Rabu, 14 Januari 2015

Antara Memeluk dan Dipeluk Agama

Mengaku memeluk agama tentu telah menjadi klaim kita hari-hari. Tapi apa benar sikap keberagamaan kita termasuk kategori "memeluk" agama---atau jangan-jangan justru "dipeluk" agama, tidak pernah mengusik daya kritis kita.

Adalah Clifford Geertz yang mempertanyakan ini dalam bukunya Islam yang Saya Amati. Bagi Geertz, sikap "memeluk agama" (religious mindedness) ditandai oleh kecenderungan untuk ragu terhadap kekuatan dan kemampuan mengikat agama. Atau sikap membuat jarak dari keyakinan agamanya, dalam arti ia tak lagi tenggelam dalam kerutinan agama, tapi aktif mempertanyakan ajaran yang kebenarannya diterima secara apriori. Sebaliknya, sikap "dipeluk agama" (religiousness) tampak ketika orang menenggelamkan dirinya dalam pelukan agama. Di mana, setiap postulat dan doktrin keagamaan diterima begitu saja tanpa kesangsian, atau kalaupun ragu, secara sukarela segera dimatikan karena daya cernanya yang menakutkan.

Di antara kedua sikap itu, manakah sikap beragama yang paling tepat? Ini jelas pertanyaan konyol. Seperti diutarakan nanti, masalahnya bukanlah yang mana, melainkan bilamana dan di mana. Karena itu, keduanya bisa jadi benar, tapi bisa juga salah. Dengan kata lain, kedua-duanya sama-sama tidak lengkap.

Yang menarik dicermati sekarang adalah bahwa kedua sikap itu memperoleh lokusnya sendiri-sendiri dan membentuk trend keberagamaan di kalangan umat. Gejala memeluk agama memperoleh tempatnya terutama di lingkungan cendekiawan Islam atau kelompok yang disebut dengan kalangan pembaru pemikiran Islam. Sementara kecenderungan dipeluk agama subur di kalangan pemuka tradisional beserta masyarakat kebanyakan. Selanjutnya, pertarungan memperebutkan mana yang paling benar di antara kedua "pengikut" itu membentuk gelombang pengutukan dan penegasian satu sama lain.

***

Masalahnya, kekuatan sekaligus kelemahan para pengikut mazhab pertama terletak pada kepercayaan berlebihan akan kemampuan rasio sebagai sarana paling menentukan untuk bisa beragama secara benar. Sementara rasio yang mereka kembangkan umumnya hanyalah rasio teknis-positivistis yang telah teralienasi dan tersusutkan. Dengan jenis rasio yang mereka anut ini, problem keagamaan di kalangan para pembaru Islam ini adalah problem mereka yang telah terlalu "cerdas". Atau meminjam ungkapan Alexis Carrel, akal mereka telah begitu kuat, namun hati mereka tetap saja lemah. Padahal sebagian besar malapetaka dunia terjadi justru akibat menguatnya akal dan melemahnya hati.

Dengan akal yang demikian cerdas itu, maka mereka lebih cenderung memilih posisi sebagai "pembicara", bahkan terhadap Tuhan sekalipun. Ini tampak bukan saja dari hobinya sebagai komunikator, tapi juga pada metode tafsir yang mereka kembangkan. Cara menginterpretasikan teks Al-Quran dan Sunnah Nabi misalnya, mereka kerap kali cenderung insegesis (memaksakan makna terhadap teks) bukannya eksegesis (mengeluarkan makna dari teks). Mereka lupa bahwa arti ijtihad di dalam Islam itu bukannya mencari akal untuk sesuatu yang tak ada dalam Al-Quran dan Sunnah, melainkan juga meng-ikhrâj-kan (mengeluarkan) sesuatu yang tersembunyi di balik abstraksi-abstraksi teks.

Memang ada persepsi subjektif yang terlibat di dalamnya. Tapi harus diingat medan semantik dan konteks historis Al-Quran telah demikian spesifik untuk menjaga kemungkinan penafsiran terlampau "bebas". Jika penafsiran terlalu "bebas", yang terjadi malah kita menggurui Ilahi. Kelemahan mereka berikutnya adalah terlalu banyak bicara. Ini menjadikan mereka kehilangan salah satu pilar utamanya sebagai cendekiawan, yakni kemampuan dan kesediaan mendengar. Bukankah dalam Surah Al-Zumar ayat 18 dikatakan bahwa salah satu ciri kaum cendekiawan (ulul albab) itu adalah kesiapannya untuk aktif mendengar?

Hilangnya kemampuan ini membuat mereka kurang peka terhadap suara-suara dan aspirasi umat. Akibatnya, produk-produk pemikiran yang mereka hasilkan kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Mengikuti bahasa teknoekonomi, produk-produk yang mereka luncurkan hanyalah hasil-hasil penelitian dasar yang berbunga-bunga tapi tidak marketable dan tak sesuai pasar. Memang ada istilah science and technology push (dorongan sains dan teknologi) di mana logika kebutuhan tak selamanya berasal dari market full tapi bisa juga didorong oleh hasil-hasil temuan iptek. Tapi, perlu diingat, kondisi ini pun baru bisa terjadi manakala infrastruktur dan kapabilitas pasar telah mencapai tingkat kematangan tertentu untuk bisa mengadopsinya. Di sini memang ada hal yang sangat ironis. Tatkala produk-produk pemikiran di berbagai bidang diharapkan lebih bisa go public, alias sesuai permintaan pasar, pemikiran-pemikiran keagamaan yang diluncurkan para cendekiawan Islam justru makin sulit dimengerti dan teralienasi dari kebutuhan masyarakat.

***

Sementara itu, di sisi lain, kita pergoki sebagian umat yang berada dalam kungkungan magis (mitis)---masih memandang agama sebagai sesuatu yang ekstrinsik. Seolah-olah sebagai perpanjangan dari imperium "dunia sana", yang segalanya harus diterima secara sami'nâ wa atha'nâ (kami dengar dan kami taat). Dalam arti ini, pengalaman keagamaan bukanlah lahir karena tuntunan intrinsik, atau pengalaman kreatif manusia dalam rangka mencapai insan kamil, melainkan karena takut akan hukuman dari kekuasaan yang menguasai dirinya. Di sini jelas bahwa agama diposisikan sebagai kolonial yang terus menerus mengkolonisasikan medan kesadaran para pelakunya. Maka tak terelakkan, pengalaman keagamaan seperti ini membuat para penganut agama teralienasi dari agamanya sendiri, yang berarti juga teralienasi dari kehidupannya sendiri. Secara demikian, bisa dimengerti, semakin dalam orang menenggelamkan dirinya ke dalam dekapan agama, semakin jauh orang itu terasing dari Tuhan dan dari dirinya sendiri. Kalau toh mereka mengerjakan petunjuk-petunjuk agama, itu lebih karena takut akan dosa, bukan karena pengetahuan, kesadaran, dan cinta.

Padahal seperti yang pernah dikatakan Iqbal, di dalam pengalaman keagamaan, perjumpaan manusia dengan Tuhannya, bukanlah merupakan perjumpaan budak dengan majikannya melainkan seperti perjumpaan seorang kekasih dengan pengasihnya. Beribadat dalam posisi dan kesadaran budak, membuat manusia tak bebas berkomunikasi dengan Tuhannya. Karena itu, ibadat seperti itu tidak autentik dan kosong dari moralitas, yang pada gilirannya akan bermuara pada kematian cinta. Sedangkan ibadat dalam kesadaran para "pecinta", tidaklah semata-mata kehendak Ilahi, tetapi juga secara aktif berusaha memahami, mencerap, dan menyebarkan sifat-sifat (cinta) Tuhan dalam realitas sejarah. Dengan begitu, dalam peribadatan secara "cinta", orang terus-menerus berada dalam situasi dialogis, antara upaya untuk mensubjektifkan (mentransendensikan) segala objek ke haribaan Sang Maha Pencinta dengan usaha untuk mengobjektifkan segala pengalaman subjektif (perjumpaan dengan Sang Maha Pencinta) dalam kehidupan konkret.

Dalam pemahaman ini, kecenderungan anak-anak muda perkotaan yang lari ke jalan "sufi", dengan menenggelamkan dirinya melulu dalam riyâdhah-riyâdhah pezikiran (romantisme spiritual) pun sebenarnya berada di luar orbit kesadaran cinta. Sekurang-kurangnya, cinta mereka mandul karena hanya terpancar ke "atas", namun tidak tersebar "ke kanan dan ke kiri". Oleh karena itu, hal ini lebih tepat dikatakan sebagai eskapisme psikologis dari kecemasan dan ketakutan yang sama seperti kalangan tradisionalis, cuma sumbernya yang berbeda. Jika yang pertama sumber ketakutannya berasal dari hukuman Tuhan, maka yang terakhir ini bersumber dari keras dan ganasnya roda dunia. Sungguh pun demikian, masih ada yang patut dihargai dari kelompok kedua ini, yakni fanatisme dan gairah keagamaan. Suatu hal yang kurang tercermin dari kalangan cendekiawan Islam.

***

Kenyataan itu adalah dua posisi ekstrem dalam sikap keberagamaan yang dipandang secara hitam putih. Deskripsi semacam itu sengaja dipilih sekadar untuk mengingatkan bahwa agama itu bukan hanya "a matter of contemplation" (masalah perenungan) tapi juga "a matter of enjoyment" (masalah penikmatan). Karena itu, sumber vitalisasi agama terletak pada dua fakultas akal dan hati, kreativitas dan cinta, pikir dan zikir.

Berdasarkan hal itu, ada bagian di dalam agama di mana akal harus terus-menerus mensubversi warisan-warisan pemahaman. Tetapi pada bagian yang lain, adakalanya yang harus lebih dikedepankan bukanlah pisau pemahaman melainkan ketulusan penghayatan. Seperti halnya dalam berhubungan dengan kekasih: ada saatnya di mana kita ingin 'memeluk' erat-erat, namun pada saat yang lain kita pun merasa rindu untuk "dipeluknya" hangat-hangat.

Karena itu, antara memeluk dan dipeluk agama ini adalah dua hal yang saling melengkapi. Tinggal masalahnya, kapan bisa dipeluk. Guru terbaiknya adalah pengalaman dan kearifan. Untuk sampai pada taraf itu, tugas kita adalah membangun apa yang disebut Gabriel Marcel dengan "komunion"---membuka diri penuh cinta untuk yang lain. Menyiapkan diri untuk memeluk dan dipeluk.

Tanpa penggabungan antara kedua sikap ini, praktis keagamaan kita benar-benar akan bersifat agamis (agamic). Yang dalam kamus bahasa Inggris berarti, impotensia. Wallâhu a'lam bish-shawâb![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar