Ada teka-teki yang saya tak mampu pecahkan ketika di tahun 1970-an pikiran-pikiran Herbert Marcuse hinggap di kepala. Saat itu, ia menorehkan kritik tajam tentang konsep “budaya (berlibur) akhir pekan” (weekend) yang melanda masyarakat industri kapitalis.
Dalam penglihatannya, tradisi di akhir pekan itu merupakan bentuk “masturbasi budaya”: Weekend merupakan konsekuensi dari kenikmatan yang ditunda-tunda ketika manusia tidak lagi berdaulat atas waktu karena tersihir oleh mesin kapitalis. Mereka rela menukar keringat dan dolar yang telah dijerihpayahinya selama seminggu dengan kenikmatan sesaat dan semu.
Saya sadar sekarang, pada saat itu ada jarak menganga antara situasi Marcuse dengan ekologi pengetahuan dan kepompong budaya kita. Betapa tidak, pada tahun 1970-an, ketika pengusaha-pengusaha hotel di sini mengeluh karena banyaknya kamar yang kosong, dan para penjaja wisata masih bermuram karena tidak adanya tradisi berlibur di kalangan inlander, Marcuse telah melangkah terlampau jauh dengan kritik itu.
Tapi, “revolusi triple-T” (transportasi, telekomunikasi, dan turisme) yang berembus cepat belakangan ini telah mampu menyulap suatu kemustahilan yang tak relevan menjadi kemungkinan yang relevan. Bangsa-bangsa sejagat yang tadinya dipisahkan oleh hambatan-hambatan ruang dan waktu, kini berubah menjadi suatu komunitas terbuka; saling bersinggungan membentuk “dusun dunia” dengan mewarisi “budaya global”, yang secara dramatis telah mengubah pengertian konseptual kita tentang ruang, waktu, budaya, gaya hidup, dan sebagainya.
Dewasa ini, berkat kehadiran pesawat Jumbo-Jet dengan kecepatan 0,85 mach, dan Concorde pada kecepatan 2,03 mach telah terjadi peningkatan masif dalam arus pergerakan manusia, dan memacu evolusi manusia menuju masyarakat tanpa batas. Dan, yang lebih mencengangkan, menurut PECC Outlook 1993, kawasan Pasifik Barat, di mana Indonesia berada, dengan segala daya tariknya, telah tercatat sebagai kawasan dengan pertumbuhan arus turisme yang paling tinggi di dunia.
Arus manusia ke kawasan ini meningkat 2,1 kali antara tahun 1988-1989 (dengan rata-rata tingkat pertumbuhannya 8,4 persen per tahun).
Peningkatan volume arus wisata ini tampaknya merembet ke Indonesia. Ini terlihat dari kian meningkatnya arus kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). Jika pada akhir Repelita I wisman yang datang ke Indonesia mendekati 270.000 orang, dan pada tahun keempat Repelita V hingga Oktober 1992 telah meningkat menjadi 2.054.596 orang, atau mencapai 7,6 kali.
Masuknya gelombang wisatawan asing ke Indonesia ini sudah barang tentu membawa muatan budaya tertentu. Dan, secara gampangan kita bisa percaya pada suatu hukum yang berlaku dalam “transaksi” budaya. Yakni, bila dua arus budaya saling bertemu dan saling beradu, maka yang akan tampil sebagai pemenang bukanlah siapa yang paling “unggul” nilai budayanya, melainkan siapa yang paling dominan secara material. Tak heran jika tradisi “berlibur” yang dibawa para wisman ini segera menjalar, membentuk gugus budaya baru yang diterima sebagai keniscayaan manusia beradab oleh manusia Indonesia modern. Sekarang, kebiasaan weekend ini bukan hanya jenis “binatang” yang disukai para bos eksekutif kita, tetapi bahkan para pelajar kelas nyamuk pun turut mengukuhkannya dengan kebiasaan “mejeng di malam Minggu”, atau malah semacam “pertunjukan Malioboro”.
Tentang hal ini, para moralis tradisional sering bersungut: “Pariwisata itu maksiat. Ia identik dengan penjajahan komoditi seksual, pembudayaan aksi hura-hura dan meninabobokan kesenangan-kesenangan semu, yang bisa menghancurkan mentalitas bangsa.”
Kritik demikian memang simplistis dan bersifat hitam-putih. Namun demikian, jika kita mencoba menanggapi secara lebih jernih dan arif, segera akan kita insafi bahwa di balik kesembronoan penilaian itu, terkandung makna dan peringatan yang dalam. Peringatan itu pada pokoknya hendak menunjukkan bahwa kegiatan wisata yang berkembang sekarang ini cenderung mengalami proses penyempitan maknawi, dari wahana studi, kontemplasi, dan rekreasi menjadi sarana rekreasi belaka. Dengan begitu, kegiatan wisata telah mengalami penciutan kontribusi; dari kesanggupan untuk memberikan kenikmatan insani yang sublim menjadi sekadar penawaran kenikmatan indriawi yang cethèk.
Arus wisatawan memang kian deras membanjiri berbagai objek wisata. Tapi apresiasi mereka terhadap objek wisata kian dangkal. Mereka makin gigih menjangkau laut, menjamah hutan, dan mendaki gunung. Cuma sayang, kehadirannya di sana paling banter sebatas menyaksikan gulungan ombak, pohon-pohon yang rindang, dan megahnya konstruksi belaka. Tanpa ada upaya untuk menemukan makna terdalam di balik fenomena keelokan dan kemegahan itu.
Ribuan wisatawan tiap tahun merapat ke candi Mendut di sekitar kompleks Borobudur. Tapi tidak banyak di antara mereka yang berhasil menangkap pesan moral yang dipancarkan relief-relief yang terpahat di dindingnya. Padahal, hanya dengan sedikit kejelian dan perenungan, di sana akan kita pergoki sebuah relief berukiran burung berkepala dua, kepala yang satu terletak di bagian atas tubuhnya sedang yang satunya lagi berada di bawahnya.
Kepala burung yang di atas senantiasa makan buah-buahan yang bersih dan lezat dari pepohonan yang ada di atasnya. Kepala yang di bawah hanya makan dari sisa-sisa makanan kepala atas yang sudah tidak ada isinya lagi. Jika kepala-bawah memprotes pada kepala-atas tentang perlakuan itu, maka kepala-atas selalu menjawab: “Kamu yang di bawah tidak memerlukan makanan seperti ini, sebab bagaimanapun kita makan untuk satu perut yang sama.” Karena putus asa, akibat tidak berhasil meminta keadilan, akhirnya kepala bawah makan jamur beracun yang tumbuh di tanah, hingga burung itu pun mati.
Relief tersebut merupakan media refleksi bagi para peziarah dan para wisatawan atas realitas tertentu. Jika realitas yang dimaksud adalah realitas Indonesia kekinian, maka akan beginilah kira-kira pesan moral yang diisyaratkan relief tersebut. “Waspadalah terhadap berlangsungnya pemusatan struktur produksi pada sekelompok kecil elite masyarakat yang bisa menyulitkan rakyat jelata. Sementara yang sedikit kebanjiran kekayaan, yang banyak bercengkerama dengan kemelaratan.
Relief kepala burung yang dikemukakan di atas sekadar contoh saja, bahwa betapa para wisatawan religius di setiap objek wisata itu bisa menikmati nilai lebih di balik tampilan luar yang dia lihat dan alami. Bagi manusia religius, yang terpenting dari objek wisata itu bukanlah wisata atau kulit luarnya saja, melainkan yang terselubung penuh misteri, yang mengagumkan, dan mengajaknya menghayati alam.
Wisatawan religius, meminjam ungkapan Romo Mangunwijaya, bukan pengkhayal yang ingin lari dari realita. Tetapi dia secara sadar atau tidak sadar mencari makna yang lebih hakiki dari sekadar penampakan kulit luar. Dia tidak putus hanya dengan berbiduk-biduk senang di atas permukaan laut, tapi ingin menyelam dalam keheningan di bawah permukaan, mengagumi keindahan koral-koral dan tari-tari ikan yang serba warni-warni sebagai cermin kemahaindahan Tuhan. Inilah makna terdalam dari pengakuan Ali bin Abi Thalib, bahwa rekreasiku adalah kerja. Jadi, bukan sebagai masturbasi budaya.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar