Demikianlah hari-hari kebangkitan dan kejatuhan Kami pergilirkan di antara umat manusia.
(QS Ali Imrân [3]: 140)
Di tengah isu "kebangkitan Islam" di penghujung abad ke-20 ini, ada baiknya kita simak apa yang diungkapkan O. Spengler dalam bukunya The Decline of the West tentang mekanisme perputaran roda sejarah manusia yang didasarkan atas studinya dari lima pusat peradaban dunia---Cina, Mesir, India, Yunani, dan Babilonia. Spengler berkesimpulan, bahwa petualangan sejarah manusia di jagat raya ini, tak ubahnya bagaikan pergeseran musim; dari semi, panas, rontok hingga dingin.
Semi adalah perlambang beranjak tumbuhnya kehidupan, panas adalah masa berkembang, gugur adalah saat berbuah (zaman keemasan), lantas segera berselisih dengan musim dingin sebagai pertanda akan berdentangnya lonceng kematian.
Peradaban yang diklaim oleh sementara budayawan sebagai puncak kebudayaan, menurutnya, justru merupakan awal terjadinya keruntuhan kebudayaan. Runtuhnya peradaban tersebut, adalah sebagai konsekuensi logis dari munculnya iklim kota yang merangsang peluang ke arah terpedayanya warga kota oleh gaya hidup materialistis, keserakahan tanpa batas, diktator uang, anomistis, childless, budak mesin, serta sekularisme agama.
Pernyataan tersebut perlu diketengahkan, dengan harapan dapat menggugah kita untuk melakukan tinjauan kritis mengenai kecenderungan semakin merajalelanya fenomena-fenomena tadi di negara-negara industri, khususnya di negara-negara Barat saat ini. Apakah ini bisa dikatakan zeitgeist (isyarat zaman)? Kita tidak tahu. Yang jelas gejala serupa pun pernah melanda daulah-daulah Islâmiyyah menjelang kejatuhannya.
Menengok Prestasi Masa Lalu
Tiba-tiba tercenunglah kita untuk berpaling ke masa silam. Tak perlu banyak yang kita pantau, sudut ilmu pengetahuan rasanya sudah cukup memberikan gambaran mengenai prestasi umat Islam pada masa silam itu. Selama tiga setengah abad berturut-turut, dari abad ke-8 sampai abad ke-12 M, para ilmuwan Islam telah berhasil menempati jenjang terhormat di dunia dan sekaligus mengukir abad keemasannya.Pada waktu itu mahasiswa dari Inggris, Prancis, Jerman, Skotlandia, datang ke Spanyol untuk belajar ilmu kedokteran, ilmu fisika, kimia, aljabar, ilmu hewan, ilmu bumi, ilmu pelayaran, astronomi, dan sebagainya, di beberapa perguruan tinggi yang dibangun oleh dinasti Umayyah. Lalu mereka kembali ke negerinya sambil mengembangkan ilmu-ilmu tadi.
Dalam peletakan dasar dari berbagai ilmu pengetahuan, Razzak Kaddoura---mantan Rektor Universitas Damaskus, dan kemudian menjabat Asisten Direktur Jenderal Unesco untuk Ilmu Pengetahuan Alam---melukiskan beberapa contoh kepeloporan dan prestasi ilmiah ilmuwan Muslim pada era awal Islam, khususnya di bidang matematika, fisika, kimia, dan kedokteran.
Salah satu di antara prestasi matematisi Muslim ialah elaborasi atau pendalaman dari notasi dan sistem pencatatan posisional untuk menyatakan angka-angka (yang hingga kini disebut angka Arab), dan yang terpenting ialah penggunaan dari konsep dan simbol angka nol! Tentang kata-kata Algorisma, Algoritma, dan Aljabar, adalah hasil pemikiran cemerlang dari Al-Khawarizmi seorang ahli matematika dan astronomi dari Bagdad pada abad ke-9 M, dengan hasil karyanya yang termasyhur Mukhtashar fi hisab wa Al-Muqabalah (Buku padat ringkas tentang perhitungan restorasi dan ekuasi).
Trigonometri, salah satu cabang matematika yang penting, pada asasnya dibangun oleh para matematikawan Muslim. Kata Latin "sinus" misalnya, yang merupakan salah satu fungsi trigonometri dasar, adalah terjemahan dari kata Arab, yang berarti busur.
Berdasarkan karya-karya matematika Yunani, khususnya Eukleideios, para matematikawan Muslim (misalnya Omar Khayyam, Nashir Al-Din Thusi, dan lain-lain) telah memberikan sumbangan besar pula terhadap Geometri.
Pada era awal Islam, fisika masih termasuk dalam filsafat alam (natural philosophy). Suatu khas yang merupakan ciri khas dari karya ahli fisika Muslim pada zaman itu, yakni terpadunya kepekaan terhadap asas-asas teori dasar (yang mencerminkan kekaguman dan kehormatan terhadap ciptaan Tuhan) dengan pendekatan praktis (menekuni pemenuhan kebutuhan makhluk-makhluk Tuhan).
Ibn Al-Haytsam misalnya, terkenal sebagai seorang teoretisi ulung dan sekaligus eksperimentalis terampil. Dengan mempertemukan teori dan eksperimen itulah maka menurut filosof dan matematikawan Inggris Bertrand Russel (pemenang hadiah Nobel untuk Kesusastraan tahun 1950), ilmu pengetahuan modern itu lahir dari bersatu-padunya spekulasi Yunani dengan empirisme Arab.
Pertukaran pendapat melalui korespondensi yang terjalin antara ahli fisika Al-Biruni dan Ibn Sina (Avicenna bagi orang Barat), yang menganalisis konsep-konsep fisika pada zaman itu, mengingatkan orang pada korespondensi modern antara Albert Einstein (ahli fisika Jerman yang berwarga negara Amerika Serikat sejak tahun 1940, pemenang hadiah Nobel untuk fisika tahun 1922) dengan Neils Bohr (ahli fisika atom Denmark, pemenang hadiah Nobel fisika untuk tahun 1922) berkaitan dengan interpretasi tentang mekanika kuantum.
Para ahli fisika Muslim pada umumnya, dan Ibn Al-Haytsam pada khususnya, banyak memelopori studi tentang gerak. Sumbangan pikiran mereka meratakan jalan bagi pencetusan revolusi ilmiah utama oleh Galileo, ahli fisika dan astronomi Italia yang kemudian dimahkotai oleh Isaac Newton, ahli filsafat, matematika, dan fisika dari Inggris.
Ilmu Optika juga dipelopori oleh Ibn Al-Haytsam, yang secara tepat mendapat julukan Bapak Optika. Karya dasarnya, Kitab Al-Manazhir (Buku Optika), telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Nama Al-Haytsam telah diabadikan dalam hubungannya dengan kaca parabolik dan sferik serta penyimpangannya. Pernyataan pertama tentang asas "jalur minimum untuk cahaya" kemudian disempurnakan oleh Pierre de Fermat, seorang matematikawan Prancis. Karya dasar Ibn Al-Haytsam juga mencakup studi tentang refraksi atau pembiasan cahaya, dan pendekatan terhadap hukumnya, yang kemudian dikembangkan oleh Snellius atau Willebrord Snell, seorang ahli astronomi dan matematika Belanda dan Rene Descarters, seorang filosof dan matematikawan Prancis. Ibn Al-Haytsam pun dalam penelitiannya menggabungkan keterampilan ahli fisika dengan seni seorang dokter dengan mempelajari alat penglihatan manusia secara tepat dan mendalam.
Tidak mengherankan pula bahwa seorang ahli Optalmologi (dokter spesialis mata) merupakan kelaziman di dunia kedokteran Muslim. Bahkan bukan suatu perkecualian, bilamana seorang kahhal (dari bahasa Arab, khul atau khol, yang berarti juga serbuk antimon sulfida untuk menghitamkan mata), sekaligus berpraktik kedokteran, merias muka, dan menjadi konsultan.
Al-Jabir, seorang ahli kimia dan metalurgi dari Arabia, adalah orang yang meletakkan dasar bagi apa yang kemudian disebut Ilmu Kimia. Ahli kimia Muslim lain adalah, antara lain, Ar-Razi (Rhazes bagi orang Barat), yang juga seorang dokter terkenal. Di samping mengklasifikasikan zat dalam kategori mineral, nabati, dan hewani, ia pun mempelajari berbagai proses kimiawi penting, termasuk soal distilasi atau penyulingan. Ia dianggap sebagai orang pertama yang memperoleh alkohol dari hasil fermentasi untuk digunakan bagi keperluan medis.
Banyak sumbangan yang telah diberikan para ilmuwan Muslim di bidang kedokteran, baik untuk aspek ilmu kedokteran maupun seni penyembuhan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Al-Quran dan hadis secara eksplisit menuntut umat ke arah kesehatan pribadi dan masyarakat, kebiasaan diet, dan berbagai latihan jasmani ruhani.
Tokoh kedokteran Muslim yang pengaruhnya meluas adalah Abu Ali Ibn Sina, yang mendapat julukan "Pangerannya para Dokter" (Prince of Physicians), yang karya tulisannya merupakan referensi standar untuk kedokteran di negara-negara Islam di Eropa. Bukunya Al-Qanun fi Al-Thibb (Pedoman Pokok Kedokteran) telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, yang sampai akhir abad pertengahan merupakan karya sistematis terkemuka mencakup teori dan praktik. Ibn Sina juga melakukan pengamatan dan pengungkapan dalam bidang epidemologi, meningitis (radang selaput otak), dan gangguan-gangguan jiwa.
Dalam bidang ilmu penyakit mata, amat terkenal karya Ali Ibn Isa Tadzkirah Al-Kahalin (Buku Pedoman bagi Ahli Optalmologi). Penulisnya merupakan orang pertama yang menyarankan penggunaan pembiusan atau anatesia dalam pembedahan. Dalam pada itu, bahasa Arab pun telah memberikan kekayaan perbendaharaan istilah-istilah kepada bahasa Latin juga kepada bahasa-bahasa Eropa lainnya.
Para ilmuwan Muslim di kala itu, dan terutama para dokternya, pada umumnya adalah polivalen, yakni menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Tidaklah mengherankan apabila istilah "tabib" bagi seorang dokter selama beberapa abad dipergunakan bersama dengan istilah "hakim" yang arti asilnya adalah seorang yang arif bijaksana.
Namun amat disesalkan, pada perkembangan selanjutnya, kabut tebal segera menghadang, menghalau musim rontok diiringi dengan cekaman musim dingin. Sejarah membuktikan bahwa tradisi cemerlang yang telah dirintis dan dipertahankan selama tiga setengah abad lebih oleh generasi Muslim terdahulu, bukan hanya tidak dapat dipertahankan melainkan telah deras menukik untuk kemudian lenyap ditelan waktu, lumat digerogoti ketakaburan, keserakahan, kelengahan, dan kekufuran. Kemegahan Kordoba sebagai monumen kejayaan umat Islam tinggal puing-puing saja yang kadang mengenaskan dan memilukan perasaan.
Alangkah banyak taman dan mata air yang mereka tinggalkan, kebun-kebun serta tempat yang indah. Dan kesenangan yang mereka nikmati. Demikinlah, dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi kesempatan. (QS Al-Dukhan [44]: 25-29)
Petunjuk Al-Quran dan Ajaran Masa Lalu
Nazheruddin Siddiq dalam bukunya The Qur'anic Concept of History, menyebutkan beberapa petunjuk Al-Quran, tentang keberhasilan dan kehancuran umat manusia.Keberhasilan selalu dibuahi oleh tersedianya beberapa faktor antara lain:
Pertama, takwa. Di dalam Al-Quran tidak kurang dari 145 bahasan tentang takwa. Takwa dijadikan basis keberhasilan, mengingat hal tersebut bisa mendatangkan jalan keluar dari problem kehidupan, wujud rezeki yang tak terduga, dalam ukuran yang cukup, memudahkan pekerjaan serta memperoleh pahala.
Kedua, kesadaran bahwa hidup ini sebagai rintangan. Sesungguhnya tidak ada suatu rintangan apa pun yang melampaui kemampuan manusia karena hakikat dari rintangan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas hidup.
Ketiga, faktor waktu. Segala sesuatu itu memakan waktu.
Keempat, keinsafan akan lebih menentukan faktor spiritual daripada faktor material (QS Saba' [34]: 37).
Sedangkan kehancuran merupakan akibat dari:
Pertama, adanya syirik (misuse of power)---penyalahgunaan amanah. Syirik mendatangkan hukuman berupa angin (berita buruk) dan gempa (goyahnya kekuasaan).
Kedua, seleksi. Dalam seleksi kehidupan umat Islam harus senantiasa berpegang teguh kepada hukum Al-Quran.
Berdasarkan acuan Al-Quran, kita bisa membandingkan apa yang mendorong keberhasilan umat Islam, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan pada abad ke-8 hingga abad ke-12 M, serta apa pula yang mengakibatkan kemerosotannya pada dekade setelah itu.
Seperti yang pernah diutarakan oleh Prof. Abdus Salam (satu-satunya ilmuwan Muslim yang hingga kini berhasil memperoleh hadiah Nobel, dalam bidang fisika pada tahun 1979), ada tiga sebab mengapa kaum Muslim berhasil menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan ke taraf yang amat tinggi.
Pertama, kaum Muslim benar-benar bertakwa. Dalam arti benar-benar menghayati dan mengamalkan firman Allah, yang berulang kali diberikan dalam Al-Quran dan sabda Rasulullah saw.
Menurut Al-Ghazali, terdapat 763 ayat (kurang lebih 12 persen dari jumlah ayat Al-Quran) yang langsung berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Kepada umat yang percaya diperintahkan untuk mempelajari alam dan berpikir, lalu memanfaatkan sebaik-baiknya penalaran, membuat upaya ilmiah menjadi bagian menyeluruh dari kehidupan masyarakat, dan sebagainya.
Kedua, seorang 'alim (cendekiawan) diberi status terhormat dalam masyarakat waktu itu. Ini sesuai dengan sikap Rasulullah saw. yang memberi julukan kepada para cendekiawan dan ilmuwan dengan "Pewaris Para Anbiya" di antara kaum Muslim. Karena mereka dapat mengenali desain Tuhan dan keagungan-Nya. Bahkan di dalam Al-Quran QS Al-Zumar ayat 9 disebutkan: Katakanlah, "Samakah orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan?"
Ketiga, Islam bersifat internasional, yakni bukan hanya bercorak antarbangsa dan lintas-budaya. Hal ini disadari betul oleh masyarakat Muslim awal, sehingga mereka begitu toleran terhadap orang-orang dari luar Islam beserta pemikiran-pemikirannya. Memang begitulah Nabi menganjurkan kepada umatnya, agar menguasai ilmu pengetahuan dari mana pun datangnya, lantas kemudian berupaya untuk memperbaikinya.
Maka jelaslah bagi kita, di antara faktor-faktor yang mengakibatkan merosotnya umat Islam pada masa berikutnya adalah karena tidak dihayati dan diamalkannya firman Tuhan (bisa jadi karena memudarnya nilai takwa), lunturnya citra para 'alim, disertai surutnya---bahkan ada kalanya lenyapnya---sikap toleransi terhadap kaum non-Islam beserta pemikiran-pemikirannya. Maka terjadilah isolasi, pengasingan atau alienasi, yang justru merugikan diri sendiri.
Menatap Hari Esok
Lets gones be by gones, demikianlah sebuah ungkapan asing bertutur. Nasi memang telah menjadi bubur. Tugas penting kita adalah menatap dan mempersiapkan hari esok. Sudah saatnya umat Islam keluar dari jurang keraguan, dari tidur yang telah terlalu lama, lelap dan mendungukan. Kita tidak boleh terlalu lama diledek impian dan kalah dalam pergulatan hidup.Isu munculnya kembali kebangkitan Islam hendaknya jangan sekadar mimpi kaum utopis dan hanya terpantek pada semangat pembicaraan. Kita mesti menjamahnya dengan berbagai aktivitas. Bukan saja aktivitas berpikir melainkan juga dengan aksi-aksi konkret.
Jelas bahwa kita dijadikan Allah sebagai khalifah-Nya, yang berarti kalau Allah itu Kreatif (Al-Khaliq) maka umat Islam juga harus membangun dunianya sendiri. Muslim tidaklah dijadikan untuk hanyut bersama arus dan tidak pula untuk mengikut ke mana kafilah orang menuju. Muslim itu dijadikan agar menjadi pengaruh dunia, pengaruh masyarakat dan kebudayaan. Dialah yang mengajak orang ke arahnya, dan memenuhi mereka dengan iradahnya, sebab Muslimlah pemilik risalah, pemilik ilmu yakin, serta penanggung jawab perjalanan dunia. Muslim adalah penganjur ma'ruf dan pencegah kemungkaran. Bila ditentang zaman, ditampik masyarakat dan penyimpangan, tidaklah ia hendak menyerah, tiada melarikan diri dalam kalah. Muslim harus tetap melawan, menantang, bergelimang perjuangan hingga datang keputusan Allah. Sikap tunduk dan berdiam diri menghadapi tantangan dan keadaan serta selalu berdalihkan qadha' dan qadr adalah cermin kekerdilan dan kelemahan.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri. (QS Al-Ra'd [13]: 11).
Ternyata, dinamika umat Islam itu harus lahir dari dalam (anfusihim) yang kemudian akan keluar sebagai suatu materialisasi. Dan, seperti juga dijelaskan dalam ayat lain.
Andaikan penduduk suatu kampung itu beriman dan bertakwa, maka sesungguhnya akan Kami bukakan berkah dari langit dan bumi. (QS Al-A'raf [7]: 11)
Itu berarti bahwa, pertama-tama umat Islam harus beriman dan bertakwa kepada Allah. Dan, baru setelah itu Allah akan memberikan perubahan-perubahan dalam sejarah umat manusia. Jadi dari perubahan di dalam akan menimbulkan juga perubahan-perubahan di luar.
Itulah sebabnya, perlu disadari, dalam aktivitas kita sehari-hari, yang terpenting bukanlah sukses atau tidaknya, melainkan gerak itu sendiri. Itu berarti bahwa aktivitas itu merupakan sesuatu yang teramat penting dan karena Allah hanya akan melihat niat kita sebagai suatu yang harus dimanifestasikan, dan kepada-Nyalah kita serahkan apakah kita berhasil atau tidak. Dan, hanya Allahlah yang akan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi atau mungkin juga berkehendak lain. Oleh karena itu, sepatutnyalah kita jelang milenium baru ini dengan penuh daya hidup baru, atau berupaya untuk mendenyuti kebangkitan umat Islam dengan semangat bekerja keras.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar