Senin, 19 Januari 2015

“Quo Vadis” Sarjana Indonesia?

Adalah tidak benar stereotype yang beranggapan bahwa para sarjana Indonesia selama ini hanya pandai dalam level teoretis, namun tidak menguasai keterampilan praktis. Kenyataan yang sesungguhnya justru lebih memprihatinkan. Kebanyakan mereka justru tidak mengenal kedua-duanya---miskin teori dan tidak cakap dalam praktik.

Pada batas-batas tertentu, istilah sarjana tidak siap pakai (tidak menguasai hal praktis) sesungguhnya masih bisa ditoleransi. Hal ini mengingat pembawaan dan ciri khas ilmu itu sendiri. Bahasa ilmu adalah bahasa artifisial yang tidak menyerap langsung realitas sesungguhnya. Dalam artian bahwa untuk menjangkau realitas objektif, ilmu perlu mengalami transformasi ke arah diagnostik.

Dalam hal ini, para calon sarjana harus beranjak ke laboratorium, lapangan, dan lembaga-lembaga latihan kerja, untuk melakukan investigasi dan praktik medan. Bila dana universitas menjadi macet, dan tali hubungan dengan balai-balai latihan kerja menjadi mampet, maka mafhumlah semua orang mengapa sarjana kita tidak siap pakai. Akan tetapi, jika terbukti mereka pun tidak menguasai kepandaian teoretis, ini namanya baru “keterlaluan”. Hal mana menunjukkan betapa rikuhnya sikap makhluk yang nota bene jebolan “masyarakat ilmiah” ini.

Produk Masyarakat

Berbicara tentang profil sarjana Indonesia (output Perguruan Tinggi/PT), tidaklah mungkin tercerabut dari penghampiran terhadap input dan through put (proses) yang terjadi. Malahan, kedua hal yang terakhir itulah yang menentukan mentah dan matangnya mutu kesarjanaan.

Dengan begitu, akan berjumpalah kita dengan sentilan seperti yang pernah dilontarkan oleh Prof. Djojodiguno, yang mengatakan, “Bocah Indonesia sejak bayi tidak pernah dididik untuk bertanya, sehingga sampai sarjana pun tak pernah memiliki rasa heran (rasa ingin tahu) juga. Padahal, witing pinter jalaran gumun (heran itu pangkal pandai).”

Dengan ungkapan yang berbeda, Zoet Mulder juga sempat menyinggung dasar moral masyarakat kita. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat agraris, dan kebudayaan kita juga dikenal sebagai kebudayaan agraris. Ini berarti, bahwa mayoritas penduduk kita adalah para petani yang tinggal di pedesaan. Namun demikian, antara desa dan kota punya hubungan yang erat. Mayoritas penduduk kota pun adalah keturunan orang-orang desa. Maka tidak heran jika gaya hidup di kota pun mencerminkan dengan kuat sikap dan perilaku pedesaan.

Salah satu nilai sosial yang dijunjung tinggi dalam pergaulan sosial kemasyarakatan adalah menjaga keselarasan dan keseimbangan. Sedangkan status sosial yang memuat aroma feodalisme seperti yang dimitoskan lewat “harta dan kuasa” adalah kejaran dan impian mereka.

Demikianlah, di rumah, anak-anak kecil dilatih untuk mendengarkan dengan tenang segala pembicaraan orangtua. Komentar baru dikemukakan jika memang diharapkan. Itu pun mesti diperhatikan aturan mainnya berdasarkan tempat dan suasana. Pedoman umum, jangan menampakkan bahwa kamu “maido ka kolot” (bersikap skeptis kepada orangtua).

Di lingkungan upacara birokrasi Orde baru, pidato para pejabat selalu disambut dengan sumuhun oleh hadirin, mesti mereka tak tahu seluk-beluk perkaranya. Hadirin menghormati pemimpinnya dengan persetujuan lebih sebagai pernyataan kesopanan.

Tak jauh berbeda dengan pengalaman di lingkungan sekolah menengah. Terlalu banyak buku pelajaran yang disusun berupa tanya jawab atau ikhtisarnya saja dengan dalih untuk memudahkan murid menempuh ujian---tidak peduli bahwa hal itu tidak merangsang daya lacak dan daya pikir.

Belum cukup sampai di situ, setamat mereka dari sekolah menengah atas, anak-anak telah diarahkan (baca: dirayu) oleh orangtua mereka untuk memilih jurusan-jurusan yang lebih “menjanjikan” di hari esok.

Meskipun, tentu saja, panorama tersebut dicuatkan dalam kerangka generalisasi, tapi cukuplah sekadar untuk melukiskan kelaziman input perguruan tinggi sekarang ini. Bahwa mahasiswa sebagai produk masyarakat tidak selalu runtut (synchron) dengan tuntutan PT---yang menuntut terbinanya sikap kritis, kreatif dan mandiri.

Kampus Tanpa Tradisi Ilmiah

Prakondisi calon mahasiswa seperti yang diutarakan tadi, dipersuram lagi dengan iklim pendidikan tinggi kita yang tidak kondusif.

Perguruan tinggi kita sebagaimana galibnya perguruan tinggi di Dunia Ketiga pada kenyataannya, masih terus melanjutkan dan mempertahankan perilaku fetish-feudalism lama (untuk meminjam istilah Ivan Illich). Meski pola akses ke PT telah bergeser dari jurus askriptif (keturunan) menuju meritokratis (kemampuan). Akan tetapi, kecenderungan ke arah elitis dan feodalistis masih terus bergaung.

Ini terbukti, tujuan pertama-tama para mahasiswa memasuki jenjang pendidikan tinggi bukanlah untuk memburu ilmu ataupun mengasah pisau analisis, melainkan mengejar gelar dan ijazah sebagai legitimasi dan prasyarat dalam ikhtiar memperlicin jalan memperoleh lapangan kerja yang menggiurkan.

Demikianlah, para pelajar berbondong-bondong memasuki Fakultas Sastra (khususnya untuk jurusan-jurusan berbahasa asing), misalnya, bukan karena terbentuk pada bidang kajian sastra atau ingin menjadi sastrawan, melainkan tergoda oleh kemungkinan memperoleh pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing yang menawarkan gaji yang aduhai. Dari sini juga bisa dipahami apa sebab fakultas-fakultas eksakta lebih populer ketimbang fakultas-fakultas lainnya---“gets a good salary”, itulah jampinya. Dan, ini pula pokok persoalan mengapa perbedaan prinsipil antara universitas, institut, dan akademi di negeri kita ini menjadi kabur dan ngawur.

Orientasi mahasiswa ke arah lapangan kerja dan status, memang bukanlah suatu dosa, apalagi jika disertai prestasi yang memadai. Namun, ironinya, justru galibnya sekarang ini tanpa didukung bekal pengetahuan dan pendidikan tinggi yang mantap. Yang lebih memprihatinkan lagi, kesilauan terhadap “hantu status” ini telah banyak melahirkan para mahasiswa oportunis. Segalanya bisa diatur---yang penting bisa ikut ujian, nilai bagus, tidak membuat keresahan, apalagi menyangkal kehendak dosen, itu bisa celaka dua belas. Adegan-adegan seperti nodong, titip tanda tangan, “memelihara hubungan baik”, skripsi aspal (asli tapi palsu), itulah jalan pintas yang acap kali mereka peragakan di pentas kampus republik yang bertaburkan “kepalsuan ilmiah”.

Atmosfer serupa ini, diperburuk lagi dengan dinamika lembaga-lembaga kemahasiswaan yang cenderung a-politis dan involutif. Aktivitas kemahasiswaan sering kali melingkar-lingkar, berubah-ubah bentuk tanpa kedalaman, terjebak ke dalam rutinitas, dan nyaris tanpa tujuan yang pasti. Oleh karenanya, mana mungkin bisa merangsang para mahasiswa untuk menumbuhkan jelajah nalar, dan mengembangkan sikap ilmiah?

Di pihak lain, aksi-aksi yang dipertontonkan oleh para dosen pun pada umumnya tidak lebih menggembirakan kalau tidak boleh dibilang merisaukan. Komoditisasi keilmuan, dinamika patron-client dan unjuk kemaksuman (baca: keserbabenaran) lewat kekuasaan keahlian (expert power) sering kali dipertunjukkan. Sebutan-sebutan seperti “dosen killer”, “dosen Dji Sam Soe”, dan “dosen adiluhung” acap kali terdengar. Ada kalanya seorang dosen memberikan tugas kepada para mahasiswanya yang sama sekali tidak puguh ke mana relevansinya. Misalnya saja, tugas menerjemahkan text-book berbahasa Inggris seminggu menjelang ujian---yang jelas-jelas bukan bahan ujian dan tidak akan sempat dibaca oleh para mahasiswanya.

Pada kesempitan lain, bersikap kritis terhadap kuliah dosen yang ekspresinya berupa “kebinalan” untuk bertanya atau menyanggah sering kali membuat dosen naik pitam dan panik, meski tak perlu dilengkapi dengan main pukul atau tusuk. Kuliah itu “nyiar elmu”, menimba pengetahuan. Sumur makin banyak ditimba makin bersih airnya; dosen universitas makin banyak diikuti kuliahnya makin ampuh. Tapi, cobalah lihat, kalau sang dosen diganggu, misalnya, memotong pembicaraannya, suasana kelas dapat keruh seperti sumur yang sedang dikuras. Sebuah cermin feodalisme dalam dunia pendidikan.

Belum lagi kalau bicara masalah kualitas “dosen diktat”---yang pengetahuannya dari masa ke masa relatif ajek. Belum pula jika disinggung masalah inkonsistensi disiplin dan kekakuan birokratisasi kampus yang kian mencengkam. Semakin ragulah kita, bagaimana mungkin dalam iklim hidup yang seperti ini bisa tumbuh dan berkembang para sarjana yang sujana---yang tidak hanya committed terhadap cita-cita (devotee of ideas) melainkan juga mengabdi kepada pengetahuan (devotee of knowledge), atau seperti kata Julien Benda, “sebagai insan-insan (sarjana) penjaga sikap kritis, keadilan, kebenaran, dan rasio.”

Oleh karena itu, sesungguhnya “masyarakat ilmiah” itu sebenarnya masih amat asing bagi kita. Sikap ilmiah membawa kita ke alam ontologis, kritis, dan egaliter. Sementara itu, alam pikiran para calon sarjana kita masih tetap primitif (tidak akrab dengan bacaan), mistis, dan feodalistis. Padahal, “the true university of this day is a collection of books,” begitu kata Thomas Carlyle.

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Bagaimanapun, memperbincangkan masalah mutu sarjana kita dalam suasana yang muram seperti saat ini tampaknya lebih mengasyikkan lewat “bahasa kegagalan”. Paling sedikit untuk tidak meninabobokan ketidakpekaan kita terhadap tantangan sosioteknologi abad ke-21.

Apa hendak dikata, “Nasi sudah menjadi bubur”, teringat ujar rekan-rekan saya dulu. Kepincangan dan kedodoran mutu sarjana kita tidak bisa ditolong lagi. Sahut saya: Kepincangan itu masih bisa diperbaiki, karena bubur pun bisa diberi santan dan gula. Lantas, bagaimana terapi dan jalan keluar untuk meningkatkan mutu kesarjanaan kita kini dan di masa datang, semuanya akan tetap menjadi bahan perbincangan yang tak kan pernah kering. Cuma, quo vadis?[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar