Lubernya tempat-tempat peribadatan, berkembangnya kajian-kajian agama, meningkatnya volume pewartaan masalah keagamaan, serta makin meluasnya media komunikasi (informasi) keagamaan di tengah-tengah gemuruh mesin pembangunan yang memperkukuh cengkeraman imperium sains dan teknologi, bisa dijadikan indikator ke arah tendensi kebangkitan kembali agama-agama. Yang seolah-olah hendak menggemakan kesahihan hipotesis Will Durrant dalam The Lesson of History, yang mengatakan bahwa, "Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu bila telah dibunuh, pada kali pertama itu pula ia telah tewas untuk selama-lamanya, kecuali agama. Sekiranya ia seratus kali dibunuh, ia akan muncul lagi dan kembali hidup setelah itu."
Mengapa agama mesti hidup kembali? Sosok agama macam bagaimanakah yang kita butuhkan dalam reinkarnasi nanti? Itulah pokok perhatian yang dijelajah pada pembuka bagian ini.
Katastrofi Dunia
Hegemoni sains dan teknologi yang memicu revolusi industri dan revolusi informasi yang telah begitu lama mempersoalkan bangsa manusia, tampaknya dalam lima puluh tahun belakangan ini akan menampakkan watak yang paling tulennya, yang apabila tidak disokong dengan ide-ide mulia keagamaan akan terus membawa manusia menjadi setengah manusia. Manusia terhenyak dalam sisi crucial dari pokok persoalan sains dan teknologi. Di satu pihak, dia telah berhasil memberikan produksi melimpah dan konsumsi tinggi dalam ikhtiar memenuhi kebutuhan dasar biologisnya. Namun, di sisi lain dia mengabaikan kebutuhan lain manusia akan rasa keagamaan, kasih sayang, martabat kemanusiaan, dan nilai-nilai luhur seperti kebebasan, keadilan, dan tanggung jawab. "Sains-tek telah berhasil membawa kemajuan-kemajuan yang agung dan luhur di berbagai bidang kehidupan, tetapi di berbagai wilayah lain, seperti kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional dan internasional yang menyangkut hubungan serasi antarmanusia, kita masih primitif," ujar George Sarton dalam Six Wings, Men of Science.Persenyawaan antara sains-teknologis, keserakahan dan kejahatan, telah melambangkan proses katastrofi dunia yang terus menggedor jati diri manusia. Manusia dihadapkan pada rona-rona ancaman yang mengerikan: bencana kelaparan, pencemaran lingkungan, bubrahnya ekosistem, terkurasnya sumber-sumber alam, penggedoran norma-norma sosial, ancaman yang ditimbulkan oleh military industrial complex, armament system, beserta war system-nya yang diperlengkapi tidak kurang dari 50.000 bom nuklir (milik semua negara) yang sanggup menghancurkan dunia berkali-kali.
Sementara krisis nilai dan krisis spiritual telah melanda umat manusia, manusia telah begitu jauh menipu dirinya sendiri; mulutnya menawarkan perdamaian, sementara otak dan tangannya berlomba mempersiapkan senjata-senjata pemusnah. "Akal manusia telah mengalami kemajuan yang pesat, namun sayangnya, hati mereka masih tetap lemah. Padahal, hampir semua penyimpangan bersumber dari keadaan ini, yakni kuatnya akal dan lemahnya hati," keluh Alexis Carell dalam Misteri Manusia.
Melihat kenyataan serupa itu, mereka tersadar akan adanya ancaman dari suatu mutasi peradaban yang ekspresinya, antara lain, kita saksikan pada iring-iringan para pemuda, mahasiswa, dan kaum buruh di berbagai negara Eropa dan Amerika yang memprotes penanaman nuklir di tanah air mereka, apa pun alasannya. Atau pada kecenderungan yang berkembang di kalangan intelektual di Negara Paman Sam yang mulai meludahi peradaban teknologinya, juga pada lingkungan para pemikir di Uni Soviet yang penuh waswas mulai mempermasalahkan dasar-dasar mistik dari segala macam kemajuan.
Krisis Terapeutik
Berbagai upaya untuk mengeluarkan umat manusia dari sirkuit kemelut tadi telah ditempuh lewat kapitalisme, sosialisme, demokrasi, PBB, pendidikan, dan lain-lain. Tapi sayangnya semua itu belum memiliki kekuatan yang menyembuhkan (curative power). Alasannya bisa juga, karena landasan epistemologis ideologi-ideologi penyembuh tadi terlampau jauh terjebak pada pendekatan empiris, rasional, dan sekular yang dengan sendirinya sangat terjerat oleh urusan objektivitas. Padahal, objektivisme yang berlebihan senantiasa berbenturan dengan subjektivisme, mengingkari perseorangan (depersonalization) berarti juga mengurangi cita rasa kemanusiaan (dehumanization) yang pada akhirnya mengakibatkan ketidaksanggupan seseorang untuk mengenali dirinya sendiri dan makna hidupnya, atau mengalami apa yang disebut alienasi.Spiritualisme pun pada akhirnya hanya dijadikan sebagai sarana perlindungan yang paling memuaskan dan memberikan keamanan psiko-spiritual perseorangan, tapi tercerabut dari akar masyarakat atau umatnya secara keseluruhan. Dalam tingkat yang lebih ekstrem lagi, pemuasan psikologis yang berselubung spiritualitas itu bukan mustahil akan menggiring penganutnya untuk mengklaim diri sebagai pemilik semesta kebenaran dan kesempurnaan. Inilah yang memunculkan pengkorupan bidang kehidupan manusia yang dengan kenaifannya ingin merangkum semesta ketuhanan dalam biografi hidupnya. Hal ini pulalah sesungguhnya yang menjadi akar pelbagai krisis yang menghunjam dengan amat mendalam ke dalam kehidupan masyarakat modern.
Dalam drama kehidupan seperti itu, gejala bahwa konflik ruhani dan sakit jiwa lebih banyak menghinggapi masyarakat mutakhir yang pada stadium lebih lanjut melahirkan sejenis bohemianism seperti: hipisisme, pemadatan (narkotika), nudist club, hooliganism, ekstremisme dalam ideologi-politik, dan sebagainya. Sehingga matahari penyadaran pun dengan susah payah muncul di balik kelamnya awan spiritualitas manusia modern. Hal lain yang kemudian muncul adalah gejala makin tertariknya orang-orang pada pemikiran-pemikiran spekulatif, telaah-telaah keagamaan, pengajian-pengajian, dan berbagai bentuk kritik lainnya. Ini menjadi sisi dramatis lain yang kalau kita cermati sisi positifnya menjadi cermin kerinduan manusia untuk keluar dari krisis kemanusiaan yang akut ini.
Juru Selamat
"Daripada waktu yang tinggal beberapa tahun ini diisi dengan menangisi hari kemarin, lebih baik selekas-lekasnya diciptakan suatu filsafat dunia baru, yang lebih mampu menyelamatkan nasib umat manusia dari ancaman kehancuran," ujar Prof. Louis Armand (seorang filosof Prancis). Sementara itu, Pitirim A. Sorokin, mengemukakan bahwa penyembuhan (baca: filosofi) yang akan berhasil menciptakan tata kehidupan baru bagi manusia harus ditransformasikan ke dalam suatu tingkat kesadaran baru yang disebut "supraconcious level" yang di dalamnya berkembang suatu fase keruhanian yang dalam.Senapas dengan itu, Toynbee---dalam dialognya dengan Ikeda---sampai pada kesimpulan yang hampir sama dengan Sorokin. Menurut mereka, bangsa manusia telah disatukan secara sosial, untuk pertama kalinya dalam sejarah oleh penyebaran secara mundial peradaban modern (menurut asalnya, peradaban Barat) dengan segala aspek negatifnya. Masa depan agama muncul untuk menjadi juru selamat terhadap iklim sang hidup yang bobrok. Agama di masa depan tidak harus merupakan agama yang sama sekali baru. Hal itu bisa saja merupakan versi baru dari agama lama. Tetapi, apabila agama lama harus dihidupkan dalam suatu bentuk yang mampu menjawab kebutuhan manusia, kiranya mungkin bahwa agama tersebut harus ditransformasikan secara radikal. Toynbee berharap, agama baru tersebut adalah agama yang memungkinkan manusia mengatasi kejahatan yang mengancam kelestarian hidupnya. Kejahatan yang mengerikan adalah keserakahan, perang, dan ketidakadilan sosial. Kejahatan baru yang lebih mengerikan adalah lingkungan artifisial yang diciptakan bangsa manusia lewat penerangan ilmu pada teknologi untuk memuaskan keserakahan.
Apa yang Mesti Dilakukan?
Dari beberapa gambaran di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sains dan teknologi yang melulu menekankan pendekatan empiris, rasional, dan sekular bisa menghancurkan kelangsungan hidup umat manusia dan oleh karenanya terpaksa tidak bisanya dinyatakan bebas dari pengendalian nilai (etos), moral dan estetis.Menilik hal itu, intervensi agama guna mengontrol dan membimbing rasionalitas sains-teknologis yang kering akan nilai-nilai spiritual menjadi suatu condition sine qua non. Di lain pihak, agar kemajuan agama-agama di masa datang bisa membawa rahmat bagi kehidupan umat manusia, maka aktualisasi pesan (risalah) keagamaan yang kita harus kembangkan dalam konteks masyarakat dunia yang sudah demikian kompleks dan specialized, mesti mulai beranjak dari penekanan yang terlampau berlebihan pada dimensi ritual (seperti yang dikembangkan di lingkungan pemuka agama tradisional) dan dimensi intelektual (yang berkecambah di kalangan pemuka modernis) ke dimensi mistikal (moral) dan dimensi sosial keagamaan.
Selain itu, tendensi agama di masa depan hendaknya lebih memberikan tekanan kepada ortopraksis ketimbang ortodoksi. Praksis dalam arti penuhnya selalu memuat refleksi yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas.
Singkat madah, bagaimana agama-agama tadi mampu memberikan daya baca terhadap perikehidupan yang sedang dijalani, daya dorong terhadap penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan, serta kemampuannya untuk menjabarkan misinya, merangsang orientasi kosmopolit yang kesanggupannya untuk terus-menerus menemukan makna risalahnya dalam konteks sosiokultural yang konkret merupakan tantangan dan syarat hidupnya kembali agama-agama di masa depan. Wallâhu a'lam bish-shawâb![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar