Empat belas abad kemudian, selepas Rasulullah saw. wafat, di sebuah koran lokal di Bandung, saya membaca tulisan seorang wartawan dan penulis muda penuh harapan, mengonstatir adanya pemuda-pemuda Islam yang berusaha mengasingkan hidup dari pergaulan konkret masyarakat. Lantas mengisolasikan pergaulannya di lingkungan "usroh", berbaiat untuk selalu patuh kepada imam usroh-nya sambil kemudian melancarkan kutukan kepada orang-orang yang mereka anggap tidak seikhwan (bukan anggota kelompoknya).
Pada akhirnya, mereka pelan-pelan meninggalkan tanggung jawab sosialnya, untuk melulu mengerjakan ibadah-ibadah ritual keagamaan. Mereka adalah "Imam Majhul: Makelar Surga Negara", begitu lanjut penulis tersebut. Jika saja Rasulullah saw. masih hidup, saya yakin beliau akan menyuruh salah seorang sekretarisnya untuk menanggapi tulisan tersebut dan kita akan sama-sama membaca komentarnya di harian lokal ini: "Wahai Imam-imam majhul mengapa kalian lakukan itu? Tidakkah kalian tahu, bahwa kedudukan kalian di jalan Allah jauh lebih utama daripada shalat yang kalian utamakan. Mengapa pula kalian mengkafirkan sesama kalian. Bukankah orang-orang Mukmin itu bersaudara? Jangan kalian lakukan itu. Berjuanglah di jalan Allah!"
Berjuang di jalan Allah berarti hidup di jantung masyarakat. Menyeru kepada kebaikan, melarang kepada keburukan. Bahu-membahu membebaskan umat manusia dari kemusyrikan, kemiskinan, kebodohan, dan penindasan yang memasung kehidupan mereka. Itulah tugas kekhalifahan yang sesungguhnya. Suatu tugas untuk menyelesaikan masalah-masalah, bukan untuk melarikan diri dari gempuran masalah.
Jika tugas yang sesungguhnya seperti itu, lalu mengapa bisa lahir orang-orang semacam Imam Majhul yang justru mengingkari peran kesejarahannya? Penulis tersebut tidak menjelaskan hal ini. Karena itu saya tergerak untuk mencoba menjelaskan secara sosiologis dalam uraian singkat ini.
Bahwa Islam itu sebagai agama universal dan berlaku sepanjang zaman, saya kira, itu adalah janji Tuhan, yang bisa kita terima dengan keyakinan dan kesaksian. Akan tetapi, perlu kita sadari, bahwa klaim kebenaran dan keabadian Islam barulah menjadi real dalam realitas sejarah manakala agama itu telah terlibat dalam sejarah (time) dan bergumul dalam lokalitas (space) tertentu.
Maka, meskipun Islam sebagai konsep yang sakral tetap satu dan utuh, dalam kenyataannya keragaman tak terelakkan. Di sini, kenyataan struktural dan kultural dari konteks sosial dan waktu, yang di dalamnya agama ingin mewujudkan diri ikut berperan mempengaruhi profil agama dalam kehidupan nyata. Secara singkat dapat dikatakan: Kekuatan Islam bukanlah suatu hipostase yang lepas dari kekuatan sejarahnya. Malahan, lebih dari itu, kekuatan dan keunggulan Islam justru akan dinilai dari kekuatan sejarahnya.
Kalau kita berbicara masalah kekuatan sejarah Islam berarti kita berbicara masalah kekuatan umat Islam yang menganut dan merealisasikan ajaran Islam itu dalam kehidupan nyata. Di sini, tampak ada tiga variabel kunci yang bisa kita lihat dalam rangka mengeluarkan telaah terhadap fenomena Imam Majhul, kekuatan Islam, realitas objektif, dan sosok ajaran Islam hasil negosiasi antara kekuatan Islam dan realitas objektif kenegaraan.
Sudah menjadi ucapan umum bahwa Islam sebagai kekuatan umatnya di Indonesia adalah mayoritas kuantitatif dan minoritas kualitatif. Ini terutama disebabkan oleh tersendat-sendatnya proses inkulturasi (pembumian) nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, sebagai konsekuensi dari hancurnya infrastruktur vitalitas dan idealitas Islam oleh api pertikaian dan friksi-friksi internal/antarkekuatan Islam yang berkepanjangan (untuk lebih detail, lihat Yudi Latif, "Dari Islam Sejarah Memburu Islam Ideal", dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir (ed.), Mencari Islam, Mizan, Bandung, 1990).
Akibat dari pertikaian-pertikaian ini, umat Islam terpenjara dalam sekat-sekat fanatisme 'ashabiyyah di mana sekian banyak energi fisik dan psikis dicurahkan untuk melulu mencari jurus-jurus penghancur lawannya. Betapa dalam energi mereka tersita, sampai begitu banyak institusi-institusi Islam terbengkalai, proses kaderisasi kepemimpinan umat mengalami kemacetan, dan lebih dari itu, umat Islam (baca: pemimpin umat) menjadi lamur untuk senantiasa mencari formula baru dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat yang terus berubah. Yang pada gilirannya membuat resep-resep yang mereka tawarkan begitu alienated dari dinamika perkembangan masyarakat.
Sementara itu, modernisasi Indonesia yang begitu gencar dilaksanakan selama Orde Baru, ternyata menggelinding dengan hukumnya sendiri, membawa realitas-realitas kehidupan yang serba baru dan tantangan-tantangan yang serba baru pula. Kita lihat dan kita amati satu per satu. Modernisasi yang membawa implikasi terjadinya diferensiasi institusional di lingkungan masyarakat, menyeret institusi keagamaan yang dulu memainkan peranan yang majemuk---dan dalam arti tertentu bersifat monopolistik---terpaksa menerima peranan khusus dan terbatas. Kemajuan teknologi komunikasi, modernisasi pendidikan, dan pembagian kerja secara rasional, mulai melonggarkan ikatan umat berdasarkan emosi keagamaan. Umat tidak hanya dapat memperoleh "ilmu agama" dari para guru ngaji, akan tetapi juga dari radio, majalah, televisi, buku, dan sebagainya. Para kiai yang dulu memainkan peranan sebagai pemimpin yang polimorfik (rujukan untuk berbagai masalah kehidupan) sekarang harus puas hanya memainkan peranan yang monomorfik (rujukan untuk bidang tertentu saja).
Sedangkan ledakan pertumbuhan penduduk yang tidak sejajar dengan perkembangan pesantren, menyebabkan kebutuhan mubalig dan khatib pada beberapa masjid dan pengajian tidak dapat dipenuhi oleh ulama pesantren yang jumlahnya terbatas. Sementara itu, ulama pesantren yang ada pun tidak mampu menyesuaikan message keagamaan dengan tuntutan modernitas. Lalu untuk memenuhi kebutuhan ini muncullah ulama-ulama "karbitan" yang dibesarkan di lingkungan pendidikan "sekular", yang kebanyakan tidak mempunyai kedalaman pemahaman agama.
Di lain pihak, tanpa disadari, modernisasi Indonesia juga ternyata telah melahirkan suatu masyarakat yang terbuka: perkembangan teknologi komunikasi, pertumbuhan ekonomi, dan industrialisasi mempercepat terjadinya perubahan-perubahan nilai dalam masyarakat, terutama di kalangan generasi muda. Situasi ini membawa generasi muda "Islam kota" ke dalam suasana transformasi dan perubahan cepat nilai-nilai. Di belantara nilai-nilai baru yang tidak selalu bisa mereka ikuti ini, anak-anak muda Islam kota ini sering mengalami keterasingan (alienation) nilai-nilai yang pada gilirannya membuat mereka bingung dan bimbang. Kebingungan dan kebimbangan inilah yang mendorong mereka untuk segera mencari kepastian dan peneguhan (reinforcement) nilai-nilai pada ajaran-ajaran agama.
Namun sayang, arus balik anak muda ini ke dalam ajaran agama tidak didukung oleh tersedianya resep-resep agama yang kondusif dengan tuntutan modernitas, sebagai akibat kurangnya antisipasi perjuangan para pemimpin umat yang telah diutarakan tadi. Sehingga tak heran, jika anak-anak muda ini, kemudian sering kali menyikapi modernitas dengan paradigma dan postulat-postulat pemikiran Islam konvensional yang tidak aktual lagi dengan dinamika kekinian. Situasi a-synchron antara pemikiran Islam konvensional dengan realitas kemodernan ini sering kali membuat anak-anak muda ini begitu reaktif, dan bahkan konfrontatif terhadap berbagai fenomena dan perilaku sosial yang menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang dipahaminya. Karena arus dekaden ini begitu deras dan mereka tidak sanggup mengatasinya, maka mereka memilih untuk bersikap defensif dan perlahan-lahan mundur teratur ke "camp-camp konsentrasi". Di camp-camp konsentrasi ini ada anak-anak muda yang tidak memiliki akses terhadap ulama pesantren---yang memang sudah langka, dan juga tidak tersentuh "kaki tangan" para cendekiawan (ulama karbitan)---karena jumlahnya terbatas dan kesukaannya hanya bertengger di mimbar-mimbar seminar, sementara buku-buku dan media massa yang diperolehnya hanyalah buku-buku apologis yang sifatnya justru semakin memperkeruh sifat defensif mereka. Maka jadilah mereka berjalan mempersepsi agamanya menurut selera dan kapasitasnya yang serba dangkal itu. Dalam situasi begitu, terjadilah "deviasi" pemahaman agama, ketika mereka memberikan penekanan secara berlebihan terhadap satu atau dua aspek dari keutuhan agama yang bersifat holistik dan integral.
Anak-anak muda yang mempunyai penekanan yang sama terhadap ajaran agama ini lantas merasa mempunyai mitra seideologi, lalu terikat secara emosional. Lambat laun, ikatan mereka semakin kohesif, dan secara alami mereka menciptakan simbol-simbol keagamaan yang khas, serta memiliki in group feeling dan komitmen kelompok yang begitu kuat. Sebagai personifikasi dari kesamaan ideologi dan in group feeling ini, mereka lantas mengangkat seorang Imam dari sesama anggota kelompok yang dianggap paling mumpuni. Untuk kemudian mereka berbaiat, tunduk dan patuh terhadapnya. Semakin besar karisma imam ini, semakin kuat ikatan kelompok, semakin khas simbol-simbol keagamaan kelompoknya, lantas semakin tebal pola in group feeling-nya, yang pada gilirannya berarti semakin besar kecenderungan untuk mengalahkan dan mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompoknya. Maka di mata kewajaran makin tampaklah mereka sebagai makhluk-makhluk misterius (imam-imam majhul).
Imam Majhul, Dosa Bersama
Dari uraian di atas jelasnya bahwa berkembangnya imam-imam majhul sebagai akibat dari ketidakmampuan kita semua, untuk senantiasa mengaktualisasikan Islam dalam realitas sejarah keindonesiaan yang terus berubah. Baik yang menyangkut aktualisasi teologis (pemahaman keagamaan), aktualisasi institusional, maupun aktualisasi kepemimpinannya. Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa lahirnya imam-imam majhul adalah dosa kita bersama yang harus dipikul oleh kita bersama.Agar dosa-dosa ini tidak terus memakan korban-korban baru, maka kita mesti memperhatikan persoalan ini secara serius, bukan sekadar tindakan karitatif dengan jalan menyadarkan mereka, tapi lebih dari itu kita mesti meniliknya dari sebab-sebab yang terdasar.
Ini berarti, pertama, kita mesti terus-menerus memperluas wawasan keislaman dan wawasan kesejarahan (keindonesiaan). Kedua, kita dituntut untuk terus-menerus mengupayakan suatu teologi transformatif yang kontekstual dengan tuntutan zaman. Ketiga, kita perlu menciptakan teori-teori sosial Islam sebagai jembatan yang akan dilalui menuju bagi pemahaman teologis ke dunia objektif. Keempat, kita perlu memperluas dan memperbanyak institusi-institusi keislaman yang akan merealisasikan teori-teori sosial Islami ke dalam dunia objektif. Kelima, dalam institusi-institusi tersebut kita mesti menciptakan ruang yang kondusif bagi kaderisasi kepemimpinan Islam. Dan keenam, kita harus terus-menerus memperluas horizon Muslim kualitatif seraya terus menipiskan Muslim kuantitatif, sehingga benar-benar akan tercipta suatu basis Islam yang konstruktif.
Adapun syarat terpenting untuk tercapainya maksud-maksud tersebut adalah kesiapan dan kearifan kita semua untuk meninggalkan fanatisme 'ashabiyyah, semangat apologetisme, dan nafsu untuk bertikai, bersahutan dengan usaha untuk semakin mempertinggi gairah ukhuwah Islamiah, memperluas ruang dialog dan rasa saling pengertian, serta memperbesar dan mengedepankan api cinta dalam setiap usaha dakwah Islamiah. Semoga dengan demikian, kita benar-benar mampu berjuang di jalan Allah. Amin![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar