Senin, 12 Januari 2015

Menuju Transformasi Seni Islam

Selepas menikmati presentasi "dakwah gerak"-nya Roy Julius Tobing, di Masjid Universitas Padjadjaran yang tampil pada penghujung 1990 silam, saya sempat berkata kepada Sis Triaji: "Pada waktunya nanti, orang akan memandang kesenian Islam itu identik dengan kesenian yang 'sehat', dan kesenian yang 'sehat' itu ya yang Islami."

Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar klaim idealisasi Islam secara semena-mena, tapi sebaliknya, suatu impian akan Islam ideal baru akan tercapai manakala Islam juga mampu mengkristalisasikan dirinya ke dalam manifes kesenian.

Alasannya sederhana saja, dengan sedikit merenung akan segera kita pergoki bahwa yang namanya Islam itu sesungguhnya kata lain dari ideal-ideal "kebenaran, kebaikan, dan keindahan." Dari jurus ini dapatlah dikatakan bahwa perjuangan kesenian juga berarti perjuangan Islam dan perjuangan Islam mau tidak mau mesti mengambil tempat dalam kancah kesenian.

Hal ini berarti upaya melakukan Islamisasi kesenian bukan melulu dengan cara menonjok ke "luar", menghakimi para seniman dan produk kesenian dengan norma "halal-haram", tapi juga berarti mengiris ke "dalam", di mana Islam sendiri (baca: pemuka agama) mesti melakukan kritik intrasubjektif, mengusik teologi konvensional yang lembam dan kasep, serta berikhtiar memperluas visi keagamaannya melampaui sekat-sekat dan batas-batas konvensional, sehingga mampu menawarkan kekayaan konsepsi alternatif Islam dalam dunia kesenian.

Bila saat ini kesenian Islam masih pekat dengan nuansa Arabisme dan monotonnya ayatisasi formalistik, saya kira wajar-wajar saja bagi sebuah proses transisional yang harus dilalui. Malahan, terdapat alasan yang kuat untuk memberi profil kesenian Islami serupa itu sebagai profil sementara yang ideal, setidak-tidaknya sebagai pelabuhan transit yang memberi kesempatan kepada para seniman di satu pihak dengan para ulama dan kerabatnya di pihak lain untuk saling menengok, saling pengertian, saling tawar-menawar dan saling berbagi sebelum melanjutkan perjalanan lebih lanjut menuju terminal ideal.

Maklumlah, kedua belah pihak ini dalam kurun waktu yang teramat panjang saling terkungkung dalam kutubnya sendiri-sendiri dengan segala keburukan yang menyertainya. Di satu sisi, tanpa dimensi keindahan (kesenian), agama menjadi kehilangan sarana yang kuat dan ampuh dalam mengungkapkan "seruan" dan pengaruhnya.

Seperti yang biasa kita rasakan dari penampilan agama selama ini, betapa ekspresinya telah kehilangan daya tarik dan efektivitasnya dalam menggerakkan masyarakat. Agama---meminjam istilah Ali Syari'ati---telah menjadi seperti baju yang dikenakan terbalik. Perhatikanlah program radio dan televisi. Begitu program ditujukan untuk bidang keagamaan, keindahan dan daya tariknya hilang dan kita hanya bisa menerimanya demi mengharapkan rahmat di akhirat kelak.

Sedangkan di sisi lain, tanpa bimbingan agama, kesenian hanyalah kesenangan-kesenangan palsu yang menipu pikiran dan perasaan, serta melumpuhkan elan vital masyarakat. Lebih jauh lagi, keterpisahan antara dua kutub ini telah membuat seni menjadi sesuatu yang absurd sedangkan agama kehilangan harmoninya; seni menjadi tak bermakna dan tak bertujuan, sementara agama kehilangan kasihnya. Akhirnya seni menjadi rusak dan agama pun menjadi mandul.

Bila keterpisahan antara dua kutub tadi membawa malapetaka bagi sejarah kehidupan umat manusia, maka kerja sama dan percintaan antara keduanya---jika dilakukan secara proporsional---niscaya akan melahirkan keuntungan-keuntungan multidimensional. Sebagai kalangan yang terlibat erat dengan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan---yang merupakan basis massa kuat di grass root---para ulama akan memberi keuntungan ganda kepada para seniman; selain berupa kontribusi ide-ide kesenian yang kaya dan genuine, juga berupa pemberian legitimasi bagi sosialisasi kesenian serta perluasan horizon konsumen. Sehingga para seniman akan memperoleh saluran alternatif yang bisa mengatasi kemacetan dan ketersumbatan saluran pemasaran produk-produk kesenian yang bermutu seperti yang sering terjadi selama ini.

Di samping itu, sebagai pasangan yang piawai mengemas pesan-pesan (message) ke dalam "bahasa pengucapan" yang kena, sedap dan indah, para seniman akan banyak membantu para ulama dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islam, terutama dalam lekuk-lekuk yang tidak bisa terbahasakan oleh ulama. Dan lebih dari itu semua, suatu genre kesenian yang diilhami oleh ide-ide keagamaan dalam arti keluhuran nilai-nilai transendental, telah terbukti dalam sejarah, sebagai genre kesenian yang unggul, tidak luntur karena hujan dan tidak lekang karena panas, disebabkan oleh muatan pesannya yang tidak berhenti pada waktu dan ruang "sekarang dan di sini", tapi mengekal dan menyemesta, karena selalu menyertakan api Al-Quran dalam proses penciptaannya---api Al-Quran yang sanggup melampaui batas-batas ruang dan waktu.

***

Alhamdulillah, dalam perkembangan lebih lanjut, saya menangkap ada arus saling mendekat antara kutub seniman dan kutub ulama. Sebagai contoh mikro, Setiawan Djodi dan kawan-kawan sering datang ke Tebuireng (Yusuf Hasyim). Roy Julius Tobing merapatkan diri ke Lembaga Pembinaan Ilmu-Ilmu Islam (Jalaluddin Rakhmat), dan Miranda Risang Ayu sering mengadu ke Mama Endang Saefuddin Anshari (almarhum). Sedangkan Arifin C. Noer sering bercengkerama dengan mantan tokoh-tokoh HMI. Sementara itu, dari pihak ulama sendiri, tampak ada upaya untuk menghampiri para seniman; Abdurrahman Wahid sejak lama mengemongi para seniman, Djohan Effendy makin nyeniman, adapun Jalaluddin Rakhmat makin sering memberikan pengajian di Bengkel Teater dan keluarga Ekapraya Film, bahkan sudah mulai juga suka bikin dan membaca puisi.

Walhasil, tidak terlampau mengherankan bila belakangan ini kita makin sering mendengar dan menyaksikan berbagai presentasi kesenian yang bernuansa "Islam". Untuk menyebut beberapa di antaranya: di jalur musik, ada pergelaran "Kantata Takwa", Qasidah Bimbo, dan maharaja Soneta Rhoma Irama. Di pentas teater, ada "Integrasi II"-nya Arifin C. Noer, "Dajjal" dan "Keluarga Sakinah"-nya teater Shalahuddin UGM, eksperimen teater Islaminya Ius Kadarusman di Salman ITB, "Siti Masithah"-nya Rahman Sabur, dan jangan lupa pula Bengkel Teater yang telah menggelar "Qasidah Barzanji"-nya.

Di bidang tari (koreografi), ada "Aku"-nya Miranda Risang Ayu, "Dakwah Gerak"-nya Roy Julius Tobing, dan eksperimen tarian Islaminya Sis Triaji. Di gelanggang sastra, selain semakin getol dilakukan pembacaan puisi di masjid-masjid dan majelis taklim, juga ada prakarsa untuk mengadakan pembacaan puisi bersama antara seniman dan ulama seperti yang pernah dilakukan di TIM, dan lain-lain. Sudah barang tentu masih banyak pementasan lainnya yang bernuansa Islami, atau mungkin lebih Islami, tapi saya sengaja mengambil pentas-pentas di atas sebagai contoh, hanya karena pementasan-pementasan tersebut jelas penuh dengan atribut-atribut keislaman, yang secara gampang bisa diidentifikasi.

***

Satu hal lagi yang layak dicatat dan perlu disyukuri dari encounter ulama dan seniman ini, pada kuliah subuh, persisnya hari Ahad, 30 Desember 1990, Kang Jalal bahkan pernah secara khusus membahas film Langitku Rumahku sambil mengimbau kepada para hadirin untuk menyempatkan diri menonton film ini. Imbaun ini---menurut pengakuan Kang Jalal sendiri---terus disampaikan di tiap-tiap pengajian yang didatanginya. "Bila selama ini saya selalu menekankan masalah cinta kasih terhadap golongan mustadh'afin (golongan tertindas) dengan bahasa yang kering dan tidak menyentuh perasaan terdalam, maka Langitku Rumahku begitu pas dan berhasil menyentuh perasaan kita tentang pentingnya solidaritas sosial," begitu kira-kira komentar Kang Jalal tentang arti pentingnya film ini.

Dan sesungguhnya, suatu hal yang sangat menggembirakan adalah bahwa Yayasan Muthahhari, asuhan Kang Jalal sendiri, bahkan konon juga membentuk lembaga-lembaga "Teostetika" untuk pengajian dan pengembangan kesenian Islami. Semoga dengan pembentukan lembaga-lembaga semacam ini akan dihasilkan suatu alternatif Islam dalam membentuk kesenian yang konstruktif bagi kehidupan umat manusia di semesta raya. Amin![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar