Jumat, 16 Januari 2015

Kampus sebagai Pusat Kebangkitan Umat Bergama

Rentetan krisis yang susul menyusul mencabik-cabik “dunia Islam” dalam rentang waktu yang cukup panjang---seperti tragedi abadi yang menyayat bangsa Palestina, intervensi Uni Soviet di Afghanistan, kenestapaan bangsa Moro di Filipina, kemelut Patani di Thailand, penderitaan orang Tasykent di Asia Tengah (Rusia), pertempuran yang tak kunjung padam antara Irak dan Iran, konfrontasi “Singa Teluk Parsi” dengan seterunya koboi Amerika, bahkan dengan mitra-mitranya sendiri di negara-negara Timur Tengah---yang telah mencapai momentumnya lewat tragedi “Jumat Berdarah” yang memalukan itu---sedikit banyak telah memorak-porandakan radar analisis, dan mengembuskan angina keraguan bagi sementara kalangan umat Islam sendiri, yang pada gilirannya mendesak mereka untuk meninjau kembali slogan “Abad Kebangkitan”-nya.

Tampaknya, memang ironis, membayangkan keterbangkitan suatu kaum yang justru tengah setengah mati dikeroyok berbagai kuman penyakit---kemiskinan, keterbelakangan pendidikan, katastrofi tatanan sosiokultural, serta kekalutan politk yang kian berkecamuk. Haruskah kita meminjam logika Heraklitos yang berdalihkan, “Perang (konflik) sebagai embah dari segala perubahan” (ho palemos pater pantoon), guna memperoleh justifikasi terhadap status quo yang mencekam dunia Islam saat ini---dan dengan demikian koridor masih terbuka buat melanjutkan segala bentuk diskusi sambil mengalunkan kidung kebangkitan? Wallâhu a’lâm bish-shawâb! Berilah waktu, dan sejarah akan mengukirnya sendiri. Tak perlu tergesa-gesa menjatuhkan palu keputusan---apakah ini bisik kejatuhan atau kebangunan, apakah kila-kila pahala atau bala, apakah Imam Khomeini, si urakan Khadafi, dan rezim Arafat itu pengkhianat atau pahlawan. Sekali lagi, hanya sejarahlah yang tahu.

Barangkali juga, tidak perlu terlalu ambil pusing dengan urusan sloganistis. Bukankah membahasakan nilai-nilai keislaman di hadapan kenyataan material, moral dan sejarah, atau merealisasikan Islam sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn” jauh lebih bermanfaat ketimbang memperebutkan “bungkusan kosong”? Dan bukankah dengan begitu, isu kebangkitan umat Islam tidak hanya berkutat dalam lingkaran verbalistis melainkan juga didenyuti lewat cipta, rasa, dan karya? Oleh karena itu, izinkanlah saya untuk memalingkan pembicaraan ini ke jurusan sana.

Krisis Global dan Masa Depan Islam

Berangkat dari asumsi bahwa struktur waktu itu historikal; yang berarti bahwa setiap saat ber-retensi dan ber-protensi, yakni menggenggam masa lalu dan menjangkau masa depan, maka secara prinsip keterarahan yang kini ke yang akan datang tidaklah sesuatu yang berada di luar yang kini.

Sementara itu, melongok dinamika internal Masyarakat Islam, tidaklah mungkin bisa tercerabut dari sibghah (baca: pengaruh) konstelasi dunia secara keseluruhan. Lewat pengertian ini, segala upaya untuk memprediksi dunia Islam masa depan haruslah melibatkan trend dunia kekinian.

Dengan begitu, akan sampailah kita pada perjumpaan Toynbee dan rekannya, Ikeda, pada puncak hotel berbintang lima; menoleh ke arah hiruk-pikuk metropolitan Tokyo, hingga suatu ketika mereka tertegun di jurusan “Monumen Perdamaian”; dan tak terasa pucat pipi Toynbee pun segera digenangi air mata; seraya terbata-bata dia berkata, “Hanya dengan dua bom atom, Hiroshima dan Nagasaki dapat dihancurleburkan. Padahal sekarang ini dunia memiliki tidak kurang dari 50.000 bom nuklir yang sanggup menghancurkan dunia berkali-kali. Sedangkan anggaran militer dunia telah mencapai 800 biliun dolar yang berarti lebih besar dari GNP 2 miliar lebih manusia atau separo penduduk dunia yang miskin di Asia, Afrika, dan Amerika Latin (yang nota bene di sanalah umat Islam bercokol).” Toynbee menutup percakapan tersebut dengan bersungut, bahwa kejahatan yang paling mengerikan adalah keserakahan, perang, dan ketidakadilan sosial. Kejahatan baru yang tak kurang mengerikan adalah lingkungan artifisial yang diciptakan bangsa lewat penerapan ilmu dan teknologi untuk memuaskan keserakahan.

Inti persoalan yang hendak disodorkan lewat kisah tersebut adalah suatu kenyataan bahwa apa-apa yang dimungkinkan secara sains dan teknologi belum tentu baik secara moral dan sosial.

Krisis global yang melanda masyarakat dunia sekarang ini, seperti pencemaran lingkungan, perusakan ekosistem, pengendoran sosial kemasyarakatan, peperangan, pelanggaran hak-hak asasi, pemerkosaan dan penganiayaan; atau pun kontras-kontras kehidupan seperti, utara-selatan, timur-barat, Nato-Pakta Warsawa, kaya-miskin, pusat-pinggiran; kesemuanya itu pada hakikatnya merupakan buah-buah dari persenyawaan antara keserakahan, kejahatan, sains dan teknologi.

Rasionalisasi dan teknologisasi, di satu pihak memberi banyak kemudahan kepada bangsa manusia terutama dalam pembangunan rumah-rumah fisikal, di lain pihak acap kali mengoyak-ngoyak rumah-rumah spiritual. Ionesco dalam Facing the Inferno secara memukau sekaligus menakutkan memaparkan bahwa materialisme fundamentalistis telah menjebak manusia ke dalam belenggu alienasi (kesunyian, keterasingaan manusia dari Tuhan, sesama manusia dan dari lingkungan), sinisme, keputusasaan. Manusia terjerat ke dalam lembah absurditas seakan-akan tanpa harapan sama sekali. Sedangkan Sorokin dalam Charlatanism in Religion mengumpat, “Rumah-rumah peribadatan dibangun bermegah-megah, upacara-upacara keagamaan dirayakan serba mewah, sementara itu inti ajaran keagamaan telah lama mereka campakkan.”

Manusia menjadi tidak berkutik dihadapkan pada arus deras materialisme, diktator uang, anomistis, childless dan perbudakan oleh mesin. Keberpihakan terhadap intelektualisasi dan teknologisasi ternyata menumbuhkan kembali primitisasi, dan itu berarti membawa manusia surut ke belakang mengulangi masa-masa kejahilan. Keadaan seperti inilah barangkali yang diklaim oleh O. Spengler dengan civilization. Peradaban yang oleh sementara budayawan diberi arti sebagai puncak-puncak kebudayaan, justru merupakan kila-kila tumbangnya kebudayaan manusia---sebagai buah hasil penggerogotan iklim sang hidup yang timpang.

Inilah puncak kebudayaan sensate ujar Sorokin lagi. Suatu puncak, kebudayaan sensate yang telah lama bernaung dan menjadi dewa pembangunan bangsa manusia, tidak berdaya lagi dalam upaya menjawab kebutuhannya bahkan menampakkan dirinya menjadi “Monster Frankenstein” yang siap menerkam kehidupan.

Berbagai usaha untuk menyelamatkan bangsa manusia telah mengalami kegagalan: demokrasi, PBB, kapitalisme, sosialisme, pendidikan, dan bahkan “agama”, semua ini ternyata tidak memiliki kekuatan yang menyembuhkan (curative power), juga penyembuhan keagamaan gagal.

Bagi Sorokin, penyembuhan yang akan berhasil mencipatakan suatu kebudayaan baru bagi bangsa manusia adalah “curative altruism”. Bangsa manusia harus ditransformasikan ke dalam suatu tingkah kesadaran baru yang disebut supraconscious level, berkembangnya suatu fase keruhanian yang mendalam.

Pendapat Sorokin boleh jadi benar boleh juga tidak. Akan tetapi justru di sinilah masalah masa depan agama (Islam) muncul, untuk menjadi juru selamat dalam mengatasi kejahatan yang mengancam kelestarian bangsa manusia.

Agama Islam (yang lebih tepatnya, orang-orang Islam) jika hendak bangkit dan menjadi juru selamat (khalifah) di masa datang sebenarnya tergantung pada kemampuannya mempersepsi dirinya sendiri (tahu diri); bagaimana ia mendefinisikan dirinya dengan tugasnya, bagaimana ia merumuskan sikapnya terhadap perkembangan situasi sosial budaya, politik dan ekonomi; tendensi agama kini dan masa datang harus lebih memberikan tekanan pada ortopraksis ketimbang ortodoksi.

Praksis dalam arti penuhnya selalu memuat refleksi yang memungkinkan perkembangan dan kreativitas. Bahwa perkembangan yang terjadi dalam segala bidang kehidupan menuntut terpenuhinya kebutuhan sumber daya insani dengan kualitas yang makin tinggi. Maka pembumian Al-Islâm yang memadai haruslah menjangkau: daya baca terhadap perikehidupan yang sedang dijalani, daya jawab terhadap problematika yang muncul, integrasi pribadi (menghilangkan split personality), integritas wawasan, kemampuan memelihara alam, kemampuan menjabarkan misi Islam, orientasi kosmopolit, serta input sains, teknologi dan metodologi yang Islami.

Dalam rangka ini pula menjadi penting peranan para pemikir agama, terutama para teolog. Kebutuhan ini lebih mendesak lagi dalam masyarakat yang tengah mengalami perubahan yang pesat dan mendalam. Kajian terus-menerus untuk menemukan makna dari “message” (risâlah Al-Islâm) dalam konteks sosiokultural yang konkret merupakan tugas utama para ahli. Maka dapat dikatakan bahwa masa depan Islam juga dalam hal tertentu tergantung pada napas teologinya.

Namun demikian, di balik berbagai ketimpangan yang bisa kita pergoki, kita pun tidak menutup mata pada munculnya kecenderungan baru yang menggembirakan di kalangan umat Islam. Kebangkitan umat Islam yang lazimnya dikumandangkan oleh para fuqaha seperti; Ibn Taimiyah, Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dan yang lain-lainnya, belakangan ini justru begitu vokal di lingkungan intelektual Islam. Ke mana saja kita pergi akan melihat bahwa kampus dijadikan markas kebangkitan umat Islam. Di Tunisia ada Prof. Abbas Madani, di Nigeria ada kelompok Muslim Student Association, di Mesir gentayangan hampir di semua universitas, di Malaysia ada gerakan yang menamakan dirinya Al-Arqam yang kebanyakan mereka para dokter jebolan perguruan tinggi Amerika dan Inggris, bahkan Indonesia juga tidak mau ketinggalan; di sini ada Salman ITB, Shalahuddin UGM, menjamurnya telaah keagamaan di lingkungan kampus dan sebagainya. Alhasil, hamper di seluruh dunia Islam kaum intelektual Muslim tampil sebagai avant garde dari kebangkitan Islam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar