Sabtu, 10 Januari 2015

Perpustakaan sebagai Garba Informasi

Praktik dakwah yang umumnya berkembang selama ini, pada dasarnya berangkat dari suatu prakonsepsi yang beranggapan bahwa dalam proses dakwah, masyarakat adalah objek yang harus diubah dan dituntun karena ke-dha'if-an dan potensinya untuk bertindak jahil. Untuk itu menjadi tugas para dai dan lembaga dakwah dalam menjaga agar masyarakat tetap berpijak pada jalan yang lurus.

Dengan kata lain, konsep dakwah selama ini sesungguhnya menyerupai bank concept of communication, yang mengibaratkan masyarakat sebagai wadah kosong, yang harus diisi dengan keyakinan, nilai-nilai moral, serta praktik-praktik kehidupan agar disimpan dan secara otomatis bisa dikeluarkan pada saat dibutuhkan. Konsepsi demikian biasanya diikuti oleh pola komunikasi yang bersifat linier-vertikal (satu arah), di mana para dai berbicara-->hadirin mendengarkan, dai berpikir-->hadirin dipikirkan, dai memilih-->hadirin menuruti, dai mengatur-->hadirin manut, dan sebagainya.

Ke Arah Perubahan Konsep Dakwah

Situasi dakwah seperti ini tidak hanya terjadi pada dakwah-dakwah yang bersifat massal, tetapi juga kerap terlihat pada mentoring-mentoring agama di kampus-kampus. Dengan situasi demikian, hanya dailah (mentorlah) subjek yang aktif sedangkan hadirin biasanya hanya menjadi objek yang pasif. Tak heran jika forum dakwah sering kali tak mampu mengembangkan minat-minat eksploratif serta kreativitas berpikir kritis. Sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun tradisi intelektual.

Selain itu, melalui logika dakwah demikian, keberhasilan dan kegagalan dakwah sering kali diukur dengan parameter kuantitas dan formalitas belaka: jumlah pengunjung, jumlah murid, dan jumlah santri dianggap sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan dakwah. Sedangkan pertanyaan di seputar bagaimana perkembangan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah jarang sekali diungkap. Dengan memakai ukuran di atas, bisa dimengerti, jika proses dakwah yang berkembang lebih banyak menguntungkan para dai daripada khalayak yang diserunya. Betapa banyak dai yang bisa dilambungkan status sosial, ekonomi dan politiknya setelah laris "dipakai" di berbagai majelis taklim. Namun tidak demikian halnya masyarakat awam. Tak heran jika kegiatan dakwah sering kali justru melahirkan struktur masyarakat yang para dainya menjadi elit sedangkan para jamaahnya berada pada struktur bawah (penelitian tentang masalah ini, lihat Moeslim Abdurrahman dalam Pesantren, 1987).

Dakwah dalam konsepsi yang berkembang sekarang ini amat menghambat kreativitas pengkajian dan sesungguhnya bisa dibilang sebagai proses pengumpulan konseptual dan pengembangan proses dehumanisasi. Padahal dari tradisi dan keyakinan semula, dakwah justru dimaksudkan sebagai sarana humanisasi. Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menguapayakan suatu konsep baru yang menjadikan masyarakat sebagai subjek perubahan bukan objek penonton.

Di sini, dakwah mesti diawali dari suatu kesadaran bahwa tidak ada seorang pun yang mengklaim dirinya sebagai da'i. Karena justru masyarakat adalah dai bagi mereka sendiri. Oleh karena itu, dakwah mestinya merupakan suatu proses dialog untuk membangkitkan kesadaran masyarakat dalam menumbuhkan potensi mereka sebagai khalifatullah. Pun kesadaran bahwa mereka diciptakan Allah untuk berkemampuan mengelola diri dan lingkungannya. Dengan begitu, esensi dakwah justru tidak mencoba mengubah masyarakat, tetapi menciptakan suatu "kesempatan" sehingga masyarakat akan sanggup mengubah dirinya sendiri.

Dengan kata lain, kesadaran kritis dalam memahami masalah dan menemukan alternatif jawabannya adalah justru tugas utama dakwah. Maka dari itu, dai yang kita butuhkan adalah dai yang partisipatif, yakni dai yang mampu menciptakan dialog-dialog konsensual, yang memberikan kesempatan kepada umatnya untuk menyampaikan pandangannya, merencanakan dan mengevaluasi perubahan sosial yang mereka kehendaki, serta bersama-sama menikmati hasil proses dakwah tersebut.

Dalam hal ini, anggapan keliru yang menyatakan bahwa "masyarakat kita masih bodoh. Dan, mereka belum sanggup berpikir sendiri", mesti dihalau jauh-jauh. Ketahuilah, di balik keluguan-keluguan mereka yang tampak naif, ada kearifan tradisional yang sudah mendarah daging. Dan itu adalah energi kreatif yang hanya bisa dibangkitkan dengan perubahan konsepsi dakwah tadi.

Masyarakat Berbasis Informasi

Jika pada tawaran pertama lebih menekankan pada pola hubungan yang harus diciptakan dalam proses dakwah Islam, tawaran kedua ini lebih berorientasi pada cara memberi isi terhadap hubungan-hubungan ideal yang didambakan tadi. Dalam konteks ini, teramat penting untuk mengetahui terlebih dahulu arah dan trend perkembangan peradaban manusia dewasa ini.

Telah banyak dibicarakan orang, bahwa abad ini sering disebut sebagai era informasi, yang mengisyaratkan munculnya suatu peradaban dan tata sosial baru yang mendasarkan informasi sebagai tulang punggung kehidupan (information-based society). Jika pada masyarakat agrikultural (pertanian) pemilikan tanah menjadi barometer kualitas hidup, dan pada masyarakat industri, uanglah yang menjadi ukuran kejayaan, maka pada masyarakat informasi, informasi dijadikan sebagai barometer untuk mengukur martabat seseorang dan suatu umat dalam percaturan dunia.

Tingginya terpaan terhadap informasi, besarnya tingkatan konsumsi informasi, tingginya kemampuan daya guna informasi serta besarnya akses terhadap pemilikan dan penguasaan sumber-sumber informasi merupakan karakteristik-karakteristik yang menandai kemajuan suatu masyarakat.

Tidak sedikit para ahli komunikasi yang menganggap bahwa abad informasi merupakan berkah bagi manusia di seluruh penjuru dunia. Agaknya mereka lupa bahwa negara-negara terbelakang seperti negara-negara Muslim, yang belum sanggup memproduksi informasi secara self-sufficient, persaingan kekuatan informasi bukan saja semakin melebarkan masalah-masalah domestik, akan tetapi semakin menambah ketergantungan mereka terhadap negara-negara maju. Bila pada era industri ketergantungan mereka lebih bersifat material, maka pada era informasi ketergantungan itu juga melibatkan ketergantungan mental, filosofis, dan kultural.

Sebab, seperti yang pernah diungkapkan oleh Ziauddin Sardar, informasi bukanlah sekadar sekumpulan fakta objektif yang bebas nilai, melainkan selalu mempunyai muatan ideologis, filosofis, dan pandangan-dunia tertentu. Dengan kata lain, jika ketergantungan industri hanyalah ketergantungan apa yang kita miliki (what we have) maka ketergantungan informasi berarti ketergantungan jati diri kita (what we are).

Untuk menghindari itu semua, fungsi dakwah harus lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk membangun masyarakat Islam yang berbasis informasi; yakni masyarakat yang sadar informasi serta sanggup memproduksi dan mengolah informasi untuk kebutuhannya sendiri. Dalam rangka menghadapi tantangan ini, yang harus kita lakukan pertama kali bukanlah mengadopsi berbagai perangkat teknologi (informasi) modern yang serba canggih dan mahal---yang justru akan semakin menambah ketergantungan dan kesenjangan sosial yang tajam---akan tetapi mesti dimulai dengan jalan mendirikan infrastruktur-infrastruktur kognitif (informasi) paling sederhana, tetapi amat vital peranannya sebagai pemicu ke arah eksplorasi-eksplorasi lanjutan.

Di sini saya menawarkan jaringan perpustakaan sebagai soko gurunya. Ada beberapa alasan yang mendorong saya menyodorkan alternatif ini. Pertama, perpustakaan merupakan warisan tradisional infrastruktur informasi umat Islam yang lebih banyak jasanya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Kedua, membangun masyarakat yang sadar informasi tidak mungkin tercapai tanpa didahului upaya-upaya membangun tradisi kepustakan, yang berintikan kebiasaan membaca dan menulis. Ketiga, perpustakaan juga relatif mudah dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat. Oleh karena itu, gagasan tentang perlunya didirikan perpustakaan-perpustakaan masjid, sungguh merupakan gagasan strategis yang perlu kita sambut dengan hangat.

Menjadikan perpustakaan sebagai garba informasi untuk umat Islam berarti menuntut adanya perluasan medan semantik dakwah: dari tradisi lisan ke tradisi tulisan, dari tradisi ceramah ke tradisi mengarang, dari tradisi mendengar ke tradisi membaca. Dan, ini tentunya tidak mudah bagi umat Islam Indonesia yang pada umumnya hanya terawat pada pola asuhan lisan. Akan tetapi, bagaimanapun sulitnya, kebiasaan membaca dan menulis mau tidak mau mesti terus-menerus ditanamkan jika kita benar-benar menginginkan masyarakat yang sadar informasi dan mampu berpikir mendalam.

Sebab, selain bisa dipelajari berulang kali---dibawa ke mana-mana serta dikaji sendirian---yang bisa merangsang kreativitas berpikir cuma tulisanlah. Bukulah yang bisa menawarkan kedalaman serta mampu menawarkan informasi yang lengkap dan akurat. Sehingga tanpa terbinanya tradisi ini, amat sulit bagi umat Islam Indonesia untuk berswasembada informasi, dan amat musykil untuk bisa membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu pemikiran picik dan asing, yang sering kali tidak begitu relevan dengan kebutuhannya sendiri, jika tidak malah melumpuhkan dirinya sendiri.

Memang, masih banyak masalah lainnya yang perlu diperhatikan di seputar dakwah Islam. Seperti, misalnya, perlunya reaktualisasi teologi dakwah, pentingnya peta dakwah, butuhnya penerapan profesionalisme dan teknik-teknik modern dalam dakwah serta mendesaknya tuntutan da'wah bil hal, dan sebagainya.

Semoga apa yang telah diutarakan secara sekilas ini bisa memberikan horizon bagi upaya-upaya transformasi dakwah Islam ke arah yang lebih kualitatif. Amin![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar