Teologi macam apakah yang mampu mengeluarkan umat Islam dari sirkuit kemelut yang berlarut-larut itu? Ternyata tidak ditemukan jawaban yang seragam. Ini wajar-wajar saja karena titik berdiri dan sudut pandang mereka berbeda-beda. Tentu saja paradigma pemikiran Islam (teologi) yang dihasilkannya pun berbeda-beda. Berikut ini kita akan menjelajahi aneka alam paradigma pemikiran Islam yang berkembang di lingkungan intelektual Islam.
Paradigma di Langit Jingga
Jika kita mempersilakan Moeslim Abdurrahman untuk berbicara mengenai hal ini, maka sekurang-kurangnya kita akan diperkenalkan dengan tiga paradigma dominan Islam yang berkembang selama ini. Yakni paradigma “modernisasi Islam”, “Islamisasi”, dan “teologi transformatif” (sosialisme demokrasi Islam).Kalangan “modernisasi Islam” percaya bahwa masalah keterbelakangan umat Islam sekarang ini terutama disebabkan oleh kepicikan berpikir, kebodohan, dan ketertutupan mereka dalam memahami ajaran agamanya sendiri, sehingga terus-menerus tertinggal oleh kemajuan yang telah dicapai Barat. Sebagai jawaban atas keprihatinan ini kalangan “modernisasi Islam”, cenderung melakukan liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman, tanpa harus meninggalkan sikap krits terhadap unsur negatif dari proses modernisasi.
Selanjutnya, tesis utama bagi kalangan ini adalah bagaimana dengan tradisi “teks” mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Maka dari itu, kalangan ini tampak lebih menampilkan kelenturan dan keterbukaan dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah.
Sosok pemikiran seperti itu, berlainan sekali dengan tesis yang dimunculkan oleh kalangan “Islamisasi”. Bagi kalangan kedua ini, jalan keluarnya justru bagaimana menggali teks dalam rangka mengendalikan perubahan sosial. Keyakinan serupa itu lahir dari keyakinan bahwa Barat telah merasuki peradaban kaum Muslim dengan sifatnya yang dekaden terhadap agama. Modernisasi, menurut mereka, pada dasarnya adalah peradaban Barat yang macet karena materialistis dan tidak menjanjikan masa depan agama.
Oleh karena itu, Islam harus mencari alternatif terhadap sekularisme dan ideologi Barat yang tidak manusiawi. Yaitu dengan membangun norma-norma Islam dengan segala aspek kehidupan, hingga ditemukan corak yang lebih "khas Islam”.
Kecenderungan seperti itulah tampaknya yang mendorong wataknya menjadi sangat totalistis. Dalam segala bidang kehidupan harus diresapi dengan norma Islam. Hatta, tak ada ruang kosong untuk menerima kenyataan yang bersifat partikularistis oleh paradigma ini.
Paradigma “modernisasi” yang berusaha melakukan penyesuaian antara idiom-idiom agama dengan perubahan sosial, dan paradigma “Islamisasi” yang bersikeras melakukan ayatisasi-formalistis, tidak menjamin terciptanya keadilan sosial serta kurang mencerminkan hubungan dialektis dengan realitas empiris untuk menyusun konsep Islam yang lebih operasional.
Sebagai kritik terhadap kekurangan itu, tampillah paradigma “teologi transformatif”. Menurut kalangan ini, realitas perlu ada terlebih dahulu. Kemudian dibaca dari kacamata Islam sambil dicari praksisnya. Jadi ada hubungan dialektis antara ideal-ideal Islam dengan realitas konkret. Sintetisnya adalah mengubah fakta itu sesuai cita-cita Islam. Singkat madah, substansi pemikiran “teologi transformatif" tidak bersifat ortodoksi tetapi selalu terkait dengan ortopraksis: berwatak fasilitatif dalam arti memberikan fasilitas sebagai kerangka bacaan dalam melihat realita, lebih mementingkan "isi" daripada wadag agama.
Akan tetapi---sebagaimana akan kita lihat nanti---betapapun menggebu-gebunya semangat empirisme para pendukung paradigma pemikiran Islam lainnya, tetap saja gagasan brilian yang mereka hasilkan masih berkutat pada kemilau langit jingga konseptual dan belum mendarat di kekumuhan bumi sosial.
Intelektual Islam di Jalan Sunyi
Kebanyakan aktivis pembaruan pemikiran Islam sekarang ini adalah para intelektual yang masih mempunyai keterkaitan dengan akar budaya Islam tradisional. Pada umumnya mereka adalah anak-anak kaum santri (kiai) yang dilahirkan di pedesaan dengan kehadiran lembaga pesantren di situ. Atau, kalaupun ada yang lahir dan dibesarkan di kota, silsilah keturunan masih bisa dilacak hingga ke seorang kiai di pedesaan.Akan tetapi, menyimpang dari mainstream leluhurnya, setelah terbekali dasar-dasar pengetahuan agama, mereka tidak terus membenamkan dirinya di lingkungan pesantren, melainkan lebih tergiur untuk memasuki dunia pendidikan formal (sekular). Akhirnya sampailah mereka ke keberhasilan mengecap bangku pendidikan tinggi, bahkan tak jarang yang mampu meraih gelar doktor baik di dalam maupun di luar negeri.
Di dalam lingkungan lembaga pendidikan tinggi sekular inilah postulat-postulat pemikiran Islam konvensional yang mereka bawa bergumul dengan arus deras pemikiran sains dan teknologi modern yang bercorak empiris-rasional. Hal ini lambat-laun menenggelamkan mereka ke dalam barisan penganut sistematika berpikir dan cara kerja saintis-teknologis. Sementara itu, watak perguruan tinggi sekular (Dunia Ketiga) yang bersifat elitis dan urban ternyata membawa pengaruh sendiri terhadap ambisi, cara pandang dan pola-pola perilaku yang mereka anut.
Perlahan-lahan tapi pasti, sejarah “kedesaan” yang melekat pada mereka, terbenam dibelam teori-teori ilmu pengetahuan, citra profesional, lingkungan pergaualan kelas menengah terpelajar. Sekarang, tiada lagi kesempatan bagi mereka untuk dapat mengaji bersama masyarakat kecil, berkomunikasi secara hangat dengan kaum buruh dan petani, atau rela berceramah di suaru-surau. Perhatiannya telah berpaling langsung pada golongan yang mereka rasakan memiliki dasar isomorphism yang sejajar dengan mereka: kelas menengah dan terpelajar. Sesekali memang ada upaya mereka untuk mencoba berjumpa dengan lapisan bawah. Namun sayang, kedatangannya itu lebih sebagai “turisme Intelektual”, yang membawa teori-teori ilmu pengetahuan dan bom kritik yang dikemas dalam berbagai “bahasa-bahasa planet” hingga tak “berbicara” apa pun kepada masyarakat, kecuali kian memojokkan dan menambah kesakitan-kesakitan mereka.
Keterasingan mereka dari masyarakat banyak sebenarnya bukan tak bisa diterobos jika mereka mau menceburkan dirinya ke dalam organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan, misalnya. Organisasi-organisasi serupa itu telah terbukti di dalam sejarah, dan telah digunakan oleh para pendahulu mereka sebagai jalan pintas yang baik untuk bersentuhan dengan “akar rumput”.
Akan tetapi, malangnya, hegemoni negara yang kian mencengkeram selama tiga dasawarsa terakhir ini, telah melumpuhkan hampir semua organisasi politik dan organisasi keagamaan Islam, yang pada gilirannya menghalangi minat dan keleluasaan intelektual Islam untuk bergerak dan mengartikulasikan aspirasi-aspirasi keislamannya melalui organisasi-organisasi tadi. Akibatnya, sebagian besar mereka menarik diri dari afiliasinya terhadap organisasi mapan itu, lalu memilih hidup di jalan yang semakin sepi. Sedangkan sisanya yang masih bertahan tinggal di kegaduhan organisasi, sikapnya menjadi begitu konformistis atau reaksioner sama sekali.
Di jalan yang semakin sepi itu, praktik inteligensia yang mereka asuh lebih berupa inteligensia konseptual ketimbang inteligensia sosial. Sedangkan kreativitas yang dihasilkannya juga lebih bercorak kreativitas konseptual daripada kreativitas sosial. Maka, tak heran, kalau sebelumnya menjelang muktamar NU yang silam, Nurcholish Madjid pernah menilai sosok semacam Abdurrahman Wahid sebagai a man of ideas ketimbang a man of action. Tidakkah hal itu merupakan kecenderungan umum yang melanda intelektual Islam kita saat ini?
Itulah sebabnya, mengapa pembaruan pemikiran Islam sekarang ini cenderung mengarah pada gejala involutif. Suatu sosok pemikiran yang melingkar-lingkar di dalam lingkungannya sendiri, tanpa terdapat upaya untuk menerobos keluar batas-batas lingkungannya yang sepi itu, hingga bisa disosialisasikan kepada masyarakat, yang akhirnya dijadikan rujukan bagi usaha-usaha transformasi yang mereka lakukan.
Alih-alih melakukan terobosan ke luar lingkungannya, mereka malah secara tak sadar telah terperosok ke dalam pembentukan sekte-sekte (kubu-kubu) kecil di lingkungannya sendiri yang dipertautkan oleh paradigma pemikirannya masing-masing. Di situlah ironinya. Justru di tengah-tengah riuhnya seruan mereka untuk menanggalkan fanatisme sektarian, mereka sendiri malah menciptakan sekte baru yang tak kalah kronisnya.
Barangkali, sekarang sudah terlihat jelas kekuarangan dan kelebihan serta problematik-problematik keislaman di kalangan kedua kubu tadi (kiai dan intelektual). Keunggulan kiai adalah kemampuannya untuk “hadir” di tengah-tengah masyarakat luas, mampu mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran keislamannya dalam bahasa jelata, serta sanggup membangun kekuatan jamaah yang real dan kohesif. Tetapi sayangnya belum diperlengkapi dengan perangkat teologi yang lebih transformatif. Kebalikan dari itu, kaum intelektual berhasil menampilkan teologi yang lebih maju dan adekuat, tetapi, malangnya, tidak didukung kemampuan-kemampuan seperti yang dimiliki oleh para kiai. Tampaknya, kedua kekuatan ini harus mulai melakukan sinergi untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu.
Ketimpangan seperti yang telah disinggung di atas tampaknya yang membuat realitas umat Islam Indonesia secara keseluruhan tetap berada dalam belenggu kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Melihat kenyataan begitu, betapapun optimisnya harapan orang akan peranan yang dimainkan oleh kaum intelektual, tetap saja keberadaannya belum mencerminkan kekuatan transformatif. Agaknya, tidak terlampau berlebihan, jika dikatakan bahwa pembaruan-pembaruan yang mereka lakukan hanyalah pembaruan keterbelakangan. Wallâhu a’lam bish-shawâb![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar