Berpikir mendalam ala kajian wacana akan mengantarkan kita ke ufuk kesadaran baru bahwa praksis dakwah keagamaan itu tiada lain adalah perjuangan untuk menghadirkan orisinalitas. Yang terakhir ini amat penting dalam rangka menjamin rasa kepastian beragama seseorang, sekaligus sebagai selaput batas yang membedakan habitatnya dengan lingkungan ekologis "orang lain". Inilah hal yang secara psikologis sangat diperlukan untuk memperjuangkan pilihan-pilihan.
Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika idiom-idiom keislaman kita ganti dengan idiom-idiom lain: zikir dengan eling, tafakur dengan semadi, syahadat dengan baptis, assalamu 'alaikum dengan selamat pagi, Allah dengan dewa, dan seterusnya. Meski sepintas tampak memiliki kesamaan arti, tapi jelas keduanya memiliki kandungan kesadaran dan cita rasa penghayatan yang berbeda.
Bahkan, sekalipun istilah-istilah Islam itu kita coba gantikan dengan kata-kata yang berasal dari bahasa Arab, tetap saja tidak akan menghasilkan kesebangunan. Jangankan pada kesebangunan makna, kemungkinan eksplorasi estetisnya pun berbeda. Para qarri---misalnya---merasakan betapa susahnya mengumandangkan syair Arab dengan jenis lagu yang sama seperti membaca Al-Quran.
Perbedaan ini terjadi, karena setiap kata atau wacana---apalagi wacana keagamaan---memiliki sejarah kesadarannya sendiri yang menghunjam kuat di dalam rahim tradisi.
Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa tradisi merupakan tumpuan penting dan syarat perlu bagi tercapainya orisinalitas. Ibarat sistem pencernaan makanan yang siap menerima dan memuntahkan apa pun sesuai dengan batas-batas selera dan daya cerna, sistem tradisi memberi penganutnya suatu timbangan rasa dan pengenalan mengenai apa saja yang bisa dianggap rasa dan pengalaman mengenai apa yang bisa dianggap tulen sehingga dapat diterima, serta mana pula yang dirasa asing dan untuk itu perlu dihindarkan.
Maka ketika kelompok "Anak-Anak Alif", dalam salah satu lagunya, didandani pakaian dengan dominasi warna merah, dilatari properti hiasan tangan kastubi warna perak yang dipegang para penyanyi latar bak malaikat-malaikatan berpakaian serba putih, seorang teman spontan berkomentar, "Lho, kok kayak opera natal." Ini mungkin bukan umpama yang cerdas. Tapi setidaknya, ada hal yang bisa ditangkap di situ, tentang betapa pentingnya pertimbangan tradisi dalam kreativitas bernuansa agama.
Tetapi tradisi sama sekali tidaklah sebangun dengan soal orisinalitas. Para artis boleh saja telah menutup tubuhnya rapat-rapat sambil mendendangkan irama padang pasir dengan rebana di tangan, demi tercapainya legitimasi sebagai yang "Islami". Tetapi jika apa yang disajikan itu hanyalah pengulangan-pengulangan stereotipikal tradisi Arab klasik, yang disajikan secara artifisial dan miskin kreasi, mana bisa kita menyebutnya sebagai prestasi yang orisinal?
Dengan demikian, syarat lain yang diperlukan dalam proses pencapaian orisinalitas adalah daya cipta. Meski kita memiliki sistem pencernaan yang baik, tidak berarti bahwa semua makanan yang halal bisa dimakan. Perlu ada unsur thayyibah, yang menghendaki sikap selektif dan inovatif. Tradisi perlu dibaca ulang, dikembangkan daya cernanya, dan diperkenalkan dengan ramuan-ramuan inovasi baru di luar dirinya, sehingga memiliki kemampuan fasilitatif yang adekuat.
Dalam kaitan ini, kita sering begitu jengah menonton acara-acara keagamaan di televisi, tak lebih tak kurang karena sulitnya menemukan kreasi-kreasi baru yang bermutu. Galibnya hanyalah sandiwara-sandiwara hambar tanpa suspense dari ceramah ke ceramah yang berpretensi menggurui dengan materi sajian yang berkutat dari itu ke itu saja.
Agak sedikit maju, misalnya, apa yang dilakukan Taufiq Ismail di sebuah stasiun televisi. Yang diangkatnya di sana adalah suatu format human interest. Dengan sedikit sentuhan, pewawancara membiarkan tamunya untuk mengeluarkan memori pengembaraan spiritualnya.
Ada orisinalitas pengalaman yang terungkap di dalamnya. Dan kita ternyata cukup terhanyut justru karena spontanitas dan orisinalitasnya itu.
Yang lebih menarik untuk dicermati adalah fenomena "Bimbo Mania" di setiap bulan Ramadhan. Di balik rasa sesal kita, karena hanya dari Bimbo ke Bimbo saja, kemampuannya sendiri hingga tetap berjaya justru menarik untuk dipelajari.
Keberhasilan Bimbo jelas menunjukkan pentingnya masalah inovasi dalam dakwah keagamaan. Bimbo berusaha mengawinkan unsur-unsur tertentu dari tradisi seni Islami dengan mencoba memasukkan unsur-unsur musik pop ke dalamnya, tanpa memperkosa khazanah tradisi itu sendiri. Dan ternyata mereka cukup berhasil dan diterima secara luas.
Tetapi, Bimbo bukanlah satu-satunya yang mencoba hal itu. Belakangan, banyak pula kelompok atau penyanyi lain yang melakukan hal yang sama. Tetapi hasilnya kebanyakan tidak secemerlang apa yang bisa dicapai oleh Bimbo. Bahkan ada banyak artis yang mencoba membawakan lagu-lagunya, namun tetap saja tidak mampu menghadirkan greget seperti Sam, Acil atau Jaka. Di mana pangkal persoalannya?
Bila kita cermati secara saksama, kelebihan Bimbo adalah kemampuannya untuk mengangkat syair lagu yang bergizi dan indah ke dalam corak nada dan irama yang serasi dengan kekentalan nuansa religius. Ini semua disertai kekuatan pembawaannya yang dihayati secara intens.
Unsur-unsur kelebihannya itu secara jelas menunjukkan hal-hal yang berkaitan dengan kapasitas intelektual. Untuk tiba pada kesesuaian eksplorasi artistik dan kekhusyukan penghayatan, orang harus memiliki sikap empati terhadap teks yang dihapalnya. Kemampuan itu hanya bisa dicapai jika orang tersebut memiliki kesadaran secukupnya tentang konteks dan sejarah suatu wacana, yang bisa ditumbuhkan lewat daya baca. Tak berlebihan jika Seyyed Hossein Nasr mencatat, bahwa kapan dan di mana saja terjadi kemunduran dan keruntuhan dimensi intelektual Islam, maka mutu seni Islam pun akan mengalami kemunduran.
Dimensi intelektualitas inilah yang menjadi syarat ketiga bagi tercapainya orisinalitas. Dan sepanjang pengenalan saya, dimensi ini pulalah yang sangat kurang dimiliki oleh kebanyakan musisi dan artis-artis kita. Sehingga capaian-capaiannya di bidang eksplorasi musikal, sering kali dihancurkan oleh kehambaran syair lagu dan kedangkalan penghayatan.
Kita tidak ingin menyimak acara-acara keagamaan hanya karena rasa toleransi atau takut kuwalat. Agama yang baik dan indah, seyogianyalah ditampilkan secara baik dan indah pula. Ini semua bisa dicapai manakala kita mampu menghadirkan unsur-unsur yang menopang tercapainya orisinalitas dalam setiap karya keagamaan kita. Semoga![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar