Kita tidak tahu, apakah Hamka menjawab pertanyaan itu secara serius atau main-main. Yang pasti, jawaban seperti itu memperoleh pemeluk yang luas di kalangan umat, bahkan sering dijadikan "senjata pamungkas" yang digunakan sebagai referensi bersama dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan senada. Tentang apakah jawaban demikian sahih atau tidak, itu tidak dipersoalkan. Menerima tanpa sikap kritis memang telah lama menjadi bagian kehidupan beragama kita sehari-hari.
Dengan sikap begitu, umat berpegang teguh pada suatu pendapat atau tradisi, bukan karena kualitas validitas atau keunggulan pendapat dan tradisi tersebut, melainkan semata-mata karena keyakinan dan kebiasaan. Sementara keyakinan dan kebiasaan itu sendiri diperlukan sebagai "kata putus" yang tidak perlu dipertanyakan lagi keabsahan dan relevansinya. Bila kemudian muncul pertanyaan kritis terhadap keyakinan dan kebiasaan tadi, maka jawaban yang lahir kemudian adalah jawaban-jawaban apologetis, yang dikemas dalam slogan loyalitas yang tidak menjanjikan daya reflektif dan korektif. Dalam hal ini, meskipun jawaban-jawaban apologetis memang mampu membangkitkan semangat dan rasa puas diri, akan tetapi, lebih dari itu, ia sesungguhnya tidak mampu menghasilkan pemahaman sejati yang dapat menunjukkan inti persoalan serta jalan menuju rangkaian pemecahan yang sungguh-sungguh baru.
Keagamaan dengan semangat apologetis biasanya disertai sikap pasif dalam memperlakukan teks (Al-Quran dan Hadis). Teks dianggap mempunyai self-operation untuk membumikan dirinya sendiri dalam dunia objektif, tanpa usaha kreatif manusia. Menurut kepercayaan ini, bila Tuhan berfirman bahwa shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar, maka dengan sendirinya setiap orang yang mengerjakan shalat---bagaimanapun kualitasnya---niscaya terjaga dari kemungkinan berbuat keji dan mungkar. Jika kemudian kedapatan ada seorang yang rajin shalat tapi juga rajin berbuat keji dan mungkar, maka persoalannya tidak dicari pada kualitas pemahaman dan praktik shalat orang yang bersangkutan melainkan biasanya dilacak pada tebal-tipisnya potensi kekejian dan kemungkaran yang disandangnya. Oleh karena itu, terapi yang dianjurkannya adalah perbanyaklah shalat, bukan perbaikilah shalat.
Implikasi buruk dari pemahaman seperti ini membuat umat Islam sering kali terjebak dalam kerangka pemahaman dan praktik ibadah yang statis dan involutif, alias melingkar-lingkar dalam pendekatan dan kualitas yang sama tanpa dinamika pembaruan dan penyempurnaan. Hal ini akan menyeret banyak orang Islam yang mengerjakan ibadah sebatas "puraga tamba kadenda" (asal menjalankan perintah dan tidak merasa berdosa) saja tanpa dilandasi pemahaman yang komprehensif serta semangat ketakwaan yang mendalam.
Tak heran jika yang tercipta kemudian adalah situasi yang a-synchron antara janji-janji ideal (Al-Quran dan Hadis) dengan kenyataan sejarah (kenyataan objektif); antara janji bahwa shalat bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar dengan kenyataan semakin berkembangnya praktik-praktik keji dan mungkar, antara janji bahwa puasa itu bisa melumpuhkan hawa nafsu dengan realitas kian diperbudaknya manusia oleh hawa nafsu, antara janji bahwa zakat itu sebagai pemicu semangat pembebasan dengan kenyataan kian meluasnya tindakan-tindakan eksploitatif, antara janji bahwa ibadah haji itu sebagai ekspresi solidaritas antarbangsa dengan realitas dijadikannya ibadah haji sebagai wahana pertikaian antarbangsa.
Jika firman Allah dan hadis Nabi kita terima sebagai sesuatu yang niscaya benar, maka jelaslah bahwa situasi-situasi yang a-synchron tadi bukanlah cermin dari "bohongnya" janji Allah, melainkan sepenuhnya disebabkan oleh falasi tradisi pemahaman dan praktik ibadah kita sehari-hari.
Kenyataan inilah yang mendorong kita untuk merasa perlu menemukan visi baru tentang ibadah.
Beribadahlah dengan "Cinta"!
Visi (vision) menurut Webster's New Collegiate Dictionary berarti the act of power of imagination dan/atau unusual discernment of foresight. Atau secara bebas dapat dikatakan bahwa visi adalah suatu kekuatan ruhani/akal budi manusia dalam membaca tanda-tanda. Dengan demikian, visi baru tentang ibadah mesti diartikan sebagai suatu reinterpretasi atau pembacaan baru terhadap ibadah, sehubungan dengan tidak memadainya lagi tradisi (pemahaman lama) dalam kompleksitas problem masa kini.Visi baru tentang ibadah yang kita butuhkan itu sesungguhnya telah lama tersedia, namun segera terbenam dibelam kelamnya sejarah umat. Visi yang dimaksud adalah hadis Nabi yang berbunyi: "Beribadahlah kamu kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, kalaupun kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya kamu dilihat-Nya." Melihat adalah simbol dari perasaan "cinta" pada-Nya, sedangkan dilihat adalah simbol dari perasaan "takut" pada-Nya. Beribadah dengan rasa takut tentu saja bukan suatu kesesatan, tetapi yang terbaik adalah beribadah dengan rasa "cinta".
Atas dasar inilah Muhammad Iqbal memandang bahwa di dalam beribadah, pertemuan antara manusia dan Tuhannya bukan merupakan pertemuan antara seorang budak dengan majikan, melainkan lebih merupakan perjumpaan antara kekasih dan kekasihnya. Bagi Iqbal, beribadah dalam sikap dan kesadaran budak tidaklah autentik dan kosong dari moralitas. Karena dengan sikap seperti itu, manusia tidaklah bebas berkomunikasi dengan Tuhannya, yang pada gilirannya akan bermuara pada kematian kreativitas sang ego (pribadi). Ibadah adalah alat untuk mencapai imortalitas untuk mengatasi keterbatasan, dengan menyadari kemungkinan ego manusia yang tak terhingga. Dalam hal ini, hanya manusia bebaslah yang mampu melampaui batas-batas ruang dan waktu. Dan itu hanya bisa dicapai dalam sikap dan kesadaran "cinta".
Dalam kesadaran "cinta", ibadah tidaklah berarti semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak Ilahi, tetapi secara aktif berusaha memahami, mencerap, dan menciptakan sifat-sifat Ilahiah dalam realitas sejarah. Dengan begitu, dalam beribadah secara "cinta" orang terus-menerus berada dalam situasi dialogis, antara upaya untuk mensubjektifkan (mentransendensikan) segala objek, dengan usaha untuk mengobjektifkan segala pengalaman subjektif (nûr Ilâhiyyah) dalam kehidupan nyata.
Subjektivikasi mencapai puncaknya pada pengalaman ma'rifat. Dalam ma'rifat, manusia bisa mengintegrasikan seluruh realitas objektif ke haribaan Allah yang subjektif secara "mesra". Adapun objektivikasi meraih optimalisasinya pada pengalaman hakikat, di mana manusia yang telah mencapai nûr Ilâhiyyah itu kembali ke bumi untuk menyebarkan rahmat tuhan ke seluruh pelosok dunia.
Contoh: Rukun Islam
Demikianlah, dalam visi baru ini, ibadah dan teks selalu dihadapi dengan usaha kreatif manusia yang aktif. Sehingga dengan usaha kreatif seperti itu, akan tampaklah bahwa setiap perintah ibadah dalam Islam sesungguhnya selalu memuat dimensi vertikal (subjektif) dan dimensi horizontal (objektif) sekaligus. Sebagai contoh, akan kita lihat kedua dimensi tersebut dalam rukun Islam yang lima. Rukun Islam yang pertama adalah syahadat. Ia sesungguhnya modal dasar primer bagi pembinaan pribadi yang autentik lewat dua komitmen sekaligus. Pertama, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Kedua, bahwa Nabi Muhammad sebagai duta Allah. Lewat komitmen pertama sesungguhnya merupakan usaha liberalisasi pribadi Muslim dengan jalan mengakui---hanya Allahlah yang mutlak, sementara yang lainnya hanyalah nisbi semata. Dengan begitu, setiap pribadi Muslim tidak akan mentolerir tindakan eksploitatif, apa pun ekspresinya. Sedangkan komitmen kedua, merupakan upaya humanisasi kehidupan. Dengan menyadari bahwa Nabi Muhammad sebagai duta Allah, pribadi Muslim akan menyadari bahwa dirinya pun adalah khalifah di muka bumi yang bertugas untuk menyebarkan rahmat Allah di seru sekalian alam.Setelah menyadari posisi dan tugasnya, pribadi Muslim lantas, dianjurkan untuk mengerjakan shalat. Secara vertikal, shalat sesungguhnya merupakan ekspresi tobat---yakni berpaling dari kegelapan dan kesalahan dari masa lalu ke kebenaran yang terang benderang dalam diri masa depan. Ini adalah usaha korektif terhadap masa lalu agar cahaya cinta bersemayam di dalam hati masa depan. Cahaya cinta ini kemudian disebarkan secara horizontal kepada anggota keluarga. Itulah sebabnya, shalat wajib itu lebih utama jika dilakukan secara berjamaah, dan jamaah yang terbaik antara shalat lima waktu adalah jamaah keluarga. Dengan begitu, shalat juga berarti media pembinaan keluarga Muslim.
Selepas shalat, pribadi Muslim dianjurkan untuk berpuasa. Di dalam puasa mereka dilatih untuk bersabar dan bersyukur. Kesedihan akan kekurangan masa kini harus diganti dengan sikap sabar. Sedangkan kegembiraan dan kelimpahruahan masa kini harus disertai rasa syukur (dimensi vertikal). Kekurangan dan kelebihan masa kini adalah cobaan untuk menguji keteguhan diri dalam mencari kebenaran cinta. Maka ketika ketabahan diri semakin kuat, pribadi Muslim dianjurkan untuk semakin meluaskan cahaya cintanya ke lingkungan yang lebih luas (masyarakat). Puasa Ramadhan adalah sarana terbaik untuk pembinaan masyarakat. Itulah sebabnya, puasa Ramadhan disertai dengan taraweh, yang pelaksanaannya lebih utama jika dilakukan secara berjamaah dengan lingkungan masyarakat setempat.
Ketabahan masa kini akan terus diuji di masa depan. Maka sikap yang benar dalam menghadapi masa depan adalah takut terhadap laknat Tuhan (gelapnya cahaya cinta) berbarengan dengan harapan akan tumbuhnya rahmat Tuhan (terangnya cahaya cinta). Untuk itu, manusia dianjurkan untuk menunaikan zakat. Zakat melatih sikap fakir dan prihatin (zuhud). Sikap fakir berarti kesadaran sepenuhnya bahwa diri kita pada hakikatnya tidak mempunyai apa-apa. Karena apa pun yang kita peroleh sesungguhnya merupakan amanat Allah. Maka dari itu, kita mesti bersikap zuhud alias meninggalkan tarikan keinginan untuk berfoya-foya dan ambisi untuk berlimpah, dengan jalan membagikan sebagian dari harta kepada orang lain yang berhak menerimanya. Pemberian zakat tidaklah efektif jika tidak dilaksanakan secara terorganisasi dalam skala besar. Organisasi yang relevan untuk melaksanakan pemungutan, penyimpanan, dan pemanfaatan zakat adalah organisasi dalam skala nasional. Oleh karena itu, zakat juga berarti media pembinaan solidaritas nasional dan kesadaran kebangsaan.
Bila cahaya cinta bisa dipelihara dari tarikan-tarikan semangat kebendaan lewat zakat, maka puncak dari segala rasa cinta itu berkulminasi pada sikap tawhîd dan tawakkal. Sikap tauhid mengembalikan sebab segala cinta kepada sumbernya yang Satu dan Maha Pencinta. Sedangkan sikap tawakal mengembalikan segala akhir dari segala rasa cinta kepada sumber yang sama. Puncak dari sikap tauhid dan tawakal ini memperoleh tempatnya pada ibadah haji. Dalam ibadah haji terangkum puncak-puncak "cinta vertikal" dan "cinta horizontal" dalam suatu tauhid ibadah dan tauhid umat. Tauhidul ibadah berarti penyatuan dari berbagai praktik ibadah dalam suatu momen aksi. Sedangkan tauhidul ummah berarti penyatuan rasa solidaritas keumatan secara global dalam suatu momen aksi (untuk diskusi lebih luas mengenai rukun Islam ini bisa dilihat di buku karya Armahedi Mahzar, Integralisme).
Dari uraian di atas menjadi jelas bagi kita semua bahwa janji-janji Allah bukan suatu hipostase yang lepas dari unsur kreatif manusia. Hanya dengan usaha kreatif yang terus-meneruslah janji-janji Allah itu terealisasikan secara sinkron dengan realitas. Itulah visi baru tentang ibadah. Wallâhu a'lam bish-shawâb![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar