Selalu saja ada hal yang bisa kita petik dari ranumnya buah informasi yang tumbuh subur di kebun Republika Minggu. Laporan utama media ini (Minggu, 31 Oktober 1993) yang memuat hasil jajak pendapat (polling) tentang aspirasi sosial kaum muda, merupakan satu dari sekian banyak tebaran “hikmah” yang bisa dipungut dan didiskusikan.
Singkat madah, 253 mahasiswa baru UI, sebagai representasi “istimewa” dari jajaran kaum muda, diminta komentarnya mengenai aspirasi sosial mereka, persepsinya terhadap lingkungan “budaya” serta definisi mereka tentang keidealan. Banyak hal yang terungkap. Namun yang menggelitik perhatian saya adalah data yang menunjukkan bahwa, sebagian besar mereka menyebut artis-artis Barat sebagai idola, memilih acara-acara televisi produk Barat sebagai kegemaran utama. Banyak pula yang mengaku sebagai pengunjung tetap restoran fast food dan Coca Cola sebagai minuman favoritnya. Bahkan tak sedikit yang pernah berkunjung ke luar negeri dengan Amerika dan Eropa sebagai pilihan istimewanya.
Di sisi lain, mayoritas mereka juga memandang perlu adanya penyaringan dan penyensoran yang ketat terhadap nilai-nilai dan film-film Barat. Mereka menyebut kriteria “iman” dan “kepribadian” sebagai prioritas dalam memilih pasangan ideal. Bahkan mereka juga sanggup menunjukkan problem-problem utama yang menghadang integrasi bangsa, seperti kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, dan sebagainya. Maka oleh Republika disimpulkan bahwa---meskipun mereka berasal dari kalangan yang paling memiliki akses terhadap proses pembaratan---tak berarti mereka sepenuhnya “terbaratkan” dalam hal nilai. Bahkan mereka juga menunjukkan sikap selektif dan kritisnya terhadap muatan nilai yang dikandung produk-produk budaya Barat.
Kesimpulan demikian saya kira sah-sah saja. Tapi marilah kita bertanya kepada para pecandu rokok. Apakah merokok itu baik bagi kesehatan? Bisa dipastikan mereka akan serempak menjawab “tidak”. Lanjutkan ke pertanyaan lain, apakah Saudara mau berhenti merokok? Jawabannya juga “tidak”. Jadi mana sebutan yang lebih pantas, apakah mereka penolak rokok atau justru sebaliknya?
Analog tersebut mungkin tidak terlalu pas. Tapi hal ini perlu dikedepankan bahwa ada persoalan di kesimpulan tadi. Seperti dikatakan Prof. Dr. Yaumil Agoes Achir, “Sering kali ketika orang diminta menyebut kriteria ideal, jawaban yang diberikan sekadar yang ideal secara ‘teoretis’. Artinya itu tak dengan sendirinya berkaitan dengan praktik sesungguhnya.”
Untuk itu, di sini saya menyodorkan dua skenario alternatif untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, berdasarkan kerangka interpretasi teori “belajar sosial”, dan kedua, dari “psikoanalisis”.
Teori belajar sosial menekankan pentingnya proses identifikasi dan imitasi dalam pembentukan sikap seseorang. Identifikasi itu bisa dilakukan terhadap gambaran pola pemikiran (abstract modeling), seperti sikap, nilai atau persepsi realitas sosial. Tentang tokoh dan nilai mana yang akan dijadikan model panutan, sepenuhnya tergantung pada karakteristik personal, kategori sosial, serta daya tarik stimulus eksternal.
Sejauh yang menyangkut faktor-faktor eksternal, sekarang ini Indonesia sedang menjadi medan pertarungan antaragen pewaris nilai: antara agen tradisional (keluarga, sekolah, dan institusi keagamaan) dengan agen “modern”, dengan media massa (khususnya media elektronik) sebagai juru bicaranya. Kedua agen ini sama-sama memperluas medan simboliknya, dengan kecenderungan semakin kuatnya daya tarik dan pengaruh media massa. Kisah tentang meningkatnya anak-anak brokenhome, berkembangnya rasa bosan terhadap sekolah, maraknya perkelahian pelajar, munculnya sekte-sekte keagamaan dan bentuk-bentuk eskapisme (pelarian) psikologis lainnya, merupakan tanda-tanda melemahnya daya tarik agen-agen tradisional ketika berhadapan dengan agen-agen sosialisasi nilai yang baru.
Sementara itu, bangkitnya televisi swasta, meluasnya liputan media, timbulnya rumah-rumah produksi, meruyaknya wacana dampak media massa, merupakan bukti kian kuatnya cengkeraman pengaruh agen modern ini. Hal ini sebagian diakibatkan oleh kekakuan agen pertama dalam mencipatakan medan simbolik baru, sedang yang lain diakibatkan oleh munculnya peran-peran baru dalam ekologi sosiokultural.
Seperti yang telah disinggung di atas, karakteristik personal dan kategori sosial (afiliasi kelompok) sangat besar pengaruhnya dalam menentukan arah identifikasi seseorang terhadap dua agen tadi. Semakin luas orang diterpa informasi oleh salah satu agen tadi, semakin banyak pula sikap hidupnya yang berbias agen tersebut. Seperti kata Solomon E. Asch (1952), semua sikap bersumber pada organisasi kognitif, sedangkan organisasi kognitif itu sendiri sangat dipengaruhi oleh sumber-sumber informasi.
Lalu, di mana posisi “anak-anak UI” tadi dalam medan pengaruh kedua agen yang tidak selalu sinkron itu? Seperti disebutkan dalam laporan utama harian yang kita kutip tadi, mereka adalah minoritas “terpilih”. Umumnya mereka datang dari kalangan ekonomi mapan, berotak cemerlang, berasal dari sekolah-sekolah favorit, dan bisa dipastikan mereka pun tumbuh dalam lingkungan keluarga yang “tidak punya masalah”. Singkat kata, mereka adalah “anak baik-baik” yang tidak mempunyai problem dalam proses pewarisan nilai-nilai standar dan oleh karena itu lebih banyak waktu yang diluangkannya di lingkungan (pengaruh) agen-agen tradisional.
Dengan karakteristik personal dan sosial seperti itu, sangat wajar bila dalam hal-hal prinsip mereka masih berada dalam medan simbolik agen tradisional. Tapi, mengapa dalam beberapa hal, seperti pola konsumsi, gaya hidup, dan tokoh-tokoh ideal yang mereka idamkan mulai mengalami proses pembaratan? Itulah pengaruh media massa. Terpaan media massa bagi mereka belum sekuat terpaan agen-agen tradisional. Akibatnya median pengaruhnya pun masih terbatas pada aspek-aspek yang terkait dengan leisure (kesenangan di waktu luang). Dan, di sinilah justru letak keperkasaan media massa. Seperti kata Joseph Klaper (1960), media massa cukup efektif terutama dalam mengubah sikap seseorang pada bidang-bidang di mana pendapat dan “keyakinan” orang dalam hal itu lemah, dangkal, dan kurang dianggap begitu prinsip. Sedangkan dalam hal-hal penting, pengaruh media, menurut David Phillips (1992) akan kuat daya tularnya terhadap orang-orang yang sakit secara psikologis. Seperti orang-orang rendah diri, kurang kasih sayang, sering gagal, kehilangan pegangan hidup, dan teralienasi.
Di sinilah kita melihat letak kekuatan sekaligus kelemahan sampel dalam poll ini. Sebab, jika sampelnya berasal dari kalangan mayoritas “terasing” (alienated), akan tampak lebih jelas bagaimana kecenderungan proses pembaratan beroperasi lewat media massa. Jika ini dilakukan, bisa jadi kesimpulannya akan jauh berbeda.
Seiring dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi komunikasi, bersahutan dengan semakin merosotnya wibawa agen-agen tradisional, saya menduga proses pembaratan lewat media massa pun akan semakin menguat. Hal ini didorong oleh kenyataan tampilnya media massa sebagai fenomena yang ubiquity (ada di mana-mana). Selain itu, akumulasi dan pengulangan pesan media semakin intensif. Muatannya pun relatif seragam karena sajian-sajian media massa berasal dari sumber yang sama, yakni: Barat. Padahal, menurut George Gerbner (1967), media massa terutama televisi, adalah mesin ideologi yang paling ideal.
Begitu gencarnya ledakan media massa ini, saya duga minoritas terpilih “anak-anak UI” ini pun sebagian telah jauh memasuki proses pembaratan, seperti tercermin dari gaya hidupnya yang mulai terbaratkan. Persoalannya kemudian, mengapa mereka masih melancarkan sikap kritis terhadap nilai produk-produk Barat tertentu? Untuk menjelaskan ini, kita harus berpaling ke psikoanalisis. Bisa jadi hal tersebut diakibatkan oleh imperialisme media.
Ego “Timur” mereka---unsur rasional dari kepribadian yang bergerak berdasarkan reality principle---yang biasanya lebih tunduk pada superego (polisi kepribadian yang mewakili nurani dan norma-norma sosial budaya), sekarang cenderung mengikuti tradisi Barat “modern” yang lebih berpihak pada tuntutan id (insting kehidupan yang bergerak atas prinsip kesenangan). Namun demikian, jika itu pilihannya, maka mereka berada dalam situasi psikologis yang bimbang karena takut dihukum oleh superego. Jalan keluarnya, mereka pun lalu melancarkan mekanisme pertahanan diri (defense mechanism). Hal itu mewujud dalam bentuk “reaction formation” (baca: respons kebalikan), seperti menuntut seleksi dan penyensoran terhadap nilai-nilai tersebut meskipun mereka sendiri tengah mengamalkan nilai-nilai tersebut.
Mekanisme pertahanan diri tersebut bisa dalam bentuk “katarsis” (menyalurkan ketegangan dengan cara mengurangi, menahan atau menghilangkan secara konstruktif), seperti tercermin dari kegandrungan mereka pada “aktivitas-aktivitas agama”. Dengan kata lain, boleh jadi mereka menggandrungi aktivitas-aktivitas keagamaan sebagai lubang katarsis. Mereka menyukainya sebatas aktivitas itu masih berada di medan simbolik idola-idola konsumsi dan hedonisme. Semoga saja tidak demikian![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar