Rabu, 07 Januari 2015

Krisis Islam dan Keterbukaan

Revolusi informasi yang bergerak secara cepat dalam dekade terakhir ini, telah memberi kemungkinan dan akses yang lebih luas bagi umat Islam Indonesia untuk belajar tentang pengalaman perjuangan, keberhasilan dan kegagalan bangsa-bangsa lainnya di belahan dunia sana.

Gerak mundur dari gelanggang politik serta daya dorong yang diberikan revolusi informasi terhadap kemampuan empathy (kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan dunia) umat Islam inilah yang pada gilirannya melahirkan kesadaran reflektif mereka akan posisi dirinya. Sementara setting kemasyarakatan serta peran kesejarahan yang diembannya bersentuhan dengan kian meningkatnya harapan bersama untuk meningkatkan kontribusi keagamaannya dalam proses transformasi masyarakat Indonesia di masa kini dan masa depan.

Di sinilah mereka menemukan bahwa fanatisme sektarian yang kerap kali menyeret umat Islam ke dalam kancah pertikaian internal tidak cocok lagi dengan semangat zaman. Telah tiba saatnya bagi para pengikut mazhab dan sekte-sekte tersebut untuk saling membuka diri dan saling mengerti. Sekarang kita saksikan sendiri, mereka mulai saling berjumpa dan saling dipersatukan bukan oleh penyelesaian bersama, melainkan lebih oleh karena masalah bersama: bagaimana mengatasi krisis operasionalisasi ajaran agama dalam konteks dunia yang terus berubah.

Krisis Operasionalisasi Ajaran

Tak pelak lagi, eksistensi suatu agama di pentas sejarah ditentukan oleh seberapa jauh kemampuannya untuk memberikan makna pada hidup manusia dan seberapa besar kesanggupannya untuk turut menyelesaikan masalah-masalah aktual kemanusiaan di satu sisi, serta ditentukan pula oleh sosok penghayatan religiositas, sikap, dan perilaku keagamaan para pemeluknya di sisi lain.

Oleh karena itu, bila sekarang muncul berbagai kritik yang berkisar pada masalah kian surutnya kontribusi agama bagi upaya transformasi masyarakat (misalnya, agama dinilai tidak memberikan 'ruh' bagi kehidupan pemeluknya), maka masalahnya perlu dicarikan pada hubungan antara dua sisi tadi.

Dalam hubungan inilah kita menjumpai bahwa masalah-masalah fanatisme sektarian dan sekat-sekat mazhabi yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang telah menyita energi kreatif umat Islam (terlebih-lebih para pemuka agama) untuk melulu mencarikan jurus-jurus (dalil-dalil) yang efektif untuk saling menghancurkan (baca: saling mengkafirkan) satu sama lain.

Sedemikian dalamnya pertikaian internal tersebut sampai mereka lupa akan tantangan untuk senantiasa dapat mengaktualisasikan message agama dan cara-cara dakwah yang ditempuhnya, bagaimana harus merumuskan sikap agamanya terhadap perkembangan situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi. Mereka juga luput untuk melakukan berbagai usaha pembaruan, reformasi visi keagamaan serta berbagai gerak reformasi lainnya yang dibutuhkan untuk menjawab pelbagai masalah yang ditimbulkan oleh akselerasi pembangunan (modernisasi).

Sementara itu, proyek modernisasi yang dilakukan secara gencar selama rezim Orde Baru, secara tidak disadari telah menampakkan sosok lain dari sikap umat untuk perilaku para pemeluk agama. Mobilitas penduduk menuju pusat-pusat produksi dan kota-kota melahirkan perubahan struktur sosial, pola perilaku dan orientasi nilai baru. Manusia sekarang cenderung lebih menghargai nilai-nilai duniawi dan hidup dalam pandangan dunia yang "pluralistik".

Ini berkaitan dengan semakin berkembangnya stratifikasi sosial sebagai konsekuensi logis dari proses modernisasi. Manusia sekarang tidak hanya dihadapkan pada satu-satunya nilai. Maka agama dalam arti tertentu mulai kehilangan monopolinya dalam mendefinisikan realitas. Nilai-nilai agama yang sebelumnya dianggap absolut kian hari kian dianggap relatif. Maka terjadilah kekacauan nilai yang membawa ketegangan dan disharmoni hubungan antarsesama anggota masyarakat.

Dalam pada itu, nilai-nilai materialistis yang menyertai logika modernisme menyeret orang menjadi "mabuk" materi. Kesenangan dan kebahagiaan [disamakan, dan] diukur semata-mata dengan kacamata materi. Sedangkan tujuan hidupnya melulu mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, dan dalam mengumpulkan materi tersebut, norma-norma agama dan norma lainnya sering kali tak diindahkan. Orang bertindak menurut apa yang dikehendakinya dan menurut apa yang dianggapnya baik.

Akibatnya, pameran kejahatan, kekerasan, kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) kian meningkat dan masyarakat hidup dalam selimut keresahan. Tidak selesai sampai di situ saja. Modernisasi dengan titik beratnya pertumbuhan ekonomi, ternyata makin mendorong terjadinya disparitas sosial yang sangat tajam. Sekelompok kecil manusia menguasai sebagian besar alat-alat produksi dan hidup dengan berlimpah ruah. Sedangkan kebanyakan masyarakat lainnya tidak menguasai alat-alat produksi dan hidup dalam belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Hal demikian tentu saja berpengaruh besar terhadap sikap dan perilaku keagamaan dalam komunitas-komunitas agama. Sebab, apalah mempannya norma agama yang menyuruh makruf dan melarang mungkar kepada para pemeluknya, jika nyawa mereka diintai sakratulmaut karena tak kuasa menahan lapar dan ledakan kebutuhan.

Sekarang jelaslah bagi kita, betapa hubungan antara dua sisi tadi (visi doktrinal agama dan perilaku para pemeluknya) berkorelasi secara negatif. Sementara zaman sudah sedemikian berubah, kebutuhan masyarakat kian berkembang dan tantangan hidup semakin kompleks tapi cara dakwah dan message keagamaan masih saja pada nuansa konservatif dan ortodoks. Tak heran jika krisis operasionalisasi ajaran agama menjadi terus berkepanjangan dan tak terelakkan.

Keterbukaan yang Membawa Harapan

Dalam situasi demikian tiba-tiba muncul kesadaran umat untuk saling menanggalkan 'ashabiyyah (primordial) dan saling membuka diri untuk berdialog, maka hal itu ibarat sepercik air di gurun Sahara yang menjanjikan harapan. Mengapa begitu, karena, keterbukaan dan dialog merupakan pintu gerbang utama ke arah artikulasi yang luas dan kesadaran yang membawa kemungkinan ke arah pembaruan.

Perjumpaan antarmadzhab dan sekte keagamaan selalu memuat proses hermeunetik (pencarian tafsir-tafsir baru), yang mengantarkan ke arah pemahaman baru baik mengenai mazhab/sektenya sendiri maupun mazhab/sekte yang lain. Selanjutnya, dengan keterbukaan dan dialog itu pula, kita berharap masalah krisis operasionalisasi ajaran agama Islam yang terus bergayut selama ini mudah-mudahan bisa segera diatasi. Amin![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar