Problem Indonesia adalah problem ingatan. Ketika sebuah rezim tumbang, visi politik tidak diarahkan untuk memenangkan masa depan, melainkan ditarik mundur ke belakang, ke arah "kutukan" masa lalu. Masa lalu dalam ingatan kolektif kita bukanlah sekadar reservoir dari pengalaman "mentah" praktik politik, yang harus diteorisasikan dari keberjarakan dan terang perspektif hari ini. Masa lalu, dengan segala pahit getir ingatan terpinggirkan, adalah sumber pencarian identitas diri, suatu jangkar bagi suatu historical self-invention. Ingatan, dengan demikian adalah jembatan yang perlu tapi berbahaya antara pengalaman getir masa silam dengan persoalan identitas kultural. Mengingatkan kita pada renungan Homi Bhabha (1994), suhu dalam postcolonial theory, bahwa "mengingat tidak pernah sekadar tindakan sunyi dari introspeksi dan retrospeksi. Namun seringkali merupakan pengingatan yang perih, terutama dalam keterlibatannya menghadirkan secara serempak pengalaman masa lalu yang terlupakan demi memberi pengertian terhadap trauma hari ini."
Menjadi manusia Indonesia ditakdirkan untuk menjadi "manusia sejarah"; menjadi bagian dari partisan jaringan memori kolektif. Di dalam jaringan ini, proyek kolonialisme dengan politik devide et impera-nya, menorehkan keping-keping ingatan yang saling bertubrukan, saling menikam. Masing-masing ingatan diikat oleh universum simboliknya sendiri-sendiri, yang mempertautkan antara "tradisi kecil" dan "tradisi besar", satuan-satuan kecil ke dalam satuan-satuan besar, yang pada gilirannya menciptakan identitas diri masing-masing. Di dalam proses pembentukan identitas ini, batas (boundary) dan seteru (enemy) perlu diciptakan. Karena dasar mengada dari pembentukan identitas ini adalah penemuan batas dan lawan, maka visi politik tidak didorong oleh ide-ide inovatif, tetapi lebih didorong oleh pengukuhan identitas diri. Di sini, identitas bukan sekadar warna dalam senyawa polity, tetapi merupakan basis, bahkan satu-satunya basis bagi perjuangan politik. Dalam situasi demikian, ide kewargaan (citizenship) terasa hambar. Seperti diungkapkan oleh Edward Shils (1972):
Meskipun intelektual di negara-negara pascakolonial telah memiliki ide kebangsaan di dalam negerinya sendiri, mereka toh belum berhasil menciptakan sebuah bangsa. Malahan, mereka menjadi korban dari idenya sendiri, ketika nasionalisme tidak mengarah pada perwujudan kewargaan (citizenship). Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan rasa pertautan dengan orang-orang lain yang sama-sama membentuk bangsa. Hal itu juga memerlukan rasa kemitraan, dan kesediaan untuk berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, melunakkan dan menyerahkannya secara toleran terhadap tertib sipil, menganggap hal itu sebagai kurang signifikan ketimbang kepentingan komunitas bangsa secara keseluruhan. Dalam kehidupan politik, watak serupa itu membentuk apa yang disebut sebagai "kebajikan sivilitas" (the virtue of civility). Sayang sekali, kebajikan seperti itu bukan merupakan gambaran umum dari kaum inteligensia-politik di negara-negara tersebut. Yang berkembang di sini adalah suatu kecenderungan padat politisasi (intense politicization) yang disertai oleh keyakinan bahwa hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan posisilah yang dianggap sebagai anggota absah masyarakat politik (polity). Sedangkan bagi mereka yang berbeda, dikucilkan oleh curam hambatan yang terjal.
Berlalunya kolonialisme tidak berarti pulihnya luka-luka patologis. Wacana adu domba dipelihara oleh pertautan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam sistem hierarki nilai dalam pengetahuan yang diwariskan oleh penjajah. Masing-masing partisan dalam hierarki ini merupakan pewarta-pewarta distortif yang memperkukuh apa yang disebut oleh Edward Said (1989) sebagai "dreadful secondariness". Membuat jagat wacana menjadi jagat kabur dan retak, membelah garis "kawan" dan "lawan". Pihak pertama yang harus disebut adalah kaum orientalis yang memperlihatkan secara jelas kaitan antara pengetahuan dan kepentingan. Kaum orientalis sejak lama terobsesi untuk melihat dunia Timur dan negeri-negeri bekas jajahan sebagai proyek civilizing mission. "Karena mereka tidak bisa bangkit sendiri, maka mereka harus dibangkitkan," begitu ujar Karl Marx. Sejak itu, ahli-ahli Barat terus-menerus memproduksi tanda bagi nusantara, memonopoli tafsir atas peristiwa-peristiwa di seputar kita. Dari obsesi semacam ini terjadilah proses metamorfosis dari sekadar ilmuwan pengkaji menjadi intelektual partisan yang padat kepentingan. Termasuk dalam kecenderungan ini adalah kepentingan untuk melihat perubahan di dunia nusantara dalam jalur perubahan secara sekular. Dalam konteks ini, kita bisa memahami kegelisahan Robert van Niel, yang mengeluhkan sedikitnya perhatian para pengkaji Barat tentang Muhammadiyah, yang senyatanya merupakan organisasi yang berperan besar dalam mencetak para elit modern di Indonesia. Wacana orientalis dengan biasnya pada "the West" dan "the Rest", menempatkan status dan lokasi khusus pada pengetahuan lokal. Mereka yang "dekat" kepada Barat diberi status dominan. Sedangkan bagi mereka yang berlawanan diberi status pecundang (subaltern). Dengan demikian, sistem pengetahuan yang dikembangkan kaum orientalis melanggengkan narasi-narasi pembangkangan (subaltern narrative) dari sistem dan agen pengetahuan bukan-Barat. Dreadful secondariness semacam ini mengotori jagat wacana nusantara dengan mewariskan wacana pertentangan. Jika Pramudya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya, menisbahkan sebab-sebab kejatuhan nusantara pada kehadiran Islam, maka kelompok Islam garis keras menumpahkan segala bentuk kekecewaannya pada konspirasi non-Islam: komunis, Kristen-Yahudi. Tak perlu lagi ditekankan tentang sosok journalistic framework di Indonesia di era reformasi. Alih-alih media bisa memainkan peranan penting dalam penciptaan universum simbolik baru yang lebih kondusif bagi pembentukan masyarakat madani, yang terjadi justru kinerja media partisan, yang memacu fanatisme, dan konflik horisontal. Padahal, fanatisme (sekular atau keagamaan) merupakan musuh sesungguhnya dari masyarakat madani.
Indonesia pascakolonial, dengan demikian, adalah dunia yang rentan dan retak (fractured). Mimpi kebebasan pascakolonial pada kenyataannya sangat rentan terhadap sisa-sisa infeksi dari pengalaman traumatis yang tak terdamaikan, terutama jika hal itu bertemu dengan mismanajemen kekuasaan, yang berkorbankan identitas kultural. Sementara itu, kerentanan juga terjadi antara kemungkinan fajar kebebasan dengan keajekan sumber-sumber ketidakbebasan yang dipacu oleh bentrokan identitas diri. Keretakan tersebut pada dasarnya, seperti dikatakan Lyotard (1992), "lahir sebagai ikhtiar untuk menekan dan melupakan pengalaman masa lalu, dengan cara mengulangi bukan melampauinya." Akibat tidak terlampauinya ingatan ke belakang ini, setiap lompatan besar dalam bidang sosial-politik, di ujungnya selalu berakhir dengan godaan untuk mempolitisasi masa lalu (politicizing the past). Maka jika perilaku politik Indonesia harus dilukiskan dengan nama yang singkat, perilaku itu bernama "regressive politics". Suatu perilaku politik yang perkembangannya tidak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya.
Situasi demikian tidak hanya berlaku di dunia politik, tetapi juga merembes ke dunia keagamaan. Itu wajar saja. Sebab, sekali "langit suci" dilembagakan, ia bukan lagi suatu hipostase yang lepas dari konteks sejarah. Dalam konteks Indonesia, karena agama diperlakukan sebagai sumber identitas diri yang paling dalam. Sedangkan identitas diri merupakan basis utama bagi politik. Maka, masuk akal jika wacana keagamaan menjadi bagian terpenting dari strategi politik. Contoh yang paling mudah diberikan oleh gerakan modernisme Islam. Dalam upayanya memberikan respons terhadap kolonialisme dan lawan-lawan lainnya, gerakan ini mengumandangkan kredo "kembali ke kemurnian" (Al-Quran dan Hadis). Kembali ke kemurnian, dalam kaitan ini, tidak harus berarti ajakan untuk menggali esensi Islam. Tetapi lebih merupakan strategi wacana (politik) untuk menunjukkan batas yang jelas antara wacana lawan-lawannya yang batil dan wacana umatnya sendiri yang hak. Oleh karena itu, hasil akhir dari gerak mundur ke kemurnian ini bukanlah penemuan saripati ajaran Islam dalam relevansinya dengan problem hari ini, tetapi sekadar tindakan deifikasi terhadap fiqih "jenis lain" dengan bertaburkan "kutukan". Tetapi hal yang sama juga dilakukan oleh tradisionalisme Islam. Ide pribumisasi dan pemeliharaan tradisi ahlul sunnah wal jama'ah yang dikembangkan kalangan NU, tidak harus berarti adanya kesungguhan untuk menemukan suatu teologi yang lebih relevan dan empowering dalam konteks komunitas lokal. Tetapi lebih didorong oleh kepentingan untuk mempertahankan privilese kiai lewat pertautan antara penguasaan tradisi dan kekuasaan. Sehingga hasil akhir dari proyek ini bukanlah pemberdayaan umat, melainkan terperangkap pada usaha politisasi tradisi dengan melanggengkan wacana pertentangan dengan kaum modernis. Untuk kedua kasus di atas, pernyataan Clifford Greetz, meskipun terasa menyayat, sangat menarik untuk disimak. "Mencoba mundur ke belakang untuk mengambil ancang-ancang bagi gerak maju ke masa depan adalah lazim dilakukan oleh berbagai masyarakat. Namun dalam kasus masyarakat Islam, gerak mundur ke belakang itu dianggap sebagai kemajuan itu sendiri."
Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, persoalan masa lalu itu mengalami pembusukan tanpa upaya penyembuhan yang berarti. Hal itu terjadi karena dalam kurun panjang modernisasi Indonesia, perubahan sosial melulu diorientasikan pada perkembangan kekuatan produksi dan teknologi, dikesampingkan arti pentingnya proses belajar kolektif dalam dimensi etis-praktis. Akibatnya terjadilah apa yang disebut Ogburn sebagai cultural lag, yakni kesenjangan antara pembangunan fisik dan mental. Sementara pembangunan fisik terus tumbuh, pembangunan sistem solidaritas budaya mengalami stagnasi. Secara umum Indonesia masih merupakan masyarakat komunal, bukan asosiasional. Sistem solidaritas budayanya masih mempertahankan sistem afiliasi primordial (ascribed group affiliation), bukan sistem afiliasi berdasarkan pencapaian prestasi (achieved group affiliation). Asosiasi-asosiasi, yang menjadi syarat perlu bagi pembentukan masyarakat madani, praktis mengalami kelumpuhan. Dengan konsekuensi, bahwa proses belajar sosial (social learning) masyarakat Indonesia lebih banyak melalui saluran komunal ketimbang asosiasional. Akibatnya, produksi universum simbolik, yang menjadi mediasi bagi seluruh tindakan sosial, lebih banyak diproduksi oleh komunalisme, bukan semangat asosiasional yang lebih berorientasi nilai guna. Lumpuhnya asosiasi ini merupakan akibat langsung dari hegemoni negara. Lewat konsep negara korporatisnya, aparatur negara Orde baru melakukan kooptasi terhadap segala bentuk asosiasi dengan risiko terhambatnya proses belajar sosial secara kolektif (collective learning process). Hal ini didukung oleh usaha terus-menerus untuk menetralisir konflik kelas (class conflict), dengan cara mendesakkan suatu "tertib simbolik" (symbolic order) berupa keselarasan, keserasian, dan keseimbangan; atau dinetralisasi lewat imbauan populis (populist appeals); atau direduksi ke dalam perjuangan elitis (elitis struggle). Hasil akhir dari semua tindakan ini adalah terciptanya budaya patologis. Di dalam budaya demikian, asosiasi dan kelas sosial yang semestinya bisa melahirkan universum simbolik baru, sebagai tandingan terhadap simbol-simbol komunal tidak bekerja. Dengan akibat konflik sosial dan pertentangan kelas acapkali disublimasikan ke dalam simbol-simbol pertentangan komunal, yang diwariskan dari pengalaman traumatis masa lalu.
Karena kisah Indonesia secara umum disesaki oleh gambaran patologis nan retak (fracture), maka yang kita perlukan dalam memahami Indonesia bukanlah suatu totalisasi dan sistematisasi teori, tetapi suatu pembacaan simptomatik (symptomatic reading), guna mengungkapkan kisah-kisah tersembunyi di balik setiap ekspresi peristiwa hari ini. Pada titik ini, undangan Foucault terhadap riset "genealogy" terasa relevan. Dalam strategi "genealogi", "tugas metodologi dan teori tak lain adalah untuk menghasilkan persenyawaan antara pengetahuan akademis (erudite knowledge) dengan ingatan lokal, yang memungkinkan kita meraih pengetahuan historis tentang suatu perjuangan dan untuk menggunakan pengetahuan tersebut secara taktis dalam penyelesaian problem hari ini" (Foucault: 1980).
Buku sederhana di hadapan Anda ini, secara tak sengaja, merupakan rintisan awal ke arah riset genealogis. Secara umum, tulisan-tulisan dalam buku ini berusaha untuk memahami problem hari ini dengan cara mencari kaitan-kaitan ke belakang. Sebagai kumpulan karya yang diproduksi selama menjadi mahasiswa S1, tulisan-tulisan dalam buku ini memang dalam banyak hal masih terasa mentah dan naif. Tetapi Sdr. Idi---dengan segala kegigihannya (untuk itu saya berterima kasih)---terus-menerus meyakinkan saya untuk berani menerbitkannya. Ternyata memang, saya tidak perlu terlalu kecewa terhadap apa yang telah dihasilkan di masa lalu. Masa lalu bukanlah "kutukan". Dengan sikap yang lebih arif, ia bisa menjadi bahan pelajaran, sekaligus ukuran bagi gerak maju ke masa depan. Pengalaman buruk bukanlah untuk ditekan dan dimusuhi, tetapi untuk dikenang dan didamaikan.
Daftar Rujukan
Bhabha, H. 1994: The Location of Culture. London: Routledge.
Shils, E. 1972: The Intellectuals and the Powers and Other Essays. London: The University of Chicago Press.
Said, E. 1989: "Representing the Colonized: Anthropology's Interlocutors". Critical Inquiry, vol. 15, no. 2, hlm. 205-25.
Lyotard, J-F. 1992: "The Postmodern Explained to Children: Correspondence 1982-1985", dalam J. Pefanis dan M. Thomas (ed.). Sydney: Power Publications.
Foucault, M. 1980: Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings. New York: Pantheon Random House.
Greetz, C. 1971: Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia. London: The University of Chicago.
Van Neil, R. 1970: The Emergence of the Modern Indonesian Elite. The Hague: W. van Hoeve Publishers Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar