"Satu lagi. Masih ramai orang yang mempertentangkan boleh tidaknya kaum Muslimah tampil di panggung," jawabnya.
Maka diskusi pun segera dilangsungkan. Dan lewat logika sederhana saja, segera bisa diperoleh dalil aqli yang menegasikan segala argumen sumbang terhadap "penampilan wanita". Riskan melulu mengandalkan dalil aqli, dicarilah berbagai rujukan baik melalui buku-buku maupun ulama-ulama kosmopolit, untuk kemudian ditemukan jawaban bersayap: Boleh, asal "berbusana Muslimah" dan terhindar dari gerakan-gerakan erotis. Sebab, bukankah ketika Nabi berhijrah ke Madinah juga disambut rombongan penyanyi wanita Anshar? Atau, bukankah sekali waktu, di hari raya Idul Fitri, Nabi bersama Siti Aisyah pernah juga menonton konser nyanyian kegembiraan gadis-gadis Ethiopia? (lihat Mahmud Syaltut dalam Min Taujihatil Islam).
Di bawah lindungan fatwa seperti itulah tarian berjudul "Aku" akhirnya bisa tampil dalam acara "Senandung Ramadhan" di aula Universitas Padjadjaran, tepatnya Senin malam, 16 April 1990, sebagai kenangan yang telah silam.
Tak Cukup Hanya Karena Pemainnya Berjilbab
Lantas, apa yang terekam dari komentar orang selepas pertunjukan tarian ini? Tampaknya api kontroversi itu pun masih tak kunjung padam. Aneh memang, di satu sisi mereka sadar jika kesenian pada masa sekarang ini telah tampil menjadi sarana propaganda yang begitu efektif dan massif untuk menghancurkan moralitas masyarakat; teater dan film menjadi sarana pemerosotan dan penyimpangan; lukisan, musik, puisi dan tarian menjadi bahasa seks dan pembiusan---dengan memanfaatkan mulus-mulus tubuh wanita---tapi di sisi lain, mereka tetap saja tidak berusaha memikirkan dan menciptakan seni Islami yang bisa menjadi counter culture-nya.Alih-alih mencoba menciptakan seni alternatif, membiarkan wanita Muslimah tampil pun belum rela. Bagaimana mungkin? Padahal, di zaman Rasulullah saw. sendiri, beliau tidak menginstruksikan Sa'ad bin Abi Waqash untuk menghunus pedangnya guna membantai puisi-puisi Arab Quraisy yang mendiskreditkan Islam, melainkan malah menyuruh Hasan bin Tsabit untuk melawannya dengan puisi-puisi tandingan.
Sekali lagi aku bertanya, di kala wajah kesenian kita dipermak dengan pameran dada dan paha perempuan, kok bisa-bisanya wanita Muslimah---yang berjilbab---tidak boleh tampil? Belum selesai keheranan itu terlerai, tiba-tiba Muhammad Ridlo Eisy telah melangkah lebih jauh dalam salah satu ulasannya (Pikiran Rakyat, 19 April 1990). Inti soal yang dilambungkan dalam tulisannya mencoba bersikap skeptis terhadap kata Islami yang diimbuhkan di belakang kata tarian setelah dibenturkan dengan sosok dan realitas tarian yang disaksikannya.
Maka muncullah sebait pertanyaan seperti ini: "Apakah sebuah tarian disebut Islami kalau penarinya mengenakan jilbab, dan disertai zikir lâ ilâha illallâh?" Selanjutnya Ridlo berharap: "Barangkali perlu dicoba sebuah tari yang tanpa atribut-atribut Islam, namun tetap Islami, sehingga lingkungan peminatnya semakin luas. Karya seperti itu tentu lebih sulit, karena yang ditonjolkan adalah jiwa dan rasa yang Islami dan bukan sekadar pameran atribut Islam saja."
Pernyataan ini memang agak bikin sensasi. Itu pantas dimafhumi. Tapi, pernyataannya kali ini benar-benar membuat kepala pusing tujuh keliling. Sebab, tak pelak lagi, pernyataan retoris yang dilontarkannya merupakan tonjokan langsung terhadap pendekatan dan pemahaman seni Islami yang telah disinggung sebelumnya. Di mana bentuk (atribut) merupakan syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum orang memasuki dimensi isi. Lalu mana yang benar, pendekatan bentuk atau pendekatan isi? Keduanya benar dan keduanya salah. Hal itulah yang akan menjadi fokus pembicaraan kita selanjutnya.
Dua Macam Cara Beragama
Kontroversi seputar kesenian (tarian) Islami antara pendekatan bentuk dan isi, sesungguhnya merupakan perpanjangan dari modus beragama: secara ekstrinsik dan secara intrinsik. Bagi kalangan pertama, pengalaman beragama itu dipahami sebatas bentuk-bentuk luar dan terma-terma keagamaan, seperti shalat, puasa, naik haji, jilbab, kalimat-kalimat thayyibah, dan sebagainya. Sedangkan bagi kalangan kedua, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrative motive, yang mendarahi napas kehidupan manusia. Agama diterima sebagai faktor pemandu yang memancarkan jiwa kasih sayang dan kedamaian. Singkat madah, kalangan ini lebih menitikberatkan isi (jiwa) agama ketimbang wadaknya.Bila dua modus beragama ini diturunkan ke dalam pencarian rumusan tarian (kesenian) Islami, maka bagi pihak pertama, suatu tarian sudah bisa dibilang Islami, bila para penarinya mengenakan jilbab dan atribut-atribut Islam lainnya, betapapun isinya (message) yang dikandung sangat superficial. Sebaliknya, bagi pihak kedua, suatu tarian bisa disebut Islami, manakala isi (message) yang dipancarkannya berbobot (Islami) sekalipun para penarinya tidak ditempeli atribut-atribut Islam.
Bila kita ingin menguji mana yang benar dari kedua pendekatan tersebut, maka caranya tinggal mengajukan pertanyaan-pertanyaan masing-masing saja. Untuk kalangan pertama bisa dilontarkan pertanyaan dari pihak kedua, seperti pertanyaan yang kita kutip di atas: "Apakah sebuah tarian disebut Islami kalau penarinya mengenakan jilbab dan disertai zikir lâ ilâha illallâh betapapun isinya dangkal?" Adapun untuk menguji pendekatan kedua bisa diajukan pertanyaan dari pihak pertama: "Apakah sebuah tarian yang isinya berbobot disebut Islami sekalipun penarinya tidak berjilbab dan cenderung erotis?"
Dari sini tampak jelas bahwa kedua pendekatan tersebut memiliki keterbatasan sendiri-sendiri. Masing-masing ada benarnya dan masing-masing ada salahnya juga. Sehingga, kemudian, kita memerlukan pendekatan lain dalam upaya mencari rumusan tarian Islami yang lebih qualified serta yang kita semua impikan.
Islami dari Baju hingga Isi
Islam sangat menghargai dan memperhatikan bentuk (baju). Itu sebabnya mengapa Nabi menganjurkan kepada umatnya untuk memberi nama-nama, mengenakan pakaian, dan mengerjakan ibadah secara baik, benar dan indah. Tidak seperti Shakespeare yang secara sembrono berujar "What's in a name?" Maka bagi Islam, "Oh, banyak sekali." Seperti kata Gabriel Marcel (filosof eksistensialis) yang menganjurkan, "Untuk sampai pada kebenaran, orang harus sudah ada dalam jalur kebenaran." Seperti itu pulalah Islam dalam memahami kesenian dan realitas kehidupan lainnya, di mana untuk sampai pada isi yang baik, benar, dan indah, orang sudah harus ada dalam bentuk (baju) yang baik, benar, dan indah pula.Tapi jangan salah, bentuk saja belum selesai. Karena tak kalah pentingnya---kalau tak boleh dibilang paling penting---adalah dimensi isinya. Bukankah Rasulullah saw. mengajarkan: "Unzhur mâ qila wa lâ tanzhur man qâla" (Simaklah apa yang dikatakannya, dan janganlah melihat siapa yang mengatakannya)? Atau dalam hadis yang lain, Rasulullah juga tegas-tegas mengatakan: "Innallaha lâ yanzhuru ilâ ajsâmikum wa lâ suwarikum walâkin yanzhuru ilâ qulûbikum" (Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk fisik dan [harga] pakaianmu, melainkan melihat pada jiwamu).
Sekarang menjadi teranglah bagi kita, bahwa untuk tiba pada nama tarian (kesenian) Islami, para seniman (koreografer) dituntut untuk mengislamkan bentuk dan isi karya seninya. Bentuk yang baik, benar, dan indah serta isi yang baik, benar, dan indah pula. Jika dengan bentuk seperti itu lantas karya seni (tarian) Islami mengalami penyempitan lingkungan peminatnya, seperti yang dikhawatirkan banyak kritikus, saya kira itu risiko dari sebuah sikap. Lagi pula, kita pun masih perlu bertanya, apa betul bentuk-bentuk kesenian (tarian) seperti itu kekurangan peminat? Waktulah yang akan mengujinya![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar