelu-elukan almarhum Imam Khomeini---dalam peringatan satu tahun wafatnya beliau. Sedangkan di Salman ITB dan pusat-pusat kegiatan Islam lainnya, seperti yang dikonstatir oleh 'Imaduddin 'Abdulrahim dalam Pengantar Islam Alternatif, "Anak-anak muda telah terbagi menjadi dua: pengikut Nurcholish Madjid dan pengikut Jalaluddin Rakhmat." Dan bisa juga ditambahkan di sini: pengikut Abdurrahman Wahid (sebagai pribadi), pengikut Amien Rais, dan seterusnya.
Pengagungan terhadap tokoh, sejauh masih dalam batas-batas kewajaran, saya kira memang esensial dalam hidup ini. Akan tetapi, ceritanya jadi lain bila pengagungan tersebut telah menjurus ke arah fanatisme yang berlebihan. Dan celakanya, kecenderungan yang terakhir ini sungguh-sungguh terjadi dalam setting keumatan sekarang ini. Pada stadium dini, tendensi ini diperlihatkan oleh adanya semacam "perang dingin" antarfans tokoh yang satu dengan yang lainnya. Di mana masing-masing pihak sering bersitegang urat leher atau tidak siap "mendengarkan" apa pun yang dikatakan oleh tokoh lain. Sedangkan pada stadium yang lebih parah, tendensi ini diperlihatkan oleh munculnya apa yang disebut fenomena "Imam Majhul" alias orang-orang misterius yang secara membabi buta tunduk dan patuh melulu pada imam kelompoknya. Hal demikian, saya kira, bukan lagi suatu kewajaran melainkan sudah menjelma menjadi suatu patologi keagamaan yang merisaukan
***
Menjadi jelaslah sekarang, bahwa tumbuhnya gejala fanatisme berlebihan terhadap tokoh-tokoh tertentu keagamaan, sungguh-sungguh merupakan konsekuensi logis dari keterlambatan sekte-sekte keagamaan yang ada untuk segera merekonstruksi dan mereaktualisasi visi-doktrinal keagamaannya.
Maka dari itu, agar krisis patologi keagamaan tadi bisa dihilangkan, serta supaya sekte-sekte yang ada sekarang ini masih bisa berbicara banyak pada masa yang akan datang, maka dialog antarsekte/mazhab yang berlangsung sekarang ini harus dilanjutkan dengan usaha-usaha revisi dan reformalisasi visi-doktrinal keagamaan serta modus dakwah yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan aktual keumatan. Dan ini berarti: kerja keras![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar