Selasa, 06 Januari 2015

Islam dan Budaya Demokrasi di Indonesia

Kendatipun daya resonansinya tidak sanggup menggetarkan agenda media, hingga tak terintip dari jendela publik, isu yang diperbincangkannya sungguh merupakan "critical issue", yang memainkan peranan sebagai kunci interpretasi (interpretative key) dalam meneropong atmosfer masa depan keislaman dan keindonesiaan. Begitulah apresiasi spontan saya saat diselenggarakan seminar sehari "Agama dan Demokrasi", yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), pada awal 1990-an silam di Jakarta.

Dikatakan kritikal karena, selain agama masih diperhitungkan sebagai "penggubah umum" (general converter) yang cukup signifikan dalam jaring-jaring kebudayaan Indonesia, perkara demokrasi yang kian membahana dalam "discourse" global belakangan ini, makin nyata pentingnya bagi upaya-upaya transformasi masyarakat Indonesia. Dipandang semakin penting, bukan saja karena khasiat mistisnya sebagai "kunci gaib" yang diyakini akan mampu membuka gembok-gembok silent majority, yang sejak lama terkunci oleh dalih-dalih yang lebih memprioritaskan usaha pengisian perut. Justru karena peran konkretnya sebagai "polentas" yang diharapkan dapat membantu melancarkan mekanisme pengisian perut itu sendiri. Apakah itu namanya kelesuan yang memaguti sektor real, rendahnya upah-minimum dan pemogokan buruh di pabrik-pabrik, lemahnya daya saing produksi domestik di pasar bebas dunia, bahkan sampai pada kecerewetan yang kita temui pada bantuan luar negeri, jika ditelusuri sebab-sebabnya, ujung-pangkalnya akan berhulu pada jantung demokrasi.

Tentang bagaimana cara memompa jantung demokrasi yang sehat, Eka Darmaputra---seorang Nasrani yang bijak---mengungkapkan dalam seminar, "Di Indonesia tidak ada satu perjuangan demokrasi dan keadilan sosial tanpa Islam. Seluruh bangsa berkepentingan terhadap umat Islam karena peranannya yang sangat menentukan." Jika memang demikian, mampukah Islam memenuhi hajat hidup sekian mulut terkatup dan sekian perut kerontang yang sama-sama menanti datangnya keajaiban ratu adil demokrasi?

Jawabannya tentu berpulang sepenuhnya pada bagaimana cara demokrasi itu dikunyah dalam rahim Islam, serta bagaimana cara Islam---sebagai anak kandung "masyarakat madani" (civil society)---berperilaku dalam hubungan tarik-tolak dengan gurita kekuatan "masyarakat politik" (political society). Itulah yang menjadi unsur perhatian tulisan ini.

Demokrasi di Rahim Islam

Mungkinkah demokrasi dirawat di rahim Islam? Bergegaslah bertanya pada teks-teks Islam. Biarkan dia berbicara semaunya, bebas dari intervensi ideologis. Kelak kita akan mendengar pengakuannya, bahwa betapa Islam merupakan suatu seruan demokratis. Bukti yang paling mudah mengenai hal ini, tengoklah Surah Ali 'Imrân (3): 20, dan cobalah simak apa kata Dia:

… Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab serta kepada orang-orang yang ummi (buta aksara): "Apakah kamu (mau) berserah diri". Jika mereka berserah diri, sesungguhnya mereka telah mendapat kepemimpinan yang benar, dan jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.

Cukup jelas apa yang diingatkan oleh penggalan ayat di atas. Melihat klaim Islam, maka kebenaran dirinya tidak harus membuatnya merasa berhak untuk menyembelih hak hidup bentuk-bentuk kesadaran yang lain. Maka dari itu, segala ikhtiar untuk memperluas wilayah kesadaran Islam tidak sepatutnya dicapai melalui imperialisme kesadaran dengan mengerahkan daya pemaksa, melainkan mesti dicapai melalui dialog-dialog kesadaran dengan mengembangkan daya-daya cinta. Dan, itulah saya kira esensi demokrasi.

Akan tetapi, bila menggunakan acuan tersebut dirasa belum memuaskan, ada baiknya kita memeriksa fasilitas-fasilitas strategis lainnya yang memberikan kemungkinan tumbuhnya demokrasi di dalam Islam. Sekadar mengedepankan beberapa hal yang penting, pertama, sebagai agama transendentalis yang sangat berpegang teguh pada keimanan "tauhid", Islam memberikan kepada manusia suatu otoritas yang lebih tinggi dan suatu tempat mengadu (court of appeal) yang lebih canggih di atas masyarakat yang telah mapan. Jadi manusia dimungkinkan untuk secara efektif menantang dan mengkritik berbagai penyimpangan perilaku lembaga kemasyarakatan serta berbagai kebijakan kaum elitenya.

Kedua, dengan memposisikan manusia sebagai khalifatullah, Islam menghubungkan manusia dengan Allah, meningkatkan ekonomi dan martabat individu dengan membuat individu itu lebih dari sekadar anggota kelompok atau masyarakat, berarti tidak hanya mengabsahkan protes dan kritik, tetapi kesejahteraan dan martabat individu tidak semata-mata ditundukkan di bawah tuntutan kelompok. Untuk beberapa tingkat tertentu, individu dimungkinkan berada di luar bentuk yang dilembagakan, mengkritik mereka dan karena itu bisa mengubahnya.

Ketiga, penekanan Islam terhadap pertanggungjawaban pribadi, yang sering disebut dengan etika pengendalian diri, memberikan landasan bagi perkembangan warga negara yang bertanggung jawab secara etis, suatu syarat yang diperlukan bagi berfungsinya sistem demokrasi.

Keempat, doktrin "rahmatan lil alamin"---yang mengandung muatan semangat universalisme dan persaudaraan insane---yang dikhutbahkan Islam, menunjukkan suatu sumber penting cita-cita demokrasi dan memperkuatnya dalam kehidupan.

Kelima, prinsip syura (musyawarah) yang dianjurkan Islam dalam mekanisme pengambilan keputusan, memberi manusia semangat saling mengoreksi, saling memberi dan saling menghargai. Suatu moral dasar yang mendorong mengalirnya suatu praksis demokratis.

Keenam, sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, Islam amat mengutuk konsentrasi barang dan nilai-nilai langka pada sekelompok kecil masyarakat yang bisa memicu merajalelanya tirani minoritas. Sesuatu yang dikutuk oleh para pejuang demokrasi.

Dan ketujuh, dalam konteks Indonesia, peran kesejahteraan dan mayoritas Islam merupakan faktor yang sangat menentukan bagi tercapainya cita-cita demokrasi.

Namun demikian, kapasitas-kapasitas demokrasi Islam yang dipuji di atas hanyalah kapasitas-kapasitas tekstual, yang tidak dengan sendirinya merupakan realitas aktual. Unsur-unsur yang bisa memberikan sumbangan positif terhadap demokrasi sering kali tenggelam dibelam bias-bias lembaga keagamaan. Seperti yang pernah diingatkan oleh Thomas F O'Dea dalam Sosiologi Agama, dengan pelembagaan dan birokrasi agama, referensi transendental sering kali diidentifikasi para pemeluknya dengan struktur otoritas ulama. Yang pada gilirannya, praktik-praktik kekuasaan otoriter dari para pengurus ormas keagamaan bisa pula berkembang.

Akibatnya, ormas-ormas keislaman dalam banyak kasus cenderung tidak responsif terhadap kritikan atas dirinya dan atas status quo yang telah merawatnya. Dengan begitu, sumber asli unsur risalah, yaitu acuan transendental, yang memungkinkan kritik dan protes, telah ditransformasikan menjadi "pensucian" bentuk-bentuk yang telah mapan dan menjadi mekanisme penghambat protes dan kritik. Selanjutnya, pelembagaan agama yang mengarah pada kristalisasi bentuk-bentuk yang telah mapan ini, cenderung memupuk sifat defensif di pihak para pemuka agama, meningkatkan tendensi ke arah pembakuan dan otoritarianisme kesadaran.

Sementara itu, etika pertanggungjawaban pribadi, yang begitu penting bagi berfungsinya demokrasi, dapat juga berkembang ke arah yang tidak fleksibel, yaitu pada stasiun berikutnya membawa serta kepicikan dan ajaran yang kaku. Hasilnya ialah jiwa yang tidak toleran yang terbukti sangat disfungsional bagi lembaga demokratis, yang membutuhkan suatu toleransi fleksibel, dalam dialog dan diskusi jika ia diinginkan berfungsi. Terlebih-lebih dalam masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai keyakinan dan tipe keagamaan---bahkan banyak yang tidak beragama, di mana berbagai pandangan yang sangat berbeda mesti diakomodasikan dalam konsensus kerangka bertindak yang berlaku.

Jika jiwa yang tidak toleran ini bersetubuh dengan otoritarianisme pemimpin umat, yang terjadi kemudian adalah pertentangan antara etika persaudaraan dengan cita-cita universalisme. Di sini dapat berkembang aliansi in-group yang disucikan, yang menjadi bunker-bunker pemisah masyarakat demokrasi dan akhirnya mengancam transformasi bersama.

Maka secara singkat dapat dikatakan, suatu tuntutan Islam terhadap demokrasi, terlebih dahulu mesti menonjok dirinya sendiri, sebab dalam beberapa hal dia memiliki potensi untuk bertindak represif.

Islam versus "Masyarakat Politik"

Lepas dari persoalan tersebut, ancaman terbesar bagi cita-cita demokrasi di Indonesia adalah terlalu kuatnya "masyarakat politik" (political society) vis a vis "masyarakat madani" (civil society). Kuat, dalam arti, masyarakat politik terlalu jauh menjangkau dan mengendalikan masyarakat madani dengan signifikansi keterlibatan langsung dengannya. Oleh karena itu, bagaimana caranya Islam merespons masalah ini akan menentukan bagaimana kualitas kontribusinya bagi masa depan demokrasi di negeri tercinta.

Ternyata, di sini Islam menghadapi situasi dilematis. Di satu pihak, derajat kompromi dan akomodasi agama terhadap negara mesti ditempuh jika tidak ingin menyaksikan diri dan pemeluk teguhnya terus-menerus mengalami proses periferalisasi dan marginalisasi dari pusat-pusat "pembudayaan". Sehingga dalam batas-batas tertentu, kita bisa mengerti mengapa muncul fenomena semacam ICMI dengan credo-nya "untuk menghilangkan imaji oposisionalisme Islam." Di lain pihak---dan inilah sisi critical dari ball-position-nya ICMI---bila agama terlalu terakomodasi secara cetek terhadap negara, maka klaim demokrasi Islam tidak memperoleh pijakan yang kuat. Sebab---setidak-tidaknya untuk konstelasi politik saat ini---Islam justru sangat diharapkan untuk memperkuat daya saing wilayah "masyarakat madani" dalam mempertahankan landas perbedaan dan kritik---ide martabat individu, keadilan sosial, dan kesejahteraan umum---dalam menghadapi dominasi "masyarakat politik".

Selain itu, andaikata agama berkompromi terlalu jauh dengan negara, ada ancaman bagi melemahnya unsur-unsur nubuat dari transendensi agama. Agama kemudian tak lebih sekadar alat legitimasi yang menyesuaikan diri dengan pendapat dominan. Dengan begitu fungsi pokok agama tauhid dalam perjuangan demokrasi melenyap, dan agama transendensi itu sendiri berubah menjadi begitu superfisial dan instrumental.

Tragedi semacam ini biasanya diperburuk oleh adanya bias motivasi campuran. Dalam berkencan dengan negara, motif "jabatan" sering kali menyelinap di balik tujuan-tujuan organisasional. Lalu, individu yang terlibat bisa memiliki kepentingan untuk mempertahankan struktur jabatan tersebut, yang oleh karenanya menolak perubahan dan reformasi yang cenderung mengancam kepentingan dirinya sendiri. Dengan demikian, struktur tersebut tidak saja kian terasing dari dinamika masyarakat, tetapi juga bisa mempercepat keterasingan pemimpin umat dari para jamaahnya.

Kekhawatiran-kekhawatiran inilah barangkali yang mendorong sebagian LSM keagamaan mengumandangkan credo, "back to society". Akan tetapi sayang, sekembalinya mereka ke rahim masyarakat, kebanyakan isu yang digarapnya masih berkutat pada aspek-aspek vertikal keagamaan. Sedangkan aspek-aspek horizontal keagamaan yang justru merupakan critical issue, tampaknya masih terlalu "sekular" untuk diperhatikan. Memang ada beberapa LSM---seperti yang dijurubicarai K.H. Abdurrahman Wahid---yang mencoba menjamah wilayah ini. Akan tetapi, selain jarak tempuh mereka masih berada pada taraf rintisan, kegamangan-kegamangan pun acapkali menghantui mereka. Alasannya, barangkali, selain teologi politik---seperti yang dianut "garis formal" NU---NU memang pada dasarnya "jinak". Juga masih terasa betapa kuatnya godaan yang mencekam sebagian mereka untuk bertengger atau setidak-tidaknya ter-expose di pusat politik.

Konsekuensi logisnya adalah ragam inkonsistensi. Untuk melihat dalam kasus SDSB, misalnya, di satu sisi, Gus Dur sebagai penyambung lidah umat mestinya responsif terhadap reaksi-reaksi dari bawah. Di sisi lain, rasa malunya---menurut bahasanya sendiri---terhadap pemerintah, mendorongnya untuk berpura-pura menyepelekan protes SDSB, dengan cara meyakinkan umat bahwa usaha-usaha memberantas kemiskinan jauh lebih mendesak ketimbang berusaha memberangus SDSB.

Penutup

Seperti yang telah disinggung di atas, merenda "garis panas" antara agama dan "masyarakat politik" dalam taraf tertentu memang diperlukan, setidaknya untuk pengukuhan simbol-simbol keagamaan. Akan tetapi, perkara yang satu ini hendaknya tidak usah terlalu dirisaukan. Bukan apa-apa, cobalah tengok, betapa panjangnya antrean para pemimpin umat yang menanti giliran untuk segera memasuki wilayah ini. Yang perlu diusahakan secara lebih serius justru bagaimana menggagas hubungan yang lebih mesra dengan lapisan bawah umat, untuk bahu-membahu membangun kekuatan tawar masyarakat madani terhadap kekuatan negara, dalam rangka menyehatkan hubungan-hubungan kekuasaan. Di sini, kapasitas demokrasi dan kemampuan transformatif agama menjadi kian mendesak untuk segera "dicerap" dan diinstitusionalisasikan. Sebab, secara umum, tampaknya semakin besar kemungkinan institusionalisasi tersebut, semakin kuat benih-benih otonomi dan kekuatan tanding agama dalam konteks masyarakat madani.

Dalam hal ini, kendatipun "kemesraan yang malu-malu" (keberjarakan relatif) agama dengan negara dalam waktu dekat bisa mendatangkan perasaan insecure, bahkan mungkin menimbulkan riak-riak konflik dan disharmoni "kemitraan", dalam jangka panjang akan membawa konsekuensi yang positif secara fungsional dalam usaha melestarikan nilai-nilai yang sangat penting bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis. Wallâhu a'lam bish-shawâb.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar