Selasa, 20 Januari 2015

Bahasa dan Tradisi Berpikir Kritis

"Maaf, saya membocorkan rahasia ini kepada Anda. Tetangga saya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama, yang biasa ‘kosnya’ seratus lima puluh ribu per bulan, ternyata tidak pernah sanggup berlangganan surat kabar. Hampir saban hari dia datang ke kontrakanku, yang nota bene kusewa hanya dua ratus ribu per tahun, untuk turut nimbrung membaca berita. Dan berita apa coba yang dia baca? Iklan film, lowongan kerja, atau paling banter berita olahraga.”

Begitu ujar teman kuliah saya dulu.

Bagi saya sendiri kabar tersebut tidak terlampau istimewa, sebab kasus-kasus serupa begitu sering saya dengar dari teman-teman yang lain. Sungguh pun begitu, cukuplah hal ini menggugah kembali ingatan saya pada seorang mahasiswa Jerman yang tengah belajar antropologi di Unpad.

“Saya heran, mengapa di Indonesia ini begitu sering terjadi kasus-kasus pelarangan buku. Padahal, di kalangan mahasiswa saja yang konon merupakan masyarakat ilmiah, hanya sedikit yang memiliki tradisi membaca. Mana bisa kritis?

Sampai di sini, ingatan saya lantas hinggap di ranting peristiwa yang lain. Ketika suatu waktu, di sudut kantin mahasiswa, seorang teman saya secara nyaring memuji tulisan Fachry Ali di sebuah harian “X”, sekonyong-konyong terdengar celoteh sekawanan mahasiswa yang tengah asyik menyantap makanan ringan: “Iya, bagus sih bagus, tapi bahasanya susah dipahami.” Lalu kata yang lainnya: “Gue nggak pernah baca esai Koran ‘X’. Habis, bahasanya itu, lho!”

Menarik benang merah dari serpihan peristiwa-peristiwa tadi, mengantarkan saya pada suatu hipotesis. Kalau begitu, bisa jadi, masalah lemahnya kemampuan berpikir kritis dan tradisi membaca di kalangan mahasiswa (masyarakat) selama ini bermula dari miskinnya kemampuan “berbahasa” yang dikuasai mereka.

Kepenasaran ini mendorong saya untuk membuka kembali beberapa buku yang tertindih di bawah tumpukan usia. Tersebutlah seorang yang bernama Charles Hurts. Terilhami oleh teori “linguistic relativity”---yang menyatakan bahwa pikiran seseorang akan menentukan bahasa dan yang pada gilirannya bahasa pun akan mengatur pikiran seseorang---lantas mengadakan penelitian eksperimental di sebuah perguruan tinggi di Amerika, tentang pengaruh Speech Courses (latihan retorika) terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasil penelitian yang memakan waktu hampir tiga tahun itu membuktikan bahwa pengaruhnya cukup signifikan.

Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibandingkan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.

Lalu Hurts menyimpulkan: “Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah Speech tingkat dasar adalah agen sintesis, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap fenomena yang membentuk kepribadian.”

Penelitian Hurst memberikan celah bagi kita untuk melihat lebih jauh hubungan antara kemampuan berbahasa dengan kesanggupan berpikir kritis. Tapi tentu saja hal itu belum cukup memuaskan. Bukan apa-apa, pertama, penelitiannya hanya terpatok pada bahasa lisan, kedua, parameter prestasi yang dilihatnya lebih bertitik berat pada prestasi akademis. Yang terakhir ini agak repot jika diterapkan di Indonesia. Sebab, ngomong-ngomong soal prestasi akademis mahasiswa di sini, biasanya diukur menggunakan skala Indeks Prestasi Kumulatif (IPK).

Padahal, semua orang tahu, bahwa IPK seseorang sering kali tidak mencerminkan kualitas keilmuan dan kapasitas berpikir orang yang bersangkutan. Artinya, boleh jadi mereka yang kaya kemampuan bahasanya, sanggup berpikir kritis, dan doyan melahap bacaan memperoleh IPK yang jauh lebih rendah dibanding dengan mahasiswa yang sebaliknya.

***

Maka yang masih kita butuhkan selanjutnya adalah penjelasan yang lebih holistik. Di sinilah kita merasa perlu menyempatkan diri untuk sekadar beranjangsana dengan hipotesis Sapir Whorf (Edward Sapir dan Benyamin Whorf). Hipotesis ini dimulai dengan sejurus pertanyaan sebagai berikut: “Apakah konsep kita tentang ‘waktu’, ‘ruang’, dan ‘materi’, diberikan dalam bentuk yang pada dasarnya sama oleh semua orang, atau sebagian dikondisikan oleh struktur bahasa tertentu?” Jawabannya, “tidak” pada pertanyaan pertama, dan “ya” pada pertanyaan selanjutnya.

Selanjutnya hipotesis ini menyatakan bahwa bahasa tidak sekadar menyajikan alat untuk menyatakan gagasan, tetapi lebih dari itu, kata-kata yang digunakan orang itu membentuk gagasan-gagasan mereka. Artinya, berpikir ditentukan (dan dibatasi) oleh bahasa yang tersedia bagi orang-orang di dalam suatu komunitas bahasa. Apalagi, bahasa menguasai persepsi atas segala sesuatu, dengan demikian mempengaruhi apa yang dilihat orang dan mempengaruhi bagaimana orang mengkonseptualisasikan realitas.

Pantaslah kalau kemudian, para sastrawan, para wartawan, para lisanawan (orator) dan para filosof), yang banyak bergumul dengan perkara utak-atik bahasa mempunyai tradisi menguat untuk tetap bertengger di garda depan khazanah intelektual Indonesia selama ini.

Hingga di situ buku itu pun saya tutup kembali. Ingatan pun kembali menerawang kepada sekawanan mahasiswa yang tidak sanggup membaca artikel, orang-orang kaya yang tidak mampu berlangganan koran, serta kritik pedas tentang lemahnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Sekali lagi saya bergumam, tidakkah semua itu sebagian bermula dari miskinnya kemampuan “bahasa” mereka?

Mungkin saja begitu. Sebab, seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa kemampuan berbahasa bisa melahirkan kemampuan berpikir kritis, yang pada gilirannya kemampuan berpikir kritis ini merupakan predisposisi yang kondusif ke arah bacaan. Siklus selanjutnya, semakin orang banyak membaca makin kritis pikirannya serta makin kaya kemampuan bahasanya. Begitulah seterusnya.

Masalahnya, mengapa mahasiswa-mahasiswa tadi dan banyak mahasiswa lainnya sekarang ini yang mengalami krisis kemiskinan “bahasa”?

***

Kalau kita mendasarkan perkembangan kebudayaan Indonesia melalui fase mitis, ontologis lalu fungsional---seperti yang diisyaratkan oleh Van Peursen---maka kita akan memergoki bahwa pada fase mitis, bahasa yang banyak dikembangkan di lingkungan masyarakat masa itu bukanlah bahasa-bahasa analitis-investigatif melainkan lebih merupakan bahasa-bahasa magis-harmonis. Dalam eksistensinya yang demikian, bahasa menjadi kurang fungsinya sebagai alat kontrol sosial yang berkemampuan untuk terus-menerus melakukan subversi terhadap realitas, memaparkan realitas secara objektif, serta menilainya secara kritis.

Akan tetapi, ia lebih berfungsi sebagai alat legitimasi status quo, yang bertugas menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan di dataran mikrokosmos dan makrokosmos. Kondisi bahasa masyarakat seperti itu lantas merembet ke lingkungan keluarga.

Bahasa yang disosialisasikan oleh para orangtua kepada anaknya di sini lebih bercorak imperatif dan bersifat instruktif, tinimbang bercorak kategoris yang memungkinkan terilhami dan terbinanya konstruksi berpikir anak-anak untuk senantiasa menilai dan memilih sesuatu secara kritis. Celakanya, iklim kebahasaan serupa itu, ternyata tidak berhasil ditransformasikan ketika masyarakat kita memasuki fase ontologis. Sistem pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, misalnya, terlalu menitikberatkan pada aspek-aspek gramatika kebahasaan dengan mengabaikan segi-segi pragmatisnya.

Sementara infrastruktur bahasa pada fase ontologis masih rapuh dan semrawut, tiba-tiba gebyar-gebyar kehadiran teknologi dan birokrasi raksasa yang menandai atmosfer peradaban fungsional menyergap kita begitu segera. Akibatnya, masyarakat kita menghadapi dan menyikapi keberadaan fungsional (teknologi-birokrasi) dengan bahasa magis dan pseudo science yang tak karuan.

Maka, apa gerangan yang terjadi? Dengarkanlah ini: “Go ahead breaker!” “Alpha romeo indian” masuk. “Hallo friend, sorry ya, kemarin ogut kagak bisa ikut ke pesta. Habis, bokap ogut kagak ngasih doku buat beli spokat.”

Di langit-langit kerentanan alias vulnerabilitas dan kerapuhan eksistensi bahasa seperti itulah mahasiswa (masyarakat) kita hidup dan berkembang. Mereka tumbuh menjadi manusia-manusia “miskin bahasa”, lantas menjelma menjadi makhluk-makhluk ateoritis, ahistoris, antiberpikir dalam, antibacaan serius, dan antiilmu pengetahuan. Lalu, secara tidak terduga, mereka mencakar dan mencoreng muka bangsanya sendiri. Ya, mereka mempermalukan bangsanya sendiri. Sebab, bukankah peribahasa mengatakan, bahasa itu menunjukkan bangsa? Atau, bahasa itu menunjukkan kebingungan bangsa?[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar