Selasa, 06 Januari 2015

Tanggapan Agama atas Kondisi Sosial Politik

Syahdan ketika api pertempuran antara Persia dan Romawi tengah berkobar begitu sengitnya, tiba-tiba saja, bala tentara Persia diterjang kehabisan perbekalan. Kisra Anusyirwan---sang raja---tidak sabar lagi menanti tibanya suplai perbekalan dari ibu kota. Maka diutuslah Bazrajamhir ke sebuah negeri tetangga (yang menjadi pecundangnya) untuk menjamin harta penduduk negeri itu yang akan segera dikembalikan begitu perang usai.

Tersebutlah di pelosok negeri itu seorang tukang sepatu, yang ketika mendengar permintaan Kisra itu, bergegas menemui utusan dan menyerahkan uang sebanyak empat ribu Dirham. Ia tidak mengharapkan apa-apa atas dedikasinya ini, kecuali sebait permohonan kepada Kisra agar ia diizinkan mengajar anaknya sendiri. Ketika sang Kisra mendengar permohonan tukang sepatu itu, serta merta menolak dan memerintahkan utusan untuk mengembalikan uang tadi.

Kisra tidak pernah bermimpi ada ruangan pendidikan di luar jalur "formal" yang menyulitkan kontrol negara. Karena itu berarti membuka preseden bagi tumbuhnya kesadaran kritis masyarakat yang bisa meresahkan status quo.

Di sisi peristiwa lain, ketika berkecamuknya perang Nihawand---perang yang menentukan antara pasukan Muslim dan pasukan Persia---Kisra juga lagi-lagi memperagakan watak otoriternya, dengan cara merantai tentara-tentaranya. Terkadang sepuluh orang dirantai menjadi satu, kadang lima orang, agar mereka tidak melakukan desersi dari perang. Sehingga perang ini lebih dikenal dengan perang "pasukan yang dirantai".

Kisah-kisah di atas sekadar ilustrasi untuk menunjukkan betapa totaliternya negara Persia semasa Dinasti Sasanid. Nyaris tidak ada satu institusi kemasyarakatan pun pada masa itu yang luput dari kontrol dan kooptasi negara. Terlebih-lebih, institusi-institusi potensial yang bisa menyulut api pembangkangan senantiasa memperoleh pengawasan yang begitu ketat. Maka dalam konstelasi politik seperti itu, institusi agama bukan saja tidak memiliki kesanggupan untuk melakukan kontrol sosial, dia malah telah menjadi alat legitimasi yang efektif bagi segala kebijakan.

Di langit kerapuhan institusional dan impotensi doktrinal keagamaan seperti itulah, sesuatu yang tidak terduga, sekonyong-konyong membawa mimpi buruk bagi negara Zoroaster, sebagai agama resmi negara waktu itu, terpaksa mengalami pembelotan yang tak terpisahkan. Yakni, pembelotan Manu dan Mazdak. Manu terpengaruh oleh agama Masehi dan Buddha berusaha mendirikan agama gnostis baru, yang melenceng dari ajaran Zoroaster, melalui kecenderungannya untuk merepresentasi hawa nafsu, tidak makan daging, tidak minum minuman keras, tidak kawin, dan berbagai manifestasi aksetisme dan kesederhanaan hidup lainnya.

Upaya Manu ini meraih keberhasilan yang cukup fantastis, sehingga ajarannya berkembang menjadi agama yang memperoleh pengikut yang lebih banyak ketimbang Zoroaster. Meskipun pada akhirnya, Manu sendiri harus menebus "dosanya" itu dengan merelakan diri untuk dibunuh "negara".

Apabila agama Manu menyeru pada kehidupan sederhana dan aksetisme, maka pembelotan kedua lewat Mazdak mempunyai misi keagamaan yang sebaliknya. Agama baru ini menyeru pada pengumbaran hawa nafsu sepuas-puasnya, pemilikan bersama atas harta benda dan kaum wanita, peniadaan rasa dengki dan benci, penyatuan manusia atas landasan cinta serta penjauhan diri dari ambisi untuk berkompetisi. Menurut teori sosial agama Mazdak, Tuhan menurunkan rezeki di bumi ini untuk dibagi rata di antara hamba-hamba-Nya, di mana tiada seorang pun mendapat bagian yang lebih banyak dari yang lain. Sedangkan ketidaksamaan yang ada timbul karena kekuatan pedang. Ini terjadi karena dalam kehidupan ini manusia ingin memenuhi tuntutan dirinya sendiri dengan mengorbankan orang lain. Seperti halnya Manu, Mazdak pun memperoleh banyak pengikut, tapi akhirnya ia mati disalib. Para pengikutnya dikejar-kejar dan dianiaya, buku-buku keagamaannya dibakar.

Apa yang dilakukan Manu dan Mazdak dalam konteks negara Persia di masa lampau sekadar salah satu contoh yang bisa menunjukkan kepada kita bahwa, bilamana kekuasaan negara begitu hegemonik (mencengkeram ke segala arah), maka agama biasanya melakukan tanggapan melalui dua cara. Pertama, lewat pemberontakan secara frontal dari komunitas agama. Kedua, lewat cara metamorfosis atau reformulasi visi-doktrinal keagamaan. Sudut pandang inilah yang akan mengasah pisau analisis kita untuk mengkaji masalah hegemoni negara dan respons agama Islam dalam konteks Indonesia kekinian.

Tanggapan Islam

Oleh sebab-sebab yang diwariskan dari tradisi negara kolonial, serta kegagalan rezim Orde Lama untuk membentuk sistem politik dan ekonomi secara lebih demokratis, dilanjutkan oleh kepentingan pemerintah Orde Baru untuk mengamankan pembangunan ekonomi (modal asing) di bawah ideologi teknokratis-birokratis, maka sempurnalah negara Indonesia Orde Baru menjadi negara yang kuat (hegemonik). Dalam dasawarsa ini, sistem kemasyarakatan Indonesia berkembang sangat sentralistis, negara dalam posisi yang sangat dominan dan sangat menentukan dalam segenap segi kehidupan sosial sehari-hari.

Bila situasi demikian berkoeksidensi damai dengan kondisi agama Islam yang bercorak konservatif dan ortodoks, serta tidak berhenti dari pertikaian furu'iyah antara-pemeluknya, maka yang terjadi kemudian adalah semakin kuatnya artikulasi dan intervensi negara terhadap perikehidupan keagamaan, berbarengan dengan melemahnya artikulasi dan kekuatan tanding agama untuk melakukan kontrol dan transformasi sosial.

Impotensi agama vis a vis hegemoni negara inilah yang mendorong reaksi dua muka dari elemen-elemen progresif Islam. Pertama, pembangkangan secara frontal dari sekalangan komunitas agama seperti kasus "Tanjung Priok" dan GPK Warsidi. Kedua, lewat reformulasi dan reaktualisasi pemikiran Islam yang dilakukan oleh kalangan terpelajar Islam. Reaksi yang kedua inilah yang cukup realistis dan menjadi trend utama respons umat Islam Indonesia saat ini.

Bila kita amati secara saksama sebenarnya ada dua varian utama paradigma reaktualisasi pemikiran Islam saat ini. Pertama, paradigma "modernisasi Islam", dan kedua adalah paradigma "Islamisasi". Kalangan pertama berangkat dari asumsi bahwa impotensi Islam saat ini disebabkan oleh kebodohan, kepicikan berpikir, serta ketertutupan umatnya dalam memahami ajaran agamnya sendiri. Maka jawaban atas keprihatinan ini, kalangan "modernisasi Islam" cenderung melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman, tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi.

Jadi, bagi kalangan pendukung "modernisasi Islam", persoalannya adalah bagaimana dengan tradisi teks (Al-Quran dan Hadis) mengembangkan pesan Islam dalamm konteks perubahan dan konstelasi sosial politik yang mengungkungnya. Pemikiran Islam seperti yang ditampilkan kalangan pertama tadi berlainan sekali dengan kalangan pendukung "Islamisasi". Yang menjadi persoalan kalangan ini, bagaimana menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan konstelasi sosial politik.

Oleh karena itu, kalangan terakhir ini cenderung merumuskan ukuran normatif di berbagai bidang kehidupan sehingga ditemukan corak yang lebih "khas Islam". Kecenderungan seperti ini membuat wataknya sangat totalistik, sehingga dalam semua bidang kehidupan harus diresapi oleh norma Islam. Tidak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistik oleh paradigma ini.

Teologi Transformatif

Akhir-akhir ini, di kalangan cendekiawan Muslim, tampak ada kecenderungan baru dalam merumuskan persoalan apa yang lebih relevan dalam merespons kondisi sosial, politik dan ekonomi di negeri ini. Isu yang dikembangkan oleh yang terakhir ini, sebagai agenda pemikiran adalah bagaimana menjawab ketidakadilan sosial, ketimpangan struktural, membebaskan umat Islam dari belenggu kemiskinan, kebodohan dan kejumudan berpikir, di mana isu-isu tersebut tidak tertampung oleh dua paradigma di atas.

Moeslim Abdurrahman menyebut paradigma yang terakhir ini dengan "teologi transformatif". Bagi kalangan "teologi transformatif", realitas perlu ada dulu. Lalu, realitas ini dibaca dari kacamata Islam dan kemudian dicari praksisnya. Jadi, ada hubungan dialektis antara ideal-ideal Islam dengan realitas kognitif.

Sintesisnya adalah mengubah fakta itu sesuai dengan cita-cita. Jadi, transformasi yang diinginkan adalah bagaimana menghadirkan Islam dalam realitas. Bukan dengan cara melakukan "ayatisasi" yang formalistis seperti yang disampaikan kalangan "Islamisasi", bukan pula dengan melakukan penyesuaian antara idiom-idiom agama dengan perubahan sosial dan konstelasi politik yang ditampilkan kelompok pemikir "modernisasi Islam".

Substansi teologi transformatif adalah tidak bersifat ortodoksi, tetapi selalu terkait dengan ortopraksis, berwatak fasilitatif, dalam arti memberi fasilitas sebagai kerangka bacaan melihat realitas, tidak ada hubungan patron-klien dalam membaca kehendak Tuhan, mementingkan isi daripada wadah agama, dan menuju cita-cita mewujudkan masyarakat muttaqin, baldatun thayyibatun wa-Rabbun ghafûr. Amin![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar