Sabtu, 03 Januari 2015

Kata Pengantar

Waktu saya diundang menulis kata pengantar untuk buku Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan ini, saya merasa memperoleh kehormatan. Topik buku tersebut penting, relevan, dan merangsang. Dan penulisnya, Sdr. Yudi Latif, layak diberikan ucapan selamat atas prestasinya.

Perkenalan pertama saya dengan Sdr. Yudi terjadi lewat e-mail, ketika dia bertanya tentang program studi pascasarjana dalam bidang keislaman di Universitas Nasional Australia (ANU). Pengkajian Islam di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, merupakan topik yang hangat bagi saya dan beberapa teman di ANU, dan Pusat Studi untuk Pengkajian Islam di Asia Tenggara baru saja kami dirikan.

Beberapa bulan kemudian, setelah mengatasi halangan birokrasi (baik di Indonesia maupun Australia), Sdr. Yudi akhirnya tiba di Australia, dan saya bisa mengucapkan “Selamat Datang di Canberra.” Saat ini, Sdr. Yudi sedang menulis disertasinya tentang “Genealogi Intelektual Islam Indonesia.”

Sebelum berkenalan dengan saudara Yudi, saya tahu perhatiannya luas dan kemampuannya mengesankan. Saya juga tahu, selain aktivitas akademiknya dia juga menulis artikel untuk surat kabar. Tetapi saya tidak tahu jumlahnya! Baru-baru ini, setelah membaca buku ini, saya sadar, bahwa bukan saja banyaknya, tetapi juga kualitasnya yang tinggi. Kebanyakan tulisan Sdr. Yudi patut memperoleh perhatian yang lebih dalam. Saya senang sekali bahwa Sdr. Idi S. Ibrahim mengambil inisiatif serta mengumpulkan tulisan terpilih untuk buku ini. Tahniah kepada Sdr. Yudi dan Idi!

Sekarang izinkanlah saya memasuki pokok persoalan. Menjelang milenium baru, Bangsa Indonesia mengalami perubahan dengan skala yang belum pernah dialami sebelumnya. Perubahan ini meliputi seluruh aspek kehidupan nasional: sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Yang mengkhawatirkan, perubahan-perubahan tersebut justru terjadi dalam bingkai kelemahan ideologi politik. Dengan kata lain, pada saat yang paling kritis dalam sejarah bangsa Indonesia, infrastruktur politik dan aparatur negara yang ada tidak mampu memberikan inspirasi dan dorongan bagi proses perubahan yang diperlukan.

Usia Republik Indonesia, secara komparatif, memang masih muda. Walaupun begitu, pembangunan materialnya mengesankan. Tetapi budaya politiknya masih terlalu kental diwarnai hierarki dan gaya budaya Jawa Tengah. Kekuasaan golongan atas pada tahun-tahun akhir pemerintahan Presiden Soeharto tidak ada taranya di dunia. Salah satu akibat dari kuatnya golongan atas dan kultur Jawa ini adalah praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang merajalela sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an di seluruh pelosok Nusantara. Masalah lain yang sangat menonjol adalah “kedekatan” antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Sejak zaman kemerdekaan sangat susah memisahkan kedua sumber wibawa ini dan sepanjang zaman Orde Baru makin lama makin dekat. Kalau aparat yudikatif dianggap sebagai bagian dari pemerintah, bagaimana menteri dan pegawai negeri dapat diadili secara efektif?

Sisi lain dari ciri khas Indonesia adalah agama mayoritas: bahwa kebanyakan penduduk Indonesia beragama Islam. Pada akhir abad ke-20, Indonesia merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia. Penduduk yang beragama lain kurang dari 20%, dan walaupun agama bukan Islam dihormati, agama tersebut dianggap sebagai agama minoritas.

Tingkat partisipasi penduduk Muslim dalam pendidikan Islam di Indonesia, lewat sistem sekolah agama, madrasah, pondok pesantren, IAIN, universitas Islam dan umum cukup tinggi. Selama tahun 1980-an dan 1990-an, jumlah cendekiawan Muslim yang mengikuti program pascasarjana di luar negeri tumbuh pesat. Tidak belebihan jika dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan intelektual Muslim Indonesia, dibanding negara-negara Muslim lainnya, termasuk paling tinggi di dunia.

Latar belakang dari sejarah Islam di Indonesia adalah campuran dari unsur tradisional dan modern. Ajaran modernis dan rasional Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memperoleh pengaruh yang luas di lingkungan beberapa golongan Islam di Nusantara pada awal abad ini. Kehausan akan pengetahuan dan pengajaran merupakan ciri khas bagi banyak kalangan muda Muslim di Indonesia, dan pada akhir abad ke-20 bacaan mereka sangat bertenaga (energetic), eklektik, dan kritis.

Yudi Latif merupakan salah satu contoh dari angkatan terbaru cendekiawan Muslim. Dia membaca secara luas, baik sumber-sumber Islam maupun bukan Islam. Dia berkenalan dengan aliran-aliran “teori kritis” Barat yang paling penting. Tetapi dia tidak senang dengan teori saja---dia bermotivasi menerapkan pengetahuan teoretisnya. Dia juga sangat hirau terhadap masa depan Indonesia. Golongan cendekiawan Muslim terbaru ini ingin menyumbangkan pengetahuan dan pengalamannya terhadap proses reformasi.

Buku Yudi Latif memberikan perhatian pada masa lalu dan pengaruhnya terhadap perwujudan Indonesia masa depan. Tetapi kita mesti bertanya: apa arti masa lalu dalam konteks Indonesia? Untuk Republik yang baru berusia setengah abad ini masa lalu berarti:

- sejarah politik nasional? atau
- sejarah prakemerdekaan? atau
- sejarah setempat tiap provinsi Republik (dan di mana perbatasannya?) atau
- sejarah Islam di Indonesia? atau
- sejarah pribadi seseorang?

Pada dasarnya tiap “sejarah” tersebut di atas menjadi bagian masa sekarang (the present), dan masa sekarang hanya bisa dipahami kalau unsur-unsur yang membentuknya ditangkap, diidentifikasi, dinilai, dipertimbangkan, dan dikomunikasikan. Ini tujuan utama penyelidikan Yudi Latif dalam bukunya, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan. Inti buku ini adalah studi mendalam tentang kaitan antara gejala masa sekarang dengan masa lalunya. Topik yang dicakup sangat luas---demokrasi, teknologi, pendidikan, seni, ekspresi gaya dakwah Islam---tetapi tiap topik dikaitkan dengan perspektif Islam modern. Yudi Latif menekankan pentingnya Islam sebagai saluran penjelmaan masyarakat modern. Tetapi tidak semua pemimpin Islam menyesuaikan cara komunikasi mereka dengan perubahan zaman. Terdapat jurang antara sikap mereka dengan kemajuan teknologi. Menurut Sdr. Yudi, Islam mestinya mampu menawarkan kerangka nilai (mental framework) yang sepadan dengan kemajuan teknologi, tetapi kerangka ini jarang diwujudkan.

Maka setiap bab dalam buku ini memantulkan suatu kesadaran bahwa proses perubahan sama pentingnya dengan isi perubahan. Kesadaran ini mengakui juga bahwa masa sekarang sama pentingnya dengan masa depan. Pemuda-pemudi Indonesia yang kehilangan kepercayaan terhadap ideologi Orde Baru tak sabar hati menunggu perubahan masa depan. Mereka menuntut perubahan sekarang. Nilai yang tercantum di dalam ideologi Pancasila adalah nilai yang halus. Pancasila sebagai ideologi masih murni, tetapi pemimpin-pemimpin Orde Baru tidak menghayati ideologi yang didukungnya. Maka generasi terbaru menjadi sinis dan skeptis terhadap Pancasila sebagai kode etika. Kalau Pancasila tidak lagi dihormati oleh generasi muda, etika apa yang akan menggantikannya sebagai panduan masa sekarang dan masa depan?

Artikel-artikel Yudi Latif tidak pura-pura menawarkan pemecahan supaya masalah bisa diatasi. Tujuannya lebih jujur. Buku ini menawarkan kesempatan untuk merenung, memberi ruang untuk berpikir lebih dalam tentang tantangan dan ancaman masa sekarang. Buku ini sangat berharga, sebab dari renungan timbul pertanyaan. Menurut saya, kemampuan bertanya memerlukan keyakinan diri, dan rasa keyakinan diri merupakan dasar bagi terbentuknya rasa sederajat. Maka kalau kebanyakan pemuda Indonesia dipenuhi rasa sederajat, sistem hierarki tradisional (warisan zaman prakolonial maupun zaman penjajahan) akan runtuh.

Yudi Latif berani mempersoalkan masa sekarang bangsa Indonesia. Nada pendekatannya tidak menuduh atau menghina. Dia menerobos masa sekarang yang “fluid” lewat penyelidikan terhadap “jaringan memori kolektif”. Jaringan tersebut adalah jaringan yang menyatukan warga Indonesia apakah disukai dan diakui atau dinafikan. Keberanian juga diperlukan untuk menerobos pengalaman nasional supaya kesalahan dan kelemahan bisa dipahami dan diterima. Keberanian mempersoalkan dan bertanya belum diterima sebagai ciri khas kebudayaan Indonesia (kebudayaan politik maupun umum). Sampai saat ini yang diutamakan adalah “musyawarah” atau (paling banter) diskusi yang dipimpin oleh seorang pakar atau tokoh dari generasi tua. Dalam suasana yang dikuasai oleh “kepakaran” atau kehormatan, suatu “diskusi” merupakan pemberian petuah yang tidak menggalakkan pertanyaan yang terus-terang dan berbobot dari generasi muda. Pergeseran dari “musyawarah” ke “dialog” memerlukan reorientasi pikiran dan sikap yang besar. Dalam dialog yang benar, komunikasi yang terang dan terbuka sudah barang tentu akan memunculkan percekcokan. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Sebab, perselisihan dan perbedaan pendapat adalah dasaran sintesis baru. Tanpa reaksi dan pemunculan penyelesaian alternatif, pembaruan sama sekali tidak mungkin.

Menurut Yudi Latif, persoalan Indonesia adalah persoalan “ingatan”. Tetapi ada persoalan lain: bagaimana budaya Indonesia menerima sikap dan pemikiran yang berbeda? Walaupun keanekaragaman dan pluralisme diakui dan diutamakan dalam semboyan negeri Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika” (Diversity in Unity), dalam kenyataannya yang ditekankan adalah “kesatuan” bukan “keanekaragaman”. Padahal kalau yang ditonjolkan adalah “keanekaragaman”, barangkali akan menggambarkan realitas yang sesungguhnya. “Keanekaragaman dalam Kesatuan” merupakan mosaik dari perwujudan masyarakat madani, sasaran yang diinginkan oleh banyak orang Indonesia.

Buku Sdr. Yudi Latif merupakan sumbangan bermanfaat terhadap pemikiran tentang hubungan antara agama, pengetahuan dan kekuasaan dalam kerangka budaya politik Indonesia menjelang abad ke-21. Sumbangan Sdr. Yudi didasarkan atas inovasi pada dua tingkat: Pertama, pendekatan dan metodologinya mempertautkan pemikiran Barat dan pemikiran Indonesia-Islam. Akibat sintesis itu adalah gaya pemikiran dan wacana yang jelas, lentur, dan menantang, dengan didukung oleh teori yang meyakinkan. Kedua, kejujuran evaluasi Sdr. Yudi mengenai keadaan agama, masyarakat, dan budaya Indonesia kontemporer pasti akan mendorong pembaca untuk mempersoalkan arah masa depan tanah airnya. Dalam epilognya, Sdr. Yudi mengundang para pembaca agar bersedia “untuk membuka diri terhadap dialektika kritikal dan praktik diskursif, termasuk kesiapan untuk membongkar bentuk-bentuk kesadaran palsu dan kecenderungan tiranik yang tertanam dalam dirinya sendiri.” Ini, menurut dia, adalah langkah pertama di jalan menuju pluralisme yang benar. Mudah-mudahan seruan Sdr. Yudi akan didengarkan dan disosialisasikan supaya “Keragaman dalam Kesatuan” bisa diwujudkan dalam masyarakat yang makin sederajat.

Jakarta, 4 Januari 1999
Prof. Dr. Virginia Matheson Hooker
Kepala Southeast Asia Centre, Fac. Asian Studies
Australian National University (ANU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar