Memang benar, secara formal dan kuantitatif, kegiatan dakwah sekarang ini menunjukkan perkembangan yang pesat. Indikatornya secara sederhana dapat dilihat, misalnya, berupa pesatnya perkembangan jumlah masjid, semaraknya majelis-majelis taklim, glamournya penyelenggaraan MTQ, dan sebagainya. Akan tetapi, di balik kesemarakan yang membiuskan itu kita takkan bisa menutup mata bahwa arena dakwah selama ini lebih merupakan ajang masyarakat menanggap kehebatan dai idolanya, daripada sebagai sarana mereka untuk mengkaji dan bertindak.
Pasiva yang menempel pada modus dakwah serupa ini, di level teoretis, memiskinkan produksi pemikiran-pemikiran keislaman yang bermutu, yang bersaing di pasar pemikiran global. Persis seperti kritik yang dilontarkan oleh Fazlur Rahman yang menyebutkan bahwa pemikiran Islam Indonesia berada di luar arus pemikiran intelektual dunia dan kurang memiliki gaung internasional. Umat Islam Indonesia, bahkan ulama dan cendekiawannya, selama ini sekadar menjadi konsumen pemikiran Islam, di negeri-negerinya sendiri saja hasil pemikiran para cendekiawan Muslim belum menjadi tuan rumah. Lebih lanjut, dikatakan, mereka rupanya lebih suka berpidato daripada menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan atau buku, yang sebenarnya jauh lebih monumental.
Sedangkan di level praksis, model dakwah seperti itu bisa mengakibatkan munculnya sikap-sikap mendua di kalangan umat. Di satu pihak, mereka berteriak menggembar-gemborkan kehebatan misi Islam. Namun pada saat yang sama, mereka diam terhadap berbagai wujud kemaksiatan dan kemungkaran yang begitu gampang dipergoki di sekelilingnya, atau bahkan yang bersemayam pada dirinya sendiri.
Mesti ada jalan keluar untuk mengatasi insersia bawaan yang dilahirkan model dakwah semacam itu. Lalu kita perhatikan sendiri, beberapa saat berselang para aktivis Islam begitu gandrung dengan istilah da'wah bil hal, yang dipercayai sebagai tawaran lebih bermutu dibandingkan dengan da'wah bil lisan yang menjadi mainstream. Namun bagi saya pribadi, antara dua jenis dakwah itu bukanlah soal pilihan mana yang lebih penting, melainkan berupa perkara komplementer yang mesti berjalan bergandengan. Bagi kedua cara itu, ada alasan historis sendiri-sendiri untuk ditransformasikan secara adekuat dalam konteks Indonesia kekinian.
Melacak Jejak Historis
Betapapun sumirnya penilaian Fazlur Rahman tentang bobot pemikiran umat Islam Indonesia, namun, secara historis, memang harus kita akui bahwa sejarah umat Islam di negeri ini adalah sejarah umat Islam tanpa tradisi ilmiah. Pandangan demikian tidaklah mengada-ada, sebab, bahkan seorang intelektual sekaliber Nurcholish Madjid pun turut mensahihkannya. Berulang kali Cak Nur mengatakan: Cobalah kita renungkan kenyataan sejarah sederhana ini. Ketika Al-Ghazali yang berasal dari Kota Thus di Persia itu, sekitar abad ke-12, tengah sibuk menulis karya-karya polemisnya yang ditujukan kepada para filosof (khususnya Ibn Sina), pada masa itu, Indonesia, dalam hal ini Tanah Jawa, tengah menyaksikan kekuasaan Kediri dengan Jayabaya sebagai rajanya. Lantas jika Al-Ghazali kelak meninggalkan warisan berbagai karya tulis seperti kitab Ihya 'Ulum Al-Din, Jayabaya pun meninggalkan karya tulisannya yang bernama "Jangka Jayabaya". Namun, bila yang pertama mewariskan suatu wacana yang bersifat analitis dan polemis, yang kedua malah mewariskan suatu karya yang oleh orang banyak dipandang sebagai hasil sebuah kreativitas autistik (imajinatif), jika bukan khayalan dan reka-reka belaka.Penghadapan kedua tokoh sezaman dengan warisannya masing-masing tadi mengungkapkan suatu kenyataan bahwa sejarah Islam dan pemikiran Islam di Indonesia ini masih relatif baru. Kebaruan ini makin terasa manakala kita menengok kenyataan historis yang lain. Ketika pada tahun 1293 kerajaan Majapahit berdiri dengan simbol puncak kejayaan kerajaan Hindu sendiri, yakni lembah Sungai Indus, sekitar lima setengah abad sebelum itu telah jatuh ke tangan umat Muslim, yang lebih penting lagi, ketika pada abad ke-13 kota Bagdad, sebagai pusat ilmu pengetahuan Islam takluk ke tangan bangsa Mongol, pada saat yang sama, gelombang besar Islamisasi baru merambah ke kota-kota pesisir laut Jawa. Lalu, tatkala berakhirnya abad ke-15, imperium-imperium Islam di India, Persia, Turki, Spanyol, berturut-turut jatuh ke tangan bangsa-bangsa Barat, pada awal abad ke-16 di tanah Jawa baru berdiri Kerajaan Islam Demak.
Sebagai umat yang relatif muda, dengan sendirinya umat Islam Indonesia hanya memiliki tradisi intelektual dari isi perpustakaannya sendiri yang masih embrional. Hal mana, teramat berlainan dengan pengalaman umat Islam di anak benua Indo Pakistan misalnya. Disebabkan oleh pengalaman mereka memilih sejarah keislaman yang panjang dengan kekuasaan politik Islam yang menjadi masa lampau gemilang anak benua itu, kita dapati perpustakaan mereka penuh dengan warisan karya-karya klasik yang memperoleh pengakuan dunia (lihat Nurcholish Madjid dalam pengantar buku Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1989).
Dan tragisnya, faktor kebaruan sejarah dan tradisi pemikiran Islam ini juga diperkisruh oleh kendala-kendala kesejarahan yang menyertai proses pembangunan tradisi tersebut. Kendala yang dimaksud antara lain adalah periferalisasi dan marginalisasi umat Islam yang berkepanjangan dalam pergulatan hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi dalam sejarah Indonesia modern.
Seperti yang telah sering dilaporkan oleh para sejarawan, gelombang Islamisasi Indonesia, secara besar-besaran, sebenarnya baru dimulai pada abad ke-13. Sungguh fantastis, proses pengislaman Nusantara ini berlangsung begitu cepat. Setidaknya hingga pertengahan abad ke-15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas ke seluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial bahkan telah muncul sebagai agen perubahan sejarah yang penting. Pada saat itu para saudagar Muslim telah banyak membangun "diaspora-diaspora perdagangan" terutama di pesisir-pesisir pantai, tempat mereka mengadakan hubungan niaga dengan pusat-pusat dagang internasional. Pada akhir abad ke-15 kelas saudagar Muslim ini bukan saja telah berada di ambang batas evolusi kapitalis ke arah terbentuknya masyarakat borjuasi dagang, menggantikan perekonomian agraris, tetapi mereka juga telah berhasil membangun basis politiknya lewat kerajaan-kerajaan pesisir utara Jawa (lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung, Mizan, 1991).
Namun sayang, kekuatan historis Islam ini tidak berlangsung lama, sebab tak lama kemudian pada awal abad ke-16 muncullah kekuatan kolonial Barat di Asia Tenggara. Munculnya kekuatan-kekuatan ini sesungguhnya menandakan terjadinya babak baru dalam sejarah Indonesia. Mereka pelan-pelan merebut basis-basis perdagangan para saudagar Muslim, lalu disusul dengan penaklukan-penaklukan kerajaan-kerajaan Islam. Sehingga pada akhir abad ke-16, kekuatan politik Islam yang didukung oleh basis perdagangan internasional itu pun tumbang. Bersamaan dengan tumbangnya kekuatan politik Islam, muncullah kekuatan renaisans Hindu Jawa yang ingin menegaskan kembali basis ideologinya: berupa negara agrasis patrimonial. Maka di sinilah Islam mengalami momen historis yang menyesakkan. Secara eksternal ia menghadapi ekspansi kapitalisme Barat, dan secara internal menghadapi kebangkitan ideologi pribumi. Maka terjadilah proses periferalisasi dan marginalisasi Islam secara politik, ekonomi, dan juga ilmu pengetahuan.
Tentang terjadinya proses perifelisasi sistem pengetahuan Islam pada saat itu bisa diterangkan sebagai berikut. Tergusurnya basis ekonomi dan politik Islam di daerah-daerah pesisir mengakibatkan terjadinya proses "peasantization" (petanisasi) dan "ruralisation" (pengudikan) terhadap umat Islam. Secara simbolis dan kultural, ini berarti menggantikan etos pedagang yang mobil, kosmopolit dan urban, dengan mentalitas petani yang statis, "localised", dan agraris. Yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya transformasi sistem pengetahuan dari yang bercorak rasional menjadi bercorak mitis (Kuntowijoyo, ibid.). Corak berpikir mitis yang dibenturkan dengan posisi politik yang represif inilah yang akhirnya melahirkan modus dakwah yang bermuatan pesan-pesan yang bersifat magis, eskapis, dan utopis, yang sering dipandang oleh kalangan modern Islam sebagai takhayul dan bid'ah. Di sini dakwah bukanlah menjadi sarana bagi orang untuk mengkaji Islam secara analitis, melainkan lebih merupakan medium katarsis dari kondisi sosiopsikologis yang tertekan. Inilah sandungan pertama yang menghambat proses penanaman benih-benih tradisi keilmuan di kalangan umat Islam di Indonesia.
***
Proses industrialisasi awal di Nusantara tumbuh pada paro kedua abad ke-19, yang disokong oleh perkembangan yang mengesankan di bidang jaringan lalu lintas dan transportasi. Proses ini berkoeksidensi damai dengan hadirnya kebijakan politik etis yang diberlakukan pemerintah kolonial terhadap penduduk "bumiputra", yang kemudian mendorong tumbuhnya horizon baru dalam tata pergaulan dan tata pemikiran umat Islam Indonesia.
Industrialisasi menularkan percikan pemikiran rasional; revolusi transportasi menghampirkan umat Islam Nusantara ke pusat-pusat Islam internasional dan memicu terjadinya apa yang disebut gelombang "orang Jawa naik haji". Peristiwa haji saat itu bukan saja sekadar peristiwa 'ibadah mahdhah, tetapi sekaligus sebagai wahana studi dan sharing pemikiran bagi upaya-upaya penyelesaian masalah-masalah Islam internasional; sedangkan politik etis membuat peluang bagi "umat Islam" untuk memasuki bangku pendidikan modern.
Persenyawaan ketiga pengalaman itulah yang pada awal abad ke-20 melahirkan gerakan-gerakan dakwah keagamaan, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan sebagainya.
Meskipun gerakan-gerakan keagamaan ini memiliki gaya dan modus dakwah yang berlainan, akan tetapi pada dasarnya memiliki concern yang sama, yakni melakukan reaktualisasi ajaran dan pembaruan ajaran Islam, dengan mengintroduksikan corak berpikir rasional, untuk mengemansipasi diri mereka dari cengkraman kolonial sekaligus mengantisipasi tibanya gelombang peradaban baru yang menyertai dinamika industrialisasi.
Suasana represif dan perhatian yang terkonsentrasikan terhadap rezim kolonial, memang menyulitkan gerakan-gerakan ini untuk menjalankan misinya secara leluasa. Namun demikian, setidak-tidaknya mereka secara perlahan berhasil mendirikan infrastruktur pendidikan "tradisional" (pesantren) dan "modern" (sekolah). Suatu faktor yang teramat penting dalam mendukung telaah-telaah keislaman dan membangun tradisi intelektual di kalangan umat Islam Indonesia. Di samping kontribusinya yang tidak sedikit dalam mengantarkan Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaannya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar