Minggu, 11 Januari 2015

Kepicikan Pangkal Kerapuhan Ukhuwah

Sejarah memberi kita dokumentasi pelajaran yang amat berharga, bahwa sumber-sumber utama "kebangkrutan" Islam (umat Islam) bukanlah berasal dari serbuan eksternal, melainkan justru lebih dikarenakan friksi-friksi internal yang berkepanjangan.

Islam bisa berarti: damai, cinta, dan bersaudara. Tapi toh sejarah tidak berani berbohong untuk mengabarkan bahwa para pemeluk agama ini gemar bertengkar, suka mendiskreditkan saudaranya, doyan mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan tak segan-segan melontarkan sumpah-serapah dan fitnah dhalâlah sekalipun.

Islam juga bisa bermakna: ajaran keselamatan. Namun begitu, sementara bencana dunia kian meronta-ronta menghadapi kontribusi Islam bagi upaya penyelamatan nasib umat manusia, umat Islam sendiri malah masih bergelut dalam perdebatan-perdebatan pinggiran dan semangat 'ashabiyyah yang menyesatkan.

Sungguh amat ironis. Al-Quran menyeru umat Muslim agar bersikap lemah lembut terhadap sesamanya, dan berbuat "kasar" terhadap orang-orang kafir, yang sering terjadi malah sebaliknya. Terhadap orang-orang kafir kita menjadi "lembut" dan pengecut, kepada sesama Islam sendiri malah penuh nafsu dan cemburu.

Representasi simbolis dari sikap seperti itu, terekam dalam suatu kisah magis yang amat terkenal dari perangai kaum Khawarij terhadap seorang tokoh Mu'tazilah. Konon, Washil bin Atha', tokoh utama kaum Mu'tazilah, pernah kepergok segerombolan orang Khawarij yang tidak mengenalnya. Dan berlangsunglah dialog di antara mereka:

"Anda Muslim, bukan?" tanya seorang di antara mereka sambil memancarkan muka tak ramah.

Sekilas terlintas pikiran cerdik di benak Washil, yang lantas menjawab dengan pernyataan yang tak terduga, "saya seorang musyrik mustajir, Tuan."

Mendengar jawaban itu, sekali lagi tanpa kita duga, sikap tak ramah mereka mendadak sirna. Lantas dengan santun mereka mempersilakan Washil duduk di tempat yang telah disediakan, seraya dikumandangkan ayat-ayat suci Al-Quran lengkap dengan jamuan makan yang mereka sajikan. Padahal, sudah terkenal di masa itu, orang-orang Khawarij, sebaliknya dari sikap mereka yang lunak terhadap orang-orang musyrik, kerap kali bersikap keras dan kejam terhadap orang-orang Muslim yang tidak sealiran dengan mereka.

Lalu, apakah dengan berlalunya waktu, perangai seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Khawarij pun dengan sendirinya sirna? Sama sekali tidak! "Sikap-sikap seperti itu masih tersimpan dalam sulbi-sulbi lelaki dan rahim-rahim kaum perempuan." Ia menyebar seperti virus yang menggerogoti sekujur tubuh umat, melumpuhkan dan memenjarakan mereka dalam bayangan perbudakan intelektualisme. Ia menguras energi dan perhatian kita hingga umat Islam kehilangan visi untuk menciptakan pilar-pilar peradaban alternatif bagi masa depan umat manusia.

Tak Cukup Hanya di Mimbar Seminar

Pengelompokan dan pembedaan umat Islam ke dalam berbagai aliran dan mazhab pemikiran, pada dirinya sendiri memang wajar dan alami. Namun ia akan merosot menjadi sejenis kemusyrikan jika ia melahirkan chauvinisme golongan dan sektarianisme, dengan indikasi merasa benar sendiri. Dalam hal ini Al-Quran secara tegas mengingatkan, …dan janganlah kamu tergolong orang-orang musyrik. Yaitu mereka yang memecah-belah agama mereka, kemudian mereka menjadi bergolong-golongan, setiap kelompok membanggakan apa yang ada pada mereka. (QS Al-Rûm [30]: 32)

Untuk membuat perbedaan ini menjadi rahmat, kita memang harus meletakkan hal itu dalam konteks semangat ukhuwah. Di sini kita melihat, masalah ukhuwwah Islâmiyyah begitu sering diimbau, ditulis, dan diseminarkan. Dan pengetahuan tentang arti pentingnya masalah ini pun sudah menjadi ucapan umum yang terus-menerus "diwiridkan". Namun, sayang, bersamaan dengan itu, mimbar-mimbar permusuhan terus dikobarkan, tulisan-tulisan pengutukan terus dilancarkan, sedangkan penolakan secara apriori terhadap para penceramah berdasarkan ukuran like and dislike semakin hari semakin menggalak. Seleksi secara ketat terhadap sejumlah penceramah dan khatib yang kritis dengan kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh sejumlah kelompok pengajian atau masjid-masjid adalah potret kontrol kesadaran (monopoli kebenaran) yang amat berhasil diajarkan Orde Baru terhadap umat Islam di Tanah Air.

Maka, tampaklah melihat warisan seperti ini, bahwa usaha menegakkan ukhuwwah Islâmiyyah tidak cukup hanya didekati dengan "imbauan-imbauan" semata, tetapi lebih dulu kita harus memahami sebab-musababnya, membongkar letak kekisruhan sejarahnya, lalu kita upayakan jurus-jurus terapinya berdasarkan kerangka identifikasi dan kerangka diagnostik yang spesifik.

Faktor-Faktor Pelumpuh Ukhuwah

Al-Quran menyebutkan sekurang-kurangnya ada lima faktor yang membuat umat memilih jalan perpecahan dan meninggalkan semangat ukhuwwah Islâmiyyah: (1) karena pengetahuan Islam yang kurang (QS Al-Mâ'idah [5]: 14); (2) tidak mau menggunakan akal (QS Al-Hasyr [59]: 14); (3) kedengkian di antara sesama kaum Muslim (QS Al-Syûrâ [42]: 14, 42); (4) kecintaan kepada dunia (QS 'Ali Imrân [3]: 152); dan (5) tidak menyerahkan kepercayaan atau kepemimpinan kepada kaum Muslim (QS Hûd [11]: 116).

Faktor ketiga, keempat, dan kelima menyangkut masalah-masalah psikologis dan politik, oleh karena itu penanganannya bisa dilakukan lewat imbauan-imbauan moral, etika komunikasi, dan pendidikan politik. Sedangkan faktor pertama dan kedua, merupakan masalah mendasar yang penanganannya tidak boleh ditunda-tunda.

Karena yang digugat di sini erat kaitannya dengan mutu pemahaman dan kredibilitas sumber daya manusia Islam yang secara empiris masih amat terbelakang secara ekonomis dan intelektual. Dalam hal ini, perpecahan terjadi karena umat Islam mengambil Islam secara terpenggal-penggal, lalu menganggap sisi penggalan yang diambilnya sebagai kebenaran yang utuh. Atau karena keterbelakangan pemahaman kognitifnya, mereka kerap lebih memperagakan kekuatan otot dan emosi ketimbang kekuatan akal atau mengaji perbedaan paham lewat pemikiran yang jernih dan terbuka. Oleh karena itu, penanganan hal ini tidak cukup dengan imbauan moral semata melainkan mesti disertai adanya gerakan aksi informasi dan aksi emansipasi.

Kita akan membahas masalah ini lebih lanjut, namun ada baiknya kita tunjukkan dulu setting sejarah yang melahirkan kepicikan umat seperti itu.

Kelembaman Katak dalam Tempurung

Sejarah perpecahan Islam telah tampak bibit-bibitnya bahkan ketika Nabi Muhammad saw masih hidup. Tapi dalam konteks kepicikan umat Islam ini, saya ingin memenggal kaitan historisnya mulai abad ke-12, satu abad yang menandai awal kegelapan Islam.

Sekurang-kurangnya sejak abad ke-12, bangsa Tartar (Mongol) di bawah kepemimpinan tangan besi Jenghiz Khan dan Hulagu Khan berhasil memanfaatkan keterlenaan umat Islam untuk kemudian datang menjarah dan memorak-porandakan kota Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam lain; menghancurkan perpustakaan, membakar buku-buku, membantai para sarjana, bahkan tak segan-segan membelek perut para wanita hamil. Lantas berturut-turut disusul dengan jatuhnya imperium Moghul di India, Safavid di Persia, dan Ottoman di Turki ke tangan bangsa-bangsa Eropa, maka menjelang abad ke-18 dunia Islam perlahan-lahan meredup, menutup babak-babak sejarah kejayaannya, bersahutan dan berembusnya angin buruk yang membawa umat Islam menuju zaman kegelapan yang panjang.

Dalam sisa-sisa daya yang masih tersedia, beberapa ulama "jumhur" masa itu berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan sisa-sisa peradaban dan puing-puing martabat umatnya dengan cara mempertahankan apa saja yang masih mereka miliki sembari menolak tanpa reserve segala hal yang baru dan asing. Maka kemudian sejarah menggambarkan kepada kita semua, di samping sikap-sikap heroik yang mereka tunjukkan, ada nestapa yang mereka wariskan, dan itu amat melumpuhkan Islam. "Agama" bagi orang-orang yang berakal ini lalu berubah menjadi agama yang begitu mencurigai pemikiran rasional. Maka, terkutuklah filsafat dan tertutuplah ijtihad. Sementara itu, kekuatan dan kesanggupan Islam dalam sejarah untuk mencerap berbagai unsur dari luar secara kritis, segera berubah menjadi ketidakberdayaan dan penolakan secara apriori (tanpa alasan). Maka persetanlah kebaruan dan pujalah masa lalu.

Malang sekali, sosok Islam seperti inilah yang mengalir deras ke Indonesia. Yang setelah mengalami pergulatan dengan berhala-berhala lokal serta siasat busuk kolonial, lahirlah wajah "kita". Wajah Islam yang beku, tertutup, dan terbelenggu.

Dalam cengkeraman buhul-buhul pemahaman teologis yang lembam (a-teoretis dan a-historis) ditambah dengan kesadaran kosmis yang terpenjara oleh sekat-sekat mazhabi yang diperuncing oleh tipu daya devide et impera bikinan kolonial, maka kebenaran autentik, kekayaan perspektif, interaksi jamaah dan universalisme Islam dengan sendirinya terdistorsikan dan memuai dari arus kesadaran umat.

Akibatnya, kebenaran autentik hanya bisa dihayati sebatas "subjektivisme", kekayaan perspektif menjadi ketersusutan sudut pandang, integritas jamaah menjadi fanatisme, 'ashabiyyah, sedangkan universalisme Islam mengalami erosi menjadi sektarianisme dan entosentrisme. Kondisi seperti ini diperburuk oleh kurang berdayanya lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk melakukan terobosan alternatif guna mencairkan kejumudan dan melancarkan counter-culture terhadap dominasi pemahaman yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Sehingga, alih-alih lembaga ini mengintroduksikan upaya-upaya transformatif, yang terjadi malah cenderung merawat sikap-sikap jumud dan isolasionistik.

Padahal, kedua sikap ini amat rentan terhadap perbedaan pendapat, amat curiga terhadap ide-ide baru, dan begitu rejektif terhadap hal-hal yang berbau asing. Maka dari itu, tidaklah heran jika dalam pemahaman umat, status quo menjadi satu-satunya kiblat yang mereka perjuangkan. Adapun keyakinan-keyakinan yang dianut dalam kelompoknya sendiri menjadi satu-satunya rujukan absah yang mereka perhatikan. Singkat kata, kebenaran itu selalu ada di "dalam" dan kesalahan itu selalu ada di "luar". Agar tidak tercemar, tutuplah, tutuplah, tutuplah! Tolaklah, tolaklah, tolaklah!

Apa yang Kita Harus Lakukan?

Dari konteks sejarah seperti ini, terasa semakin jelas apa yang kita harus lakukan. Jika ketertutupan dan kepicikan merupakan biang kerok utama bagi kemandekan dan perpecahan, maka tugas kita adalah berusaha mentransendensikan umat Islam dari kurung batok sejarah serta berupaya mengemansipasi mereka dari buhul-buhul kesadaran palsu yang memasung imajinasi dan kreativitas inovasi pemikirannya.

Ini berarti, garapan mendesak yang mesti kita hadapi adalah berusaha "mempersenjatai" umat Islam dengan kemampuan-kemampuan refleksi dan kemampuan-kemampuan empati. Kemampuan refleksi yang dimaksud adalah kesanggupan untuk mengenali diri---potensi dan keterbatasannya, sisi-sisi yang diketahui dan yang tidak diketahuinya. Sedangkan kemampuan empati berarti kesanggupan orang untuk menempatkan dirinya dalam situasi orang lain, kesanggupan untuk memahami dan menerima pemikiran-pemikiran jenis lain (kendatipun tidak disetujuinya), serta kesanggupan mengikuti perkembangan dunia yang terus berubah.

Atau mengutip istilah Al-Quran Surah Al-Zumar, ayat 18, adalah kemampuan "mereka yang mendengarkan perkataan (ide-ide apa pun), lalu mengikuti apa yang terbaik di antara sekian banyak ide tersebut".

Salah satu cara untuk mempertinggi kemampuan ini adalah melalui aksi-aksi informasi, yakni seperangkat aksi untuk membuka mata, hati, dan telinga umat Islam agar siap memungut hikmah dari mana pun datangnya (hadis).

Dalam hal ini, kehadiran media-media informasi yang jujur dan adil yang bisa membebaskan dirinya dari distorsi sektarianisme, bias-bias kultural dan struktural menjadi kian penting dan mendesak. Kita tahu, media informasi memiliki kesanggupan untuk memfasilitasi khalayaknya semacam kesiapan various learning (belajar wakilan), guna menjangkau keragaman pengalaman, variasi budaya, dan dinamika pemikiran yang berkembang pada ruang dan waktu yang bersebaran. Pada gilirannya, belajar dengan wakilan tersebut membawa umat Islam untuk melakukan kritik intrasubjektif, di mana mereka tergugat untuk mengetahui pemikiran dan kemencengan-kemencengan perseptual serta sanggup menjangkau dan menerima kebenaran jenis lain yang tidak terintip sebelumnya.

Aksi-aksi informasi---dengan tingkat kesulitannya sendiri---memang bukanlah satu-satunya cara menuju emansipasi. Namun demikian, paling tidak hal itu merupakan picu senapan yang siap membuyarkan "kepala batu", mencairkan fanatisme yang sempit, serta menipiskan belenggu-belenggu yang memasung kesadaran umat. Singkat kata, informasi yang jujur dan adil bisa memperkaya kebijakan kita, dan hanya lewat kebijakan itulah tiap-tiap orang akan menyadari betapa dirinya terbatas. Maka rajinlah belajar, hargailah orang lain, dan bersaudaralah![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar