Sabtu, 17 Januari 2015

Menunggu Para “Raushanfekr”

Seorang wartawan The Economist---tempat Jansen, pengarang buku Militant Islam bekerja---beberapa tahun silam pernah datang ke Indonesia untuk meliput isu kebangkitan Islam di Tanah Air tempat bercokolnya mayoritas umat Islam sejagat ini. Yang menarik dari lawatan itu adalah “kenaifannya” untuk mengabaikan pencarian informasi tentang sumber kebangkitan itu dari pesantren-pesantren atau instansi-instansi Islam. Akan tetapi, ia malah melacaknya dari universitas-universitas, kampus yang bersifat sekular.

Dia memergoki kebangkitan Islam di Indonesia sekarang ini ditandai oleh minat yang besar dari kalangan umum intelektual (baca: golongan terpelajar) Islam. Agak mengeherankan, karena hal itu menyimpang dari tradisi sebelumnya, di mana kebangkitan Islam lebih sering dirintis oleh mereka yang dibesarkan dalam tradisi pendidikan Islam bukan tradisi pendidikan sekular.

Kisah sejenis itu belakangan nyaris telah menjadi klise. Beragam laporan dan komentar para pakar telah banyak menghiasi berbagai ruang media massa. Aneka analisis spekulatif telah pula diberikan. Kita temukan di sana benang merah kesimpulan bahwa munculnya kebangkitan intelektual Islam di kampus-kampus sekular itu adalah sebagai ekspresi keterhenyakan dan kemuakan mereka terhadap kepongahan sains dan teknologi modern. Mirip seperti munculnya kembali fenomena crypto-medievalism (spiritualitas abad pertengahan) di Eropa menjelang berakhirnya abad ini, sebagai counter culture terhadap kebusukan peradaban sains-teknologi yang dirasa telah mereduksi fitrah manusia, melucuti misteri dan kredo kehidupan, serta melahirkan puing-puing katastrofi dunia.

Tulisan ini hendak menyodorkan perspektif lain dalam upaya memahami persoalan tersebut, dengan harapan dapat lebih memperkaya subjektivitas dalam menghampiri kenyataan objektif.

Kekuatan Pinggiran

Abad ini sering disebut abad informasi. Suatu abad, di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah, bangsa-bangsa sejagat dipersatukan secara sosial-budaya oleh penyebaran secara mondial peradaban modern. Pertama, lewat kemajuan teknologi pengangkutan dan lalu lintas yang membawa manusia hanya dalam dua hari untuk mengelilingi dunia. Kedua, lewat penemuan microchip yang melecut perkembangan teknologi komputer mikro sehingga menimbulkan kekuatan yang memungkinkan diperolehnya informasi hanya dengan sentuhan tombol.

Jika computer mikro ini dikombinasikan dengan inovasi-inovasi di bidang elektronik---satelit, telepon, optik fiber, dan sebagainya---maka suatu pertumbuhan cepat jaringan elektronik terjadi. Akibatnya, di samping akan mampu menyulap jarak dunia ini menjadi sempit dan bersatu (global village)---di mana hubungan antarmanusia di dunia ini bisa dicapai dalam detik dan menit, juga akan memungkinkan berlipat gandanya penggunaan telepon jarak jauh, serta menyebabkan pula desentralisasi besar-besaran dalam pola produksi.

Semua ini mendorong pertumbuhan yang cepat di bidang produksi dan distribusi media massa, yang menjanjikan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi. Akibatnya, semua masyarakat dan kebudayaan yang sebelumnya terpencil, sekarang bertemu, bercampur aduk, dan pengaruh mempengaruhi. Dari perjumpaan antarbudaya dan antarmasyarakat itulah umat Islam Indonesia, terutama yang memiliki akses terhadap informasi---seperti kaum intelektual (sekali lagi, golongan terpelajar)---bisa melakukan vicarious learning (belajar wakilan) tentang prestasi-prestasi yang telah dicapai bangsa-bangsa lain di dunia. Lahirlah kesadaran reflektif akan posisi dirinya, peran kesejarahan dan setting kemasyarakatannya, bersahutan dengan meningkatnya aspirasi dan harapan-harapan akan kebangkitan umatnya.

Akan tetapi, meningkatnya aspirasi dan harapan-harapan ini berlawanan secara diametral dengan keterbatasan kondisi-kondisi objektif yang mengungkungnya. Seperti, marginalisasi umat Islam secara sosiopolitik, kemiskinan dan keterbelakangan, ketidakadilan struktural, birokrasi yang korup, saluran artikulatif yang tersumbat dan seterusnya. Muncullah keresahan yang melanda kaum intelektual Islam, yang disusul bangkitnya gejolak dan impetus-impetus ketidakpuasan.

Celakanya, luapan gejolak ini ternyata tidak mendapatkan outlet yang wajar lewat infrastruktur sosio-politik umat Islam, karena baik orpol maupun ormas Islam yang telah lama raib, atau, kalaupun masih ada, keberadaannya telah jauh terkooptasi dan tersubordinasi ke dalam “struktur yang dominan”. Masalah inilah yang pada gilirannya melahirkan kecenderungan “ekstremis” (Muslim fundamentalis). Konsekuensinya, karena setiap ekstremis bermakna subversif bagi logika stabilitas pembangunan, terlibatlah aparatur negara untuk “menertibkannya”.

Melihat risiko besar yang menghadapinya, kaum intelektual Islam terpaksa mundur dari “jagat gede” (masyarakat luas) dan mendirikan camp-camp konsentrasi di “jagat cilik” (kampusnya masing-masing). Sialnya, jagat kecil yang mereka pilih itu pun ternyata jagat kecil yang telah mengalami “normalisasi, depolitisasi, dedinamisasi”. Maka tersudutlah mereka dalam kekuatan pinggiran.

Terjadilah pergeseran watak dari orientasi dakwah keagamaan: dari da’wah bil hâl (bilisânil hâl) menjadi da’wah bil lisân (bilisânil maqâl). Dari ikhtiar penyadaran umat dalam semangat populistis menjadi pengajaran sesama golongan terpelajar dalam arogansi aristokrasi. Dari aksi-aksi praksis berbasis massa menjadi aksi pencanggihan teoretis yang berbasis ide dan gagasan.

Agama Goyang Lidah

Dampak selanjutnya dari keadaan seperti itu, lahirlah involusi dan reifikasi ajaran dan amalan keagamaan. Yakni, ketika mereka menerjemahkan kebutuhan untuk menegakkan “kalimatillah” menjadi kebutuhan akan ceramah dan diskusi. Ketika mereka menyamafungsikan belajar agama dengan belajar tentang agama.

Di sinilah terasa perlunya menilik kembali secara kritis isu kebangkitan Islam (intelektual Islam). Sebab, apa yang diklaim dengan semaraknya kehidupan beragama di kampus yang dijadikan indikator kebangkitan selama ini, sesungguhnya tak lebih dari peristiwa meningkatnya frekuensi transfer informasi keagamaan dalam suatu pola pertukaran pesan yang lebih sering bersifat eksistensial. Ini diperlihatkan oleh situasi hubungan antara komunikator (da’i) dengan komunikan (umat) yang berlangsung secara vertikal dan nonkopartisipasi. Di sini berlangsung proses dakwah ala bank concept of communication. Dai yang aktif, hadirin pasif; dai bicara, hadirin mendengarkan; dai memilih, hadirin dipilihkan; dan dai berpikir, hadirin bertepuk tangan.

Betapa banyak dai yang bisa dilambungkan status sosial, ekonomi dan politiknya setelah laris “dipakai” di kampus-kampus. Tentang perkara yang terakhir ini, asal dai berani bicara bright---meskipun tidak right, memiliki pesona dan kecakapan menggelarkan teori-teori canggih secara meyakinkan, akan tampil sebagai idola yang banyak digugu, ditiru dan diserbu “intelektual kelas dua” (mahasiswa aktivis keagamaan). Tak heran jika ceramah-ceramah dan diskusi keagamaan selama ini sering kali menjadi “modern katartik” yang menghipnose publik. Adapun kegagalan dan keberhasilan dakwah acap kali diukur dengan ukuran kuantitas (jumlah pengunjung) belaka.

Situasi demikian menyeret agama menjadi permainan “goyang lidah”. Doktrin jihad secara antusias ditadaruskan, tapi, pedang perjuangan tetap saja disarungkan. Kemiskinan getol dibicarakan, tapi periuk nasi tetap dibasikan. Ketertindasan secara khusyuk diratapi, tapi perisai pembelaan tetap diabaikan.

Meneguhkan Hegemoni Sains

Alhasil, apa yang diributkan dengan kebangkitan Islam yang berbasis kampus itu sesungguhnya hanyalah permak baru dari wajah lama. Kalau dulu, lewat para pemuka agama tradisional, Islam lebih sering ditampilkan sebagai agama yang menekankan intensitas ritualistik, aksetisme dan puritanisme, maka sekarang lewat para intelektual, Islam diintrodusir sebagai agama yang melangit pada aras abstraksi-abstraksi ilmiah, pencanggihan teoretis dan aksentuasi rasionalitas.

Di sini, kita melihat kecengengan perseptual para pengamat selama ini. Karena kenyataannya arus utama yang tengah men-trendy sekarang ini bukanlah berkecambahnya intelektual Islam pemuja sains. Omongannya boleh saja mengutuk sains tapi, sikapnya malah meneguhkan hegemoni sains. Ironisnya, sains yang mereka anut pun paling banter baru sampai pada realitas simbolik, belum mencair menjadi realitas objektif. Baru tiba di kepala, belum turun ke gerakan tangan dan kaki.

Yang Kita Butuhkan “Raushanfekr”

Umat Islam Indonesia dewasa ini---terutama yang tinggal di kota-kota besar---tengah menghadapi nestapa “kenihilan dua muka” (double not). “Nabi lama” (pemuka agama tradisional) telah terlanjur mereka tinggalkan karena dianggap anakronistis, sementara “Almahdi Juru Selamat” (intelektual Islam) belum kunjung datang. Tragedi paling menyedihkan yang menimpa umat Islam sekarang ini disebabkan oleh senjangnya komunikasi dan besarnya perbedaan pandangan antara rakyat jelata dan kaum intelektual.

Untuk itu, tugas terbesar bagi orang yang ingin membangun umatnya adalah mengupayakan terbentangnya jembatan antara pulau indah dan misterius yang dihuni kaum intelektual dengan dataran tanah kumuh yang dihuni rakyat jelata. Sebuah jembatan yang dapat diseberangi oleh kedua belah pihak sehingga mereka dapat berhubungan.

Maka dari itu, yang kita butuhkan sekarang adalah lahirnya apa yang disebut Ali Syari’ati dengan raushanfekr (pemikir yang tercerahkan). Menyimpang dari arus kebanyakan para ilmuwan, filosof, pemuka agama dan seniman yang melulu beronani dengan abstraksi-abstraksi ilmiah, bermesraan dengan intuisi filosofis, berpacaran dengan wirid-wirid penyucian, atau bermesraan dengan puisi-puisi yang sebenarnya tersamar di balik metafor, ambiguitas, lambang, dan sarkasme, hingga sedikit orang yang bisa memahaminya.

Pemikir yang tercerahkan adalah individu-individu yang sadar, sabar dan bertanggung jawab terhadap nasib umatnya, bangkit melangkah menuju jantung masyarakat, menyerukan kesadaran, kebebasan dan keselamatan bagi rakyat dengan menggunakan bahasa kaumnya. Berdiri di tengah-tengah umatnya memainkan peranan sebagai nabi-nabi sosial, yang turut membantu membebaskan belenggu kebodohan, kemiskinan dan penindasan struktural yang memasung kehidupan mereka. Inilah yang kita tunggu. Wallahu a’lam bish-shawab![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar