Senin, 05 Januari 2015

Tercerabut dari Akar Sejarah dan Akar Rumputnya

Apabila ada organisasi massa yang pernah memperoleh begitu banyak pengikut serta cukup berpengaruh dalam kehidupan keagamaan dan sosial-politik di tanah air ini---tapi belakangan kian ditinggalkan kesetiaan para jamaahnya serta kian surut kontribusinya bagi proses transformasi masyarakat Indonesia---maka itulah Nahdlatul Ulama (NU).

Benar, sekarang kita masih mendengar gertak suara NU hadir di tengah-tengah kita, bahkan tak jarang bisa muncul menjadi isu nasional yang mengagetkan banyak pihak. Tetapi hal itu sebenarnya lebih merupakan personal statement para tokoh pusat NU, yang mengandalkan wibawa pribadinya sendiri-sendiri, ketimbang ekspresi organisasional yang didarahi semangat, kesadaran, dan wibawa kolektif.

Mengapa NU kian tak "memasyarakat", justru tatkala institusi-institusi lain tengah beramai-ramai melakukan go public dan konon ketika "revolusi jilbab" (semangat beragama!) di kota-kota besar, di tanah air ini, kian menggalak? Bisa saja kita menerangkannya dari segi kemerosotan dan kesulitan masalah teknis manajerial organisasi, pergeseran garis ideologis, dan perubahan pola perjuangan atau dari dimensi visi teologis yang dianutnya, seperti yang telah jamak dilakukan oleh para pemerhati selama ini.

Tetapi sesungguhnya kita juga bisa melacaknya dari segi kecenderungan terjadinya proses marginalisasi tokoh NU pinggiran (daerah pedesaan) dari proses pengambilan keputusan dan pengejawantahan kebijakan-kebijakan dari "pusat" di satu sisi serta dari tendensi merosotnya wibawa tokoh-tokoh pinggiran di tengah masyarakat pedesaan yang tengah berubah di sisi lain. Perspektif inilah yang akan membawa kita menjelajahi di lorong-lorong problematis sejarah NU kekinian, sejarah NU yang kian tercerabut dari akar sejarah dan akar rumputnya.

Marginalisasi Tokoh Pinggiran

Dalam sejarahnya, NU baik secara ormas maupun secara orpol adalah suatu organisasi dengan basis utamanya masyarakat pedesaan. Dalam kaitan ini, keberhasilan NU menggamit tokoh-tokoh pinggiran (alim ulama, kiai pedesaan)---yang notabene merupakan opinion leader yang berpengaruh di kalangan masyarakat desa---serta partisipasi aktif tokoh-tokoh itu dalam proses pengambilan keputusan dan operasionalisasi kebijakan-kebijakan yang diambil di tingkat pusat, merupakan kunci utama sukses NU di masa lalu.

Namun sekarang musim telah berubah. Di samping daya ikat NU terhadap tokoh-tokoh itu kian mengendur, kita juga menangkap kecenderungan berlangsungnya proses marginalisasi mereka dari pergulatan sejarah NU kekinian.

Mungkin saja hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan tokoh-tokoh pusat NU untuk menata organisasinya secara solid. Yang pasti, mimpi buruk serupa itu kian menjadi, ketika revolusi media massa melanda kota-kota di tanah air ini, yang pada gilirannya mendorong terjadinya dualisme informasi antara ranah "pusat" (perkotaan) dan "pinggiran" (pedesaan).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehadiran media massa di antara kita selama ini ditandai oleh fenomena yang serba elitis dan bias urban yang terlampau berlebihan. Terjadi pemusatan struktur media di daerah perkotaan yang menyulitkan penduduk pedesaan untuk memperoleh informasi. Sementara perkotaan mengalami "kelebihan" informasi, pedesaan terhambat untuk memperolehnya.

Padahal intensitas media exposure dan tingkat partisipasi terhadap media bukan saja akan berpengaruh terhadap kualitas pengetahuan dan pemahaman manusia, tetapi juga menentukan kemampuan empati manusia terhadap dunianya. Yakni suatu kesanggupan psikologis seseorang untuk mengintegrasikan dirinya ke dalam dunia yang terus berubah, yang memungkinkan dirinya mampu bergerak secara mobil.

Di sinilah kita melihat suatu keadaan di mana tokoh-tokoh pusat NU yang tingkat partisipasi dan terpaan medianya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh-tokoh pinggiran, memiliki tingkat pengetahuan dan kesanggupan berempati yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang disebut belakangan. Sehingga pada perkembangan berikutnya, baik nilai-nilai, pilihan maupun kebijakan dan tindakan yang diambil oleh para tokoh pusat, tidak mampu dijangkau dan diterjemahkan ke dalam frame of reference dan field of reference tokoh-tokoh pinggiran.

Kebijaksanaan kembalinya NU ke Khittah '26 atau kasus penggembosan PPP merupakan contoh konkret pilihan tokoh-tokoh pusatnya, yang tidak mampu dipahami dengan baik oleh tokoh pinggiran yang bermuara pada kebingungan. Bagaimana pula dengan pembentukan PKB?

Kondisi-kondisi seperti inilah yang melahirkan kesan, seolah-olah NU hanyalah ajang permainan bola pingpong antara tokoh-tokoh pusatnya saja. Sedangkan tokoh-tokoh pinggirannya hanyalah penonton pasif yang berada di luar arena permainan. Mereka jika hadir tidak menggenapkan, tidak hadir pun tidak mengganjilkan alias tidak menentukan jalannya sejarah. Ironisnya, tokoh-tokoh pinggiran ini pun tidak merasa menyesal menyadari dirinya hanya menjadi penonton pasif. Sebab pemahaman mereka terhadap NU pun tidak seperti dulu lagi.

Kalau dulu mereka melihat NU sebagai sarana identifikasi diri yang bermuatan semangat li'ilâ'i kalimatillâh (menegakkan hukum-hukum Allah), hingga jika menjadi pengikut atau berjuang di dalamnya berarti jihâd fi sabilillâh. Tetapi sekarang cara pandang serupa itu hampir sirna. Bukan saja NU tidak mewakili semangat jihad mereka, tetapi semangat jihad mereka pun mulai bergeser dari al-ikhlâsh ke al-fulûs. Jika kondisi ini berkoeksidensi damai dengan trauma-trauma politis yang menghinggapi mereka, maka mereka pun akan cenderung berafiliasi ke organisasi lain, yang secara ekonomis politis lebih menjanjikan.

Inilah episode pertama, ketika NU mulai tercabut dari akar sejarah dan akar rumputnya.

Merosotnya Wibawa Tokoh Pinggiran

Bersamaan dengan terjadinya marginalisasi tokoh pinggiran dari tokoh pusat, di tingkat pedesaan pun terjadi proses pemudaran kesetiaan jamaah NU kepada tokoh-tokoh pinggiran sebagai konsekuensi logis dari merosotnya wibawa mereka di tengah-tengah masyarakat, yang secara tidak langsung hal itu juga berarti merupakan proses penggembosan pengikut NU terhadap NU.

Perkara kecenderungan merosotnya wibawa tokoh-tokoh pinggiran (sekali lagi, alim ulama atau kiai) di mata masyarakat desa disebabkan oleh beberapa hal. Antara lain, pertama, modernisasi pedesaan yang dilakukan secara gencar selama pemerintah Orde Baru, bukan saja telah berhasil menggeser nilai perjuangan tokoh pinggiran seperti yang telah diutarakan tadi, yang pada gilirannya bisa menipiskan simpati para pengikutnya terhadap mereka, tetapi modernisasi juga telah menyebabkan terjadinya diferensiasi institusional di lingkungan masyarakat desa. Institusi keagamaan yang dulu memainkan peranan majemuk, dalam arti tertentu juga monopolistik, terpaksa menerima peranan khusus dan terbatas.

Dalam kerangka ini, para kiai dan pemimpin keagamaan (tokoh pinggiran) di pedesaan bukan lagi satu-satunya rujukan untuk segala masalah kehidupan masyarakat. Mereka bukan lagi pemimpin yang polimorfik, melainkan hanya monomorfik. Dengan kata lain, modernisasi pedesaan telah mendesak peran dan wibawa tokoh pinggiran menjadi begitu terbatas. Ironinya, ketika peran dan wibawa mereka semakin terbatas, sejak NU menyatakan kembali ke Khittah '26, tokoh-tokoh pinggiran ini---dengan diiming-imingi pompa air atau lampu petromaks---lebih sering dimanfaatkan pemerintah untuk mentabligkan paket-paket materi pembangunan yang dirancang di "Jakarta", yang notabene tidak sesuai dengan peran dan kerangka rujukan mereka serta tidak kontekstual dengan kebutuhan real masyarakat setempat.

Akibatnya, bukan saja hal itu membuat pembahasan materi-materi pembangunan di tangan mereka menjadi begitu superficial dan menjemukan, tetapi lambat-laun hubungan antara tokoh pinggiran dan jamaah makin renggang. Jamaah tidak lagi merasakan tokoh pinggiran sebagai figur pengayom dan penyambung lidah rakyat, yang secara tulus berani mengartikulasikan keluh-kesah dan harapan mereka, melainkan lebih merupakan corong dari "pusat" yang siap "menembaki" mereka dengan "teror". Itulah sebab kedua.

Ketiga, sementara zaman sudah sedemikian berubah, kebutuhan orang kian berkembang, dan tantangan hidup semakin kompleks, tapi cara-cara dakwah dan pesan-pesan keagamaan yang ditampilkan tokoh-tokoh pinggiran ini masih tidak mau beranjak dari cara-cara ortodoksi dan hanya berkutat pada aspek-aspek konservatif dari agama. Sedangkan aspek-aspek transformatif agama yang relevan dengan dinamika perkembangan masyarakat sering kali terabaikan.

Akibatnya, isu-isu keagamaan menjadi begitu terasing dari persoalan aktual kehidupan masyarakat. Bila dalam situasi seperti itu, tiba-tiba bermunculan kunjungan mesra film-film dan media hiburan lainnya yang lebih menarik minat dan gairah masyarakat desa, maka pengajian dan tokoh pinggiran pun akan segera ditinggalkan "para penggemarnya". Kalau sudah begitu, yang bisa dilakukan mereka paling-paling cuma mengutuk sana-sini tanpa mau mawas diri.

Maka tambah merosotlah wibawa mereka. Dan inilah episode selanjutnya, di mana NU kian tercerabut dari akar sejarah dan akar rumputnya.

Menatap Masa Depan

Apakah NU masih akan terus memegang peranan penting dalam kehidupan bangsa Indonesia di masa depan? Jawabannya tentu saja pertama, terpulang pada kesiapan NU untuk mengatasi problem-problem yang telah diutarakan tadi. Kedua, tergantung dari seberapa jauh kesanggupan NU untuk memberikan makna pada kehidupan bangsa serta seberapa besar kontribusinya bagi upaya penyelesaian masalah-masalah kehidupan masyarakat Indonesia masa kini dan masa depan.

Ini berarti bahwa kesanggupan NU untuk memelihara kesetiaan dan kepuasan para pengikutnya, bagaimana ia mendefinisikan dirinya, sejarah dan tugasnya, dan bagaimana ia merumuskan sikapnya terhadap perkembangan situasi sosial-budaya, politik dan ekonomi, serta berbagai macam pembaruan dan reformasi visi keagamaan akan menentukan kedudukan NU di masa depan.

Oleh karena itu, dalam muktamar-muktamar NU yang akan datang, agenda masalah yang harus dibicarakan mestinya benar-benar mencerminkan masalah real organisasi, bukan masalah-masalah periferal atau masalah titipan yang dipaksakan untuk dianggap real.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar