Minggu, 18 Januari 2015

Miskonsepsi Pendidikan Berorientasi Industri

Bola salju perdebatan sekitar isu pendidikan berorientasi industri (link and match) telah dan tampaknya masih akan terus menggelinding. Sebegitu jauh, belum tampak adanya aras problematik yang memudahkan kita menemukan titik-titik simpul pemecahannya, untuk pengusutan dan pengembangan lebih lanjut. Maka yang tampak kemudian bak mengurai benang kusut. Kita sibuk dalam sodoran-sodoran alternatif untuk masalah yang tidak kita pahami asal-usulnya.

Tulisan ini dimaksud sebagai lorong alternatif untuk keluar dari kekusutan, dengan mencoba menghampiri isu tersebut sebagai masalah definisi.

Industrialisasi Tak Hanya Masukan Teknologi

Bahwa kita sering latah dengan istilah-istilah besar yang tidak kita pahami benar medan maknanya adalah kebiasaan buruk yang memperdayakan. Sementara kita sibuk mempersiapkan kurikulum pendidikan yang link and match dengan tantangan industrialisasi, pengertian industrialisasi itu sendiri masih samar-samar kita pahami makna dan cakrawalanya. Yang sering tersimpul dari aneka wacana di sekitar kita, terkesan bahwa arti industrialisasi itu sebangun dengan fungsi masukan dan perkembangan teknologi.

Dalam definisi seperti itu, tantangan industrialisasi dinisbatkan menjadi sekitar bagaimana cara memperoleh dan mengembangkan teknologi yang terintegrasi ke dalam proses-proses industri. Dan, dengan demikian, pendidikan berorientasi industri berarti pendidikan yang sanggup memasok “suku cadang” siap pakai (siap latih) dari perputaran roda mesin dan perkembangan rekayasa.

Dengan reduksionisme serupa itu, industrialisasi diperlakukan sebagai jagat mesin yang tidak terintegrasi ke dalam kerangka formasi institusional dan proses-proses sistem kemasyarakatan. Padahal seperti ditunjukkan oleh sejarah Eropa dan Amerika Serikat, proses industrialisasi dan pembentukan masyarakat industri selalu berjalan berkelindan. Bahkan, menurut Jurgen Habermas, terdapat hubungan signifikan antara formasi kerangka institusional dan bentuk integrasi baru dengan laju perkembangan teknologi dan produksi, di mana perkembangan terakhir justru terjadi kemudahan setelah adanya reformasi sosial budaya. Reformasi industri misalnya, baru terjadi seratus tahun setelah terbentuknya masyarakat borjuis, sedangkan teknologi industrial berkembang pesat, menyusul bangkitnya cita-cita liberalisme.

Kalaupun sejarah Eropa Barat dan Amerika tidak persis sama dengan Indonesia, setidak-tidaknya ada hal yang bisa disimpulkan, bahkan selain gejala teknologis, industrialisasi pun harus dipandang sebagai gejala sosio-kultural. Dan sebagai gejala terakhir ini, transformasi masyarakat menuju industrialisasi biasanya mensyaratkan adanya perubahan mendasar dalam kultur dan struktur kemasyarakatan, seperti ditandai oleh (a) terjadinya pembagian kerja (division of labour) dalam proses produksi, (b) proses rasionalisasi kultural dan wawasan yang serba perhitungan, terutama yang menyangkut etos kerja, (c) diterapkannya sistem mekanisasi dalam proses produksi, (d) aplikasi secara universal cara pemecahan secara ilmiah, (e) penerapan disiplin waktu dalam bekerja dan cara pengupahan dengan tarif bertingkat-tingkat guna memberi rangsangan bekerja, (f) birokrasi dan administrasi yang rasional dan menurut aturan-aturan tertentu, (g) adanya tenaga kerja yang mudah berpindah (mobile) secara sosial maupun geografis, dan (h) tumbuhnya semangat berproduksi itu sendiri.

Dengan memperhitungkan konteks sosial budaya dan proses industrialisasi menjadi jelaslah bahwa transformasi menuju masyarakat industri tidak hanya mensyaratkan adanya perubahan sistem produksi material---yang berintikan penguasaan dan pemanfaatan teknologi, tetapi juga perubahan pada sistem reproduksi ideasional dan tata nilai yang mengusungnya. Itu juga berarti bahwa visi pendidikan berorientasi industri tidak hanya dituntut untuk mengembangkan sikap kejiwaan (mindset) yang menopang daya cipta, tapi juga etos kerja, kreativitas inovatif, kedisiplinan, keteraturan, dan perencanaan.

Dikatakan dengan cara lain, ketika misi pendidikan disusut menjadi sekadar penyokong proses industrialisasi sekalipun, pengajaran ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi tak bisa diremehkan. Apalagi jika kita memperhitungkan, apa yang pernah diingatkan oleh Dr. Soedjatmoko bahwa hampir semua keputusan pembangunan (apalagi pilihan industrialisasi) akan mempunyai akibat-akibat etis dan kemanusiaan, yang dalam jangka panjang sungguh menentukan. Sehingga kesadaran akan arah moral serta kemampuan untuk mengharmonikan aspek-aspek technosphere dengan sociosphere, jadi kunci penerus kinerja pembangunan masa depan.

Teknologi Tidak Hanya Artefak

Barangkali masih bisa ditoleransi jika orang mendefinisikan industrialisasi semata-mata sebagai fungsi masukan dalam perkembangan teknologi. Tapi masalahnya, pemahaman terhadap istilah teknologi itu sering kali sama reduksionistisnya seperti tatkala mengartikan industrialisasi. Teknologi dalam pemahaman kita selama ini acap kali diidentikkan sebagai “alat” (tools). Dengan memandang teknologi melulu sebagai alat (mesin), konsentrasi pengembangan SDM berwawasan teknologi dan industri kemudian ditekankan secara berlebihan kepada bidang-bidang keteknikan.

Padahal seperti dikatakan oleh Michel E. Kraft dan Norman J. Vig dalam Technology and Politics (hlm. 10), “Tersebar luasnya teknologi telah mendorong perluasan definisi dan konseptualisasinya. Teknologi tidak bisa lagi didefinisikan hanya sebatas stok kumulatif dari alat, mesin, dan berbagai artefak lain (teknik dari peradaban modern), tetapi bisa juga diartikan sebagai cara tertentu untuk mengetahui dan mengerjakan sesuatu. Dengan begitu, teknologi lebih dari sekadar pengetahuan terapan atau rekayasa seperti dalam pemahaman dunia akademik tradisional, melainkan dapat dipandang sebagai pendekatan universalistis dalam pemecahan masalah (technique) dan menurut sebagian teoris ia juga berarti suatu imperatif yang berhubungan dengan organisasi rasional dari perilaku sosial.” Ditambahkan oleh Edward Wenk, Jr. dalam Tradeoffs: Imperatives of Choice in a High Tech World (hlm. 3) bahwa “lebih dari sekadar teknik dan hardware, teknologi merupakan sistem sosial yang didorong oleh spesialisasi pengetahuan dan melibatkan seluruh institusi sosial berikut jalinan komunikasinya. Sebagai proses sosial, teknologi berhubungan dengan masyarakat, nilai, pilihan politik, dan keterkaitan di antara ketiga unsur tersebut.”

Menurut definisi dari The Asian and Pacific Centre for Transfers of Technology (APCTT), setidaknya ada empat komponen teknologi. Technoware (unsur perangkat keras), infoware (unsur sumber daya manusia), dan orgaware (unsur manajemen dan lingkungan sosial). Keempat komponen ini mesti berjalan berkelindan, yang satu melengkapi yang lain, membangun ruang jajaran genjang yang seimbang. Sehingga yang dimaksud dengan temuan-temuan inovatif dalam pengembangan teknologi tidak terbatas hanya sukses temuan-temuan baru keteknikan, tetapi harus didukung oleh keandalan aspek-aspek lain, sehingga sanggup membawa temuan-temuan tersebut ke oportunitas pasar dengan daya saing yang tinggi.

Jika definisi APCTT dijadikan pedoman, akan tampaklah bahwa upaya pengembangan teknologi tidak bisa hanya bertumpu pada bidang studi keteknikan. Sebab bidang ini hanya memenuhi sebagian pilar yang diperlukan, terutama yang berkaitan dengan penyediaan sumber daya yang terampil untuk penguasaan technoware, dan aspek-aspek tertentu dari SDM, pengolahan informasi serta kemampuan manajemen dan penciptaan kondisi sosial kondusif, lebih cenderung berada di ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dikatakan dengan cara lain, penguasaan teknologi tidak hanya memerlukan pendidikan techno-engineering tetapi juga sosio-engineering.

Penutup

Ditilik dari perspektif ketenagakerjaan, industrialisasi itu tak lain merupakan fungsi dari diferensiasi kerja dalam proses produksi. Adapun diferensiasi itu sendiri didasarkan pada kebutuhan dan keahlian pekerja di bidangnya masing-masing yang secara sinergis mendukung total kinerja industrial.

Itu berarti, esensi sesungguhnya dari konsep pendidikan siap pakai tak lain adalah rekayasa revitalisasi lembaga-lembaga pendidikan sebagai ajang pendalaman dan aktualisasi aneka bakat dan minat anak didik sehingga mencapai taraf ahli dalam bidang dan predisposisinya masing-masing. Sehingga pada gilirannya mampu memasok pelbagai kebutuhan dan tantangan industrial.

Dengan demikian, mestinya tidak ada perbedaan yang mendasar antara konsep pendidikan link and match dengan konsep holistic education. Dalam konsep terakhir ini, manusia dipandang sebagai makhluk yang dikaruniai potensi inteligensia yang beraneka dan oleh karena itu, tugas pendidikan adalah memfasilitasi dorongan individu untuk mengaktualisasikan potensinya masing-masing.

Dengan berpegang pada the theory of multiple intelligences-nya Howard Gardner, setidaknya ada tujuh jenis inteligensia---yang jarang dimiliki semuanya oleh seorang diri: (1) logical-mathematical intelligence, (2) linguistic intelligence, (3) musical intelligence, (4) bodily-kinesthetic intelligence, (5) spatial intelligence, (6) personal intelligence, dan (7) social intelligence (Lihat Howard Gardner, Frame of Mind, Basic Books Inc. New York, 1983).

Dari ketujuh jenis inteligensia itu, yang kita muliakan sebagai ukuran kualitas SDM selama ini lebih sering tertuju hanya pada logical-mathematical intelligence. Padahal semua itu adalah daya-daya insaniah yang punya tempat dan kontribusinya sendiri-sendiri dalam kehidupan---bahkan dalam struktur industrialisasi. Tuhan memberi kita karunia dan potensi yang beraneka. Dan sejarah menunjukkan, banyak bangsa yang bisa mensyukuri karunia Tuhan---hanya dengan jalan mengoptimalkan kemampuan insaniahlah yang bisa mencapai tujuan dan hasil yang benar.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar