Pandangan optimistik seperti itu diobral bukannya tanpa alasan. Berkibarnya peristiwa-peristiwa keagamaan yang menjadi buah catur media massa, seperti: merajalelanya gebyar-gebyar “jilbab” di kota-kota besar, semaraknya mentoring Al-Islam di kampus-kampus, getolnya intelektual Islam tampil di berbagai forum diskusi, bermunculannya lembaga-lembaga pengkajian Islam, larisnya buku-buku keagamaan, makin intensifnya dialog NU-Muhammadiyah, serta kian berkembangnya kajian-kajian keagamaan lintas-madzhab, merupakan saksi pendukung yang dijadikan jaminan untuk memastikan pandangan optimistik tadi.
Ironisnya, justru dengan “saksi-saksi” yang mereka tampilkan kita akan segera melihat betapa biasnya kesimpulan yang mereka sodorkan. Setidak-tidaknya kesimpulan serupa itu mencerminkan pandangan yang partikularistis, elitis serta bias urban yang terlampau berlebihan dalam memahami realitas Islam Indonesia. Sebab kalau saja mereka mau mencoba menimbang perspektif lain yang lebih holistis dan populis, maka boleh jadi mereka pun akan tiba pada kesimpulan yang berbeda. Tendensi pemudaran kredibilitas kepemimpinan kiai (ulama tradisonal) ditakbirkan sebagai isyarat yang menunjukkan terjadinya gerak mundur sejarah Islam Indonesia.
Kesimpulan dalam perspektif yang terakhir ini penting kita kemukakan, mengingat bahwa secara ekonomis sebagian besar umat Islam Indonesia bercokol di bawah garis kemiskinan, dan secara geografis berada di pelosok pedesaan yang dalam rentang waktu begitu panjang berada dalam “wilayah pengaruh” para kiai yang selain berperan sebagai pemimpin keagamaan, mereka juga sekaligus berperan sebagai inspirator, edukator, dan artikulator berbagai kepentingan masyarakat sehari-hari. Sehingga, jika benar sekarang ini para kiai mengalami krisis kredibilitas, maka hal itu berarti merupakan mimpi buruk bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, kita merasa perlu untuk mengidentifikasi kekuarangan dan kelebihan Islam di tangan kedua kubu tadi (kiai dan intelektual), sambil mencoba mengintip implikasi yang ditimbulkannya sebelum akhirnya bermuara pada kesimpulan apakah fenomena yang berkembang selama ini merupakan indikasi yang berkembang ke arah pembaruan, keterbelakangan, atau pembaruan keterbelakangan.
Islam Versi Kiai Tradisional
Kritik yang sering dialamatkan terhadap kiai versi kiai Islam tradisional ini adalah keterjebakan pada fanatisme sektarian, serta penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek penghayatan dan teknik (ritual) keagamaan, sehingga menelantarkan dimensi pemahaman (rasionalitas) dan dimensi sosialnya. Selain itu, seperti yang pernah dirumuskan oleh Fachry Ali dan Bachtiar Effendi dalam Merambah Jalan Baru Islam, bahwa kelompok tradisional terlalu memaku dirinya pada pemikiran lampau yang terwujud pada ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab-kitab kuning. Lewat perspektif masa lampau ini, mereka membenarkan adanya masa kini, terutama, kondisi politik yang berkembang di masa Orde Lama ataupun Orde Baru. Atas basis inilah logika pemikiran Islam dibangun, suatu logika yang melingkar-lingkar di seputar diktum-diktum lampau. Dinamika pemikiran---atau sebetulnya lebih tepat disebut “perdebatan”---memang sering terjadi, tetapi selalu berada dalam postulat-postulat lampau. Postulat ulama-ulama lampau, dalam praktiknya, menjadi sesuatu yang baku, sesuatu yang tidak berubah, sehingga bila ingin memberikan pembenaran atas kondisi politik dewasa ini, bukanlah didasarkan atas perkembangan kekinian, melainkan atas rujukan postulat-postulat ulama masa lampau yang dirumuskan pada abad pertengahan. Akibatnya, pesan keagamaan menjadi begitu terbelakang dan terasing di tengah-tengah gemuruhnya dinamika modernitas.Kritik demikian sudah barang tentu bisa dibenarkan, akan tetapi yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan tersembunyinya pemahaman yang bersifat ahistoris. Sebab, kalau kita berusaha memahami para kiai dalam konteks jamaahnya, maka kita akan segera memaklumi bahwa kondisi orang-orang miskin dan masyarakat petani pedesaan yang kehidupannya paternalistik, tingkah laku dan taraf berpikirnya masih sangat sederhana, membatasi keleluasaan mereka untuk mengembangkan message keagamaan dalam corak lebih rasional dan modern. Mengintroduksi aspek-aspek rasionalisme Islam dalam porsi yang berlebihan tanpa mempertimbangkan kondisi objektif jamaahnya akan berakibat fatal. Oleh karena itu, menahan diri untuk tidak tergesa-gesa memojokkan jamaahnya sebagai pemuja takhayul, penganut bid’ah, pengamal talqin dan tahlil adalah kebijaksanaan yang mesti lama dierami para kiai untuk tidak membuat jamaahnya tersinggung dan menolak.
Dengan sikap akomodatif itulah para kiai berhasil menghilangkan gap dengan jamaahnya, dan sebaliknya, para jamaah menjadi begitu loyal terhadap kiainya, sehingga melahirkan suatu ikatan jamaah (patron-klien) yang begitu kohesif, yang pada gilirannya sanggup mengintegrasikan mereka ke dalam kekuatan sosio-kultural dan politik yang cukup menentukan bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Kiai dan Transformasi Sosial
Hal lain yang perlu dicatat, dan hal ini sering kali luput dari perhatian para pemerhati dan pembaru Islam selama ini adalah bahwa kendatipun teologi---an sich---yang dikembangkan para kiai berupa teologi konservatif yang kurang memiliki daya dukung terhadap upaya-upaya transformasi masyarakat, akan tetapi tidak secara ipso-facto membuat para kiai menjadi kehilangan peran transformatornya.Sebab, di samping tradisionalisme atau konservatisme yang dianutnya, para kiai masih memiliki daya penyeimbang yang dapat menjaga aktualitas perannya dalam proses transformasi masyarakat melalui berbagai keterlibatannya dalam berbagai urusan yang mereka sebut sebagai urusan nonagama (urusan duniawi). Lewat media “forum jamaah” yang dibangun bersama masyarakat, misalnya, para kiai bukan saja melulu mengomat-ngamitkan doa, melancarkan nasihat-nasihat surga-neraka, serta teguran-teguran kepada bentuk kemaksiatan, akan tetapi juga turut rembuk dalam rencana pembangunan irigasi, melebarkan jalan kampung, bahkan sampai pada urusan pembuatan “gapura 17 Agustusan”.
Itu sebabnya mengapa Islam versi kiai tradisional itu tidak menghasilkan Islam yang statis---seperti yang diduga oleh para pembaru---tetapi justru melahirkan sistem yang memungkinkan terjadinya perubahan yang dinamis, kendatipun dalam irama yang begitu tersendat dan sulit diramalkan. Dan itu pula sebabnya, mengapa tendensi pemudaran kredibilitas kiai tradisional yang berlangsung sekarang ini, terutama bukan disebabkan oleh terbelakangnya teologi yang mereka kembangkan, melainkan lebih dikarenakan terjadinya pengingkaran kesetiaan para kiai terhadap jamaahnya. Peristiwa ini terjadi tatkala hegemoni negara mengharu-biru aktivitas dakwah yang mereka lakukan, yang pada gilirannya nada dakwah mereka lebih sering menyuarakan kepentingan-kepentingan “pusat” ketimbang meladeni kebutuhan dan aspirasi jamaahnya.
Di sinilah ironinya, justru ketika para kiai mendakwahkan program-program pembangunan yang konon memfasilitasi kebutuhan transformasi masyarakat, para anggota jamaah malah kabur, kekuatan jamaah ambruk, dan kredibilitas kiai menjadi pudar. Akibatnya, orang-orang miskin dan masyarakat pedesaan sekarang ini bukan saja diambangkan secara politis dan ekonomis, tetapi juga diambangkan dari segi “agama”. Selanjutnya, mereka tidak hanya menghadapi nestapa pemiskinan ekonomi dan partisipasi politik, tetapi juga yang amat menyakitkan yakni tragedi pemiskinan nilai-nilai keagamaan.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar