Seorang mahasiswa UI girangnya bukan main ketika diterima kerja part time, pada sebuah organisasi beken tempat perhimpunannya para intelektual terkenal. Maka hari itu dia putuskan untuk pergi kuliah lebih dini agar bisa berbagai suka dengan rekan-rekan kelompok diskusinya, sambil membongkar memori kolektif tentang imaji tokoh-tokoh pujaan yang tersimpan di album pengumuman.
Minggu pertama magang, kisah Nuri (sebut saja begitu) masih berona impian dan pesona. Citra kebesaran telah cukup untuk membuatnya merasa tak haus hanya karena bersalaman dengan sang tokoh. Bahkan dengan senang hati, segala tugas yang diembankan kepadanya dia sikapi sebagai amanah para pejuang yang harus diletakkan dalam orbit jihad.
Tapi belakangan Nuri tampak tidak begitu berselera bila ditanya ihwal pekerjaannya. Ketika para koleganya mendesak Nuri untuk berkisah, secara mengejutkan dia menyerahkan sebarit puisi yang ditulis di catatan hariannya.
“Telah kususupi sarang persembunyian nama-nama besar/tak peduli ulama, ilmuwan, seniman ataupun hartawan/Dan sekarang baiklah aku kabarkan. Terhadap orang-orang terkenal/kita tak perlu terlalu kenal/sebab di balik indah kabar/kerap bersemayam kerapuhan moral.”
Belum lagi keheranan mereka mereda, Nuri segera berkhutbah. Dari sisi apa pun kita melihat, sudah saatnya kita meragukan stereotipe kita tentang kehebatan idola. Karena bagaimanapun seperti kata Ali Syari’ati, mereka bukanlah superman. Paling-paling sekadar manusia super. Dan kesuperan ini pun dalam kenyataan yang saya pergoki sangatlah rapuh. Untuk bisa dianggap pakar (dengan ukuran jadi pembicara di mana-mana) banyak di antara mereka yang seumur-umur cuma mengandalkan pada tesis doktornya, lantas di-breakdown dan di-blending sana-sini. Untuk dipuja sebagai moralis, mereka cukup mencocor isu-isu kemiskinan, dan menekuni masalah-masalah hak asasi, tak peduli untuk pekerjaannya ini mereka “menggenjot” para asistennya dan kurang menghiraukan hak-haknya.
Bahkan untuk disebut sebagai pejuang, mereka tak perlu berjuang di tengah-tengah masyarakat, toh dengan label “mantan demonstran” telah cukup membuat mereka menjadi terhormat. Malahan, mereka yang sering menyalurkan ide-ide progress dan tuntutan demokrasi ini, dalam perangainya sehari-hari justru bersifat otoriter dan meneguhkan status quo. Sebagai pedagang politik mereka juga adalah penyusu setia rezim Orde Baru.
Jika peryataan Nuri itu benar, ini pertanda kita sudah tiba pada suatu masa dalam konstatasi Rasulullah saw., bahwa “akan tiba suatu masa, di mana bercokol para khutaba (pengecap) dan sedikit para fuqaha (orang-orang mumpuni).” Dan menurut Arnold Toynbee, inilah benih-benih awal runtuhnya suatu kebudayaan.
Lebih lanjut, dalam A Study of History-nya, Toynbee menyebutkan, apabila kebudayaan tumbuh dari jawaban yang berhasil atas tantangan yang dihadapi masyarakat, maka kehancuran kebudayaan terjadi karena ketiadaan “tenaga kreatif” dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat, yaitu kelompok minoritas yang biasanya memimpin kelompok mayoritas yang tidak kreatif. Lumpuhnya kelompok tenaga kreatif yang sedemikian itu dengan sendirinya membuat kelompok mayoritas menjadi kehilangan arah sejarah, yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi sosial.
Tentang sebab musabab rontoknya tenaga kreatif dalam masyarakat, Toynbee melihat---secara psikologis---dari segi hubungan antara orang-orang yang melahirkan kreasi (tenaga kreasi) dengan para pengagumnya. Apabila kreativitas pertama-tama merupakan salah satu bentuk jawaban seorang yang melahirkan kreasi itu terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat, maka kebutuhan kreativitas terletak pada keterpesonaan pada para pengagumnya yang mencapai tingkat pengkultusan. Pada waktu itu, secara tak sadar orang yang melahirkan kreasi akan merasa puas dengan keberhasilan yang telah dicapainya, dan oleh karena itu dia menjadi tidak mampu memberikan jawaban yang berhasil terhadap tantangan-tantangan baru.
Dalam keadaan demikian, tenaga-tenaga yang tersembunyi tidak mampu lagi melahirkan kekuatan-kekuatan raksasa di mana kreativitas tetap diwarnai kesungguhan dan orisinalitas. Sehingga yang terjadi, seorang yang kreatif pada waktu ia didudukkan para pengagumnya pada posisi terhormat menjadi tidak mampu lagi melanjutkan kreativitasnya. Rahasia keberhasilannya pada masa lalu menjadi hambatan baginya untuk tetap berkreasi, karena timbulnya kondisi-kondisi baru dan ia tidak memiliki apa yang ia bisa sajikan kepada para pengagumnya kecuali dengan mengulang-ulang keberhasilan di masa lampau.
Sementara kebutuhan-kebutuhan baru selalu muncul ia tidak mampu lagi menghasilkan suatu kreasi baru. Tidak hanya itu, yang lebih gawat, malah ia cenderung menghalang-halangi timbulnya tenaga kreatif baru dari generasi selanjutnya. Dengan demikian, pribadi kreatif dari generasi terdahulu tidak saja menjadi mandek tetapi juga turut masuk dalam kelompok-kelompok para penentang pribadi-pribadi kreatif berikutnya, yang lebih mampu memberikan jawaban atas tantangan yang ada.
Dalam kondisi demikian tentu saja sulit dibayangkan munculnya seorang transforming leader, seorang pemimpin yang mengubah. Alih-alih berusaha menempatkan diri sebagai pusat edar magnet yang bisa menarik partikel-partikel atomik menjadi suatu kumpulan energi kreatif, mengubah dirinya sendiri untuk lebih kreatif pun masih perlu dipertanyakan. Tak heran kalau orang seperti M. Dawam Rahardjo pun menilai bahwa kerja intelektual kita cuma sekadar penjaja pemikiran Barat. Dan bisa dimengerti pula jika Fazlur Rahman menilai prestasi intelektual Muslim Indonesia masih berada di luar mainstream pemikiran dunia.
Dan lebih dari sekadar gugatan terhadap mutu pemikiran kaum intelektual kita, yang lebih penting adalah mutu otentisitas dan keberpihakannya terhadap kepentingan masyarakat. Sebab, seperti kata Burs, untuk disebut intelektual seorang tidak saja dituntut mengabdi pada ilmu pengetahuan tetapi juga harus turut memperjuangkan nilai-nilai tertentu (The concept of intellectual leadership brings in the whole of concern purpose ground from value).
Sejarah memberi kita dokumentasi pelajaran yang amat berharga, bahwa perubahan-perubahan besar dan kecenderungan-kecenderungan masa depan ditentukan oleh karakteristik intelektual seperti ini. Kang Jalal memberikan ilustrasi yang menarik: “Oppenheimer menjadi intelektual ketika dia memperjuangkan penghentian penelitian nuklir; Leon Kass menjadi intelektual ketika ia meninggalkan ‘rekayasa genetik’ yang dianggap membahayakan kemanusiaan lantas beralih ke pengembangan bioetika; Sakharov menjadi intelektual ketika dia memprotes pendindasan hak-hak asasi di negerinya; Al-Ghazali tidak lagi menjadi sufi tetapi dia menjadi intelektual tatkala ia mengirim surat-surat protes kepada penguasa di negerinya; Ibn Taimiyah bukan lagi semata-mata ahli fiqih tatkala memimpin perlawanan terhadap tentara Mongol. Begitu pun Kiai Sentot, Kiai Maja, Imam Bonjol, Hamka dan sebagainya; mereka mengubah umat yang pasif, meniupkan ruh jihad dan menanamkan kepercayaan diri.”
Amat disayangkan, di sebuah negara di mana sentralisasi prakarsa kerap kali dirancang di pusat-pusat kekuasaan, komitmen intelektual kita masih sering kali “ditundukkan” di bawah ambisi jabatan dan “the brand name”. Bilamana perlu ini tak segan-segan dilakukan dengan melacurkan amanat hati nurani rakyat.
Sementara kamus politik Dunia Ketiga masih memandang intelektual sebagai “the Agent of Social Change” (agen perubahan sosial), yang kita saksikan adalah anak-anak ayam yang kehilangan induknya, tapi tak kenal lelah harus terus berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya; hingga perlahan-lahan timbul juga keberanian mereka untuk mengadu dan menggugat. Apakah lewat pemogokan sopir-sopir angkutan, pengaduan petani yang tanahnya diserobot lapangan golf dan sebagainya.
Maka seperti hendak menyindir peran intelektual yang memble seperti ini, jauh-jauh hari Syari’ati telah menegaskan. Seorang intelektual tidak harus lahir dari bangku kuliah dan menara gading kelompok ilmuwan, tapi bahkan mereka yang ummi (buta huruf) sekalipun bila dia “hadir” di tengah masyarakat sebagai nabi-nabi sosial yang turut membebaskan beban derita yang memasung umat manusia, maka dialah intelektual sejati.
Nuri adalah representasi simbolis dari kenaifan kita yang sering terjebak kemilau nama. Padahal, what is in a name?[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar