Inilah babak baru sejarah kampus di Indonesia. Sejarah kampus sebagai garba gladiator-gladiator kebudayaan massa.
Sebuah peringatan dies natalis Institut Teknologi Bandung (ITB) pada bulan September 1989 yang silam, memunculkan beragam komentar dari berbagai kalangan sekitar pertanyaan mengenai arti penting ITB dalam konteks sejarah pembangunan Indonesia. Dari sejumlah komentar tersebut pada pokoknya dapat disimpulkan bahwa selain pemasok utama para man power di bidang teknologi, ITB juga penting mengingat peran kesejarahannya sebagai inspirator perjuangan (pembangunan), pengemban amanat hati nurani rakyat, serta pengontrol setia jalannya sejarah Indonesia Raya.
Akan tetapi, jika pertanyaan serupa itu kita lontarkan lagi menjelang dies natalisnya pada masa yang akan datang, maka boleh jadi jawaban merdu seperti tadi tinggal fosil-fosil nostalgia masa lalu. Jika tidak berhati-hati, akan tiba waktu mustari, di mana masyarakat hanya memandang ITB sebatas pencetak “sekrup-sekrup” industri dan pengisi acara gelanggang olahraga.
Kamis, 22 Februari 1990 silam, ada berita kecil di halaman 10 Harian Kompas, yang sesungguhnya lebih layak untuk dijadikan head line di seluruh media cetak di Tanah Air. Institut Teknologi Bandung (ITB) mulai tahun ajaran 1990/1991 siap memberi kemudahan bagi atlet berprestasi untuk diterima sebagai calon mahasiswa baru di perguruan tinggi itu, sejalan dengan mulai dimasukkannya olahraga sebagai mata kuliah wajib bagi para mahasiswa ITB.”
Berita kecil tersebut mestinya menyedihkan kita semua. Tatkala para prestasiawan sukma-pikir kebenaran dan keadilan yang memuntahkan aksi “5 Agustus” dan sejenisnya ditendang dari barisan kehormatan keluarga besar ITB, para prestasiawan otot-ragawi malah diberi kemudahan untuk memasuki padepokan intelektual, lalu muncullah semacam pertanyaan etis. Sedemikian luhurkah martabat para pejuang olahraga dibandingkan para pejuang keadilan dalam napas kebudayaan Indonesia modern itu?
Bahwa olahraga itu berguna untuk menjaga kesehatan jasmani, meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tubuh, yang dibutuhkan sebagai sarana humanisasi manusia adalah benar. Maka dari itu, gerakan sport for all (mengolahragakan masyarakat) seperti yang didukung lewat program “pendidikan olahraga” dalam kurikulum-kurikulum sekolah-sekolah (perguruan tinggi) adalah suatu langkah yang bisa diterima. Akan tetapi, jika olahraga (kesehatan jasmani) telah diletakkan sebagai tujuan akhir proses pendidikan (proses pemanusiaan), dengan menempatkan prestasi olahraga sebagai indikator keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, maka ceritanya jadi lain. Bagi lembaga-lembaga pendidikan keolahragaan mungkin hal itu bisa dipahami, tapi, bila lembaga pendidikan nonkeolahragaan menempatkan prestasi olahraga sebagai standard recruitment calon-calon mahasiswa, dan sekaligus menjadikan hal itu sebagai ukuran keberhasilan jati dirinya, maka kita pun terpaksa harus menggelengkan kepala. Sedemikian pentingkah makhluk yang namanya olahraga itu sehingga perlu menggiring semua potensi dan sarana pemanusiaan?
Seperti kita saksikan sendiri, zaman di mana kita hidup sekarang ini adalah zaman yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban, di mana olahraga ditempatkan sebagai pilar utama kebudayaan umat manusia. Masa di mana kita bernapas sekarang ini adalah masa di mana olahraga telah mengalami transformasi yang suprafantastis dari sekadar sarana penyegaran jasmani, permainan dan rekreasi, menjadi ukuran martabat dan harga diri manusia dan suatu bangsa. Kegagalan dan keberhasilan olahraga adalah indikator kegagalan dan keberhasilan suatu bangsa.
Oleh karena itu, di tangan para atletlah kita gantungkan harga diri dan masa depan bangsa kita. Itu sebabnya, mengapa menjelang pertandingan tinju Elyas Pical semua pihak mesti berpartisipasi, merah putih mesti dikibarkan dan lagu Indonesia Raya harus dikumandangkan. Lalu, Indonesia tiba-tiba merasa menjadi bangsa yang besar ketika Elyas Pical menang dan merasa rendah diri ketika dia dikanvaskan.
Untuk itulah berbagai pihak disertakan, beragam pemikiran dikerahkan, dan bermiliar-miliar uang dihabiskan demi prestasi “anak emas ini”. Di kala dunia pendidikan mengalami kesulitan dana, dunia olahraga malah berlimpah ruah dengan melibatkan pihak swasta untuk memberlakukan SDSB. Ketika guru-guru SD hidup dalam selimut kemiskinan, para atlet, sebaliknya, bergelimang kemewahan. Pada saat dana penelitian menyusut, bermiliar-miliar uang justru dihamburkan untuk 27 menit “Borobudur 10 km”. Dan di saat para aktivis pejuang kebenaran dan keadilan dikucilkan, para aktivis olahraga justru dianugerahi kemuliaan.
Ya, olahraga adalah instrument penyegaran jasmani yang telah berubah menjadi kesenangan (luxury, kemewahan) yang direkayasa menjadi kebutuhan vital umat manusia. Sehingga yang terjadi kemudian adalah menyeret olahraga tersebut ke dalam kasus perversi, suatu bentuk penyimpangan yang secara diam-diam kita kondisikan dengan kebiasaan merokok atau mencandui narkotika.
Begitu perguruan tinggi-perguruan tinggi tertentu yang belum memiliki “merek dagang”, mencoba memanfaatkan prestasi olahraga sebagai sarana untuk mempopulerkan dirinya, barangkali perekrutan atlet-atlet berprestasi ke lingkungan kampusnya dalam batas-batas tertentu masih bisa ditoleransi. Akan tetapi, kalau hal itu dilakukan oleh ITB yang selama ini dijadikan barometer kewarasan perguruan tinggi dan benteng kaum intelektual Indonesia, masya Allah, bagaimana jadinya nasib masa depan bangsa ini?
Tetaplah pada Peran Semula
Percayalah, sekalipun perguruan tinggi-perguruan tinggi (nonkeolahragaan) tak berpartisipasi secara aktif dalam usaha mencetak atlet-atlet berprestasi, masih banyak lembaga dan sarana lain yang mampu menjalankan peran itu secara lebih baik. Akan tetapi, tidak banyak lembaga dan sarana yang bisa mencipatakan kader-kader intelektual yang concern terhadap cita-cita kebenaran dan keadilan, seperti halnya perguruan tinggi.Perguruan tinggi-perguruan tinggi di Tanah Air ini telah mempunyai tempat-tempat yang spesifik dalam sejarah pembangunan bangsa ini. Mereka bukan hanya mengabdikan hidupnya demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (devotee of science and technology), tetapi juga bertanggung jawab dalam upaya-upaya memperjuangkan cita-cita kemanusiaan dan nilai-nilai luhur umat manusia (devotee of ideas and values).
Menyeru kepada kebenaran dan mengoreksi perbuatan sesat setelah memperoleh cahaya kebenaran adalah suatu sikap terpuji yang mesti dierami oleh para sivitas akademika. Dengan sikap seperti itulah martabat perguruan tinggi bisa dipelihara, dan dengan sikap seperti itu pula perguruan tinggi bisa memainkan perannya sebagai pengawal peradaban.
Jika tidak demikian, perguruan tinggi menjadi tak ada bedanya dengan pabrik yang mesti terus-menerus meladeni para pemesannya, atau tak ubahnya bagaikan bola yang dipermainkan gelombang zaman seenaknya. Kalau begini yang terjadi, hanya menunggu satu helaan napas saja, untuk segera tiba pada zaman kegelapan itu. Ya Allah, tunjukkanlah perguruan tinggi-perguruan tinggi kami jalan yang lurus.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar