Kamis, 15 Januari 2015

Langit yang Kering dan Bumi yang Karam

Jika ada institusi kebudayaan yang begitu banyak dikeluhkan oleh umat Islam tapi nyaris tidak mendapat tempat dalam agenda pembaruan pemikiran Islam, maka itulah "kesenian".

Ada alasannya tentu. Wacana keagamaan sejak bangkitnya kaum revivalis dan modernis (mulai abad yang lalu), memang telah terfokus pada aspek-aspek eksoteris keagamaan. Penyebabnya, diduga, Islam telah mengalami semacam mekanisme pelarian umat (eskapisme psikologis) yang diakibatkan oleh mimpi buruk masa lalunya.

Dari sinilah kita bisa mengerti, mengapa wacana pembaruan pemikiran Islam sangat bercorak teologis (kalam) dan fiqih sentris. Wacana semacam itu dengan sendirinya kurang memberi ruang apresiasi bagi aspek-aspek esoteris semacam kesenian. Alasannya---sebagaimana diungkapkan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Spiritualitas dan Seni Islam---jelas.

Pertama, tak seorang pun dapat menemukan cikal-bakal seni Islam dalam ilmu pengetahuan yuridis dan teologis. Kedua, risalah-risalah tentang teologi (kalam) atau ilmu-ilmu hukum (fiqih) yang memberikan penjelasan tentang masalah seni dan estetika Islam tidaklah dikenal. Dan terakhir, ketiga, sebagian besar karya agung yang menjadi sumber-sumber rujukan dan revitalisasi seni Islam, diciptakan sebelum ilmu pengetahuan yuridis dan teologis tersebut selesai disusun dan diterima oleh umum (Nasr, 1993, 16).

Singkat kata, upaya untuk memasukkan kesenian dalam agenda pembaruan Islam tidaklah sekadar persoalan teknis dan minat. Tapi, ia memerlukan adanya rekonstruksi paradigma pemikiran Islam: dari Islam eksoteris ke Islam esoteris, dari Islam intelektual ke Islam kontekstual, dan sebagainya.

Untuk itu Nasr menawarkan sebuah paradigma alternatif yang disebut "perenialisme" (tradisionalisme Islam). Nasr yakin, dalam perspektif perenialisme---khususnya pada tingkat transendental, terdapat suatu hakikat kebenaran yang menjadi mata air dari suatu manifes-manifes pemahaman, aliran, dan corak keagamaan yang beragam. Realisasi dan pencapaian terang "kebenaran" itu hanya mungkin dicapai melalui metode-metode, ritus-ritus, simbol-simbol, gambar-gambar, dan sarana-sarana lain yang dikuduskan dan disediakan dalam jantung semua agama dan tradisi. Dengan demikian, wacana keagamaan dalam perenialisme tidak dibatasi pada tingkat eksoteris, tapi juga tingkat esoteris. Perenialisme mencurahkan perhatian pada setiap aspek dari agama: Tuhan dan manusia, wahyu dan seni sakral, simbol-simbol dan gambar-gambar, ritus-ritus dan syariat agama, mistisisme dan etika sosial, metafisika dan teologi (lihat "Filsafat Perenial", dalam Ulumul Quran Vol. III, 1992).

Dalam bingkai filsafat perenial inilah Nasr mencoba memotret masalah seni Islam, dalam buku yang berjudul Spiritualitas dan Seni Islam. Di sini Islam dipandang sebagai hasil dari pengejawantahan Keesaan (Divine Origin) pada bidang keanekaragaman Yang Esa. Ia merupakan kristalisasi ruh dan bentuk ajaran Islam dalam selubung kesempurnaan yang bukan berasal dari dunia perubahan dan kematian. Ia merupakan gema dari dunia lain (al-âkhirah) dalam matriks eksistensi temporal tempat manusia hidup (al-dunyâ).

Karena itu, berbeda dengan filosofi seni kontemporer yang terjebak dalam jaringan historisisme dan penonjolan aspek-aspek lahir dari penampilan kesenian, seni Islam mesti dilacak dan bersandar pada sumber spiritualitas Islam. Ia adalah realitas batin Al-Quran yang juga merupakan realitas spiritual substansi Nabawi yang mengalirkan "barakah Muhammadiyah".

Hikmah Quraniah dan barakah Muhammadiyah inilah yang bertindak sebagai kesadaran religius kolektif dan menjadi benang merah atas seluruh keragaman ekspresi seni Islam. Itulah sebabnya, baik di pelataran Masjid Delhi maupun di Masjid Qarawiyin di Fez atau bahkan di Alhambra, seseorang dapat merasakan kesamaan dalam seluruh bidang artistik dan spiritual. Sekalipun, semua variasi lokal dalam hal materi dan mosaiknya mungkin berbeda-beda.

Kesamaan napas dalam berbagai variasi ini bisa terdiri atas beberapa hal. Pertama, seni Islam itu bersifat tenang, mudah dipahami, terstruktur, dan berkarakter spiritual tinggi, simbolismenya lugas, sehingga mampu menyampaikan esensi Islam melalui cara langsung dan kurang problematis dibandingkan dengan penjelasan ilmiah dan teologis.

Kedua, karena seni Islam keluar dari dimensi batin Islam, maka ia cenderung menuntun manusia masuk ke ruang batin rahim Ilahi. Ketiga, tidak terpisahnya sisi spiritualitas dan intelektualitas dalam seni Islam. Bukanlah suatu kebetulan jika seni Islam mencapai puncak kreativitas dan kesempurnaan dan mewujud dalam kehidupan intelektual---yang juga berarti kehidupan spiritual---tradisi Islam.

Sebaliknya, hubungan kausal ini memberikan alasan untuk memahami hal lain. Yakni, jika terjadi suatu keruntuhan atau kemunduran dimensi spiritual Islam, maka mutu seni Islam juga mengalami kemunduran. Dengan kata lain, hancurnya seni Islam dalam kehidupan modern ini tiada lain karena sisi spiritualitas dan intelektualitas yang memberikan daya hidup seni itu telah diabaikan. Pengabaian ini terjadi karena pengaruh materialisme serta tercerabutnya umat Islam dari akar tradisinya sendiri.

Dengan sudut pandang ini bisa dipahami jika Nasr melancarkan protes terhadap gerakan kaum modernis dan reformis, yang dianggapnya telah berkolaborasi untuk menghancurkan spiritualitas Islam, yang akhirnya membawa pengaruh pada terpuruknya seni dan kebudayaan Islam. Nasr menggambarkan betapa dalam beberapa dekade penyusunan manifestasi dunia industri modern yang begitu buruk mempermudah penghapusan berbagai warisan artistis Islam yang sangat bernilai.

Dari paparan panjang tersebut, terlihat betapa penjelasan Nasr tentang sebab-sebab mundurnya kesenian Islam ini tampak begitu simplistis. Bahkan, di sana-sini, terkesan ahistoris---dengan memandang akar dari semua ini melulu karena mengeringnya langit spiritualitas Islam. Nasr seperti tak mau terusik oleh berbagai determinan sejarah, hubungan-hubungan kekuasaan, serta perubahan-perubahan basis material di mana kesenian itu mengambil lokusnya. Di satu sisi, Nasr melihat bahwa kesenian Islam adalah realitas surgawi yang turun ke bumi. Tapi, nyatanya, bumi dalam kesadaran Nasr adalah bumi yang dikaramkan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar