Revolusi dalam bidang ini menurutnya jauh lebih penting dibandingkan dengan revolusi-revolusi lainnya---di bidang politik, material, dan sebagainya. Karena, bagaimanapun, pada hakikatnya hanya dua hal yang sanggup merombak dunia: (ide-ide) filsafat dan "agama".
Saya tahu, sampai di sini sudah banyak daftar "pertanyaan" yang pembaca hendak ajukan. Namun, terus terang saya sendiri tidak berselera untuk menggugatnya. Bukan apa-apa, saya khawatir, argumen-argumen yang akan lahir kemudian, ujung-ujungnya akan kembali menyeret kita ke kejengahan perdebatan klasik tentang fakultas mana yang paling determinan dalam melakukan perubahan sosial: ide atau materi, konseptual atau operasional, refleksi atau aksi, teori atau praktik, dan seterusnya.
Yang saya hendak perbincangkan di sini, alih-alih mempertanyakan soal keabsahan dan kelayakan gagasan tersebut, yang terjadi malah mencoba menambahkan gagasan itu pada orbit semestinya, sambil berusaha memeriksa isi dan implikasinya sebagaimana yang bisa ditangkap oleh remang-remang penglihatan perspektif pemikiran tertentu.
Revolusi Konseptual
Tak disangsikan beragam definisi revolusi sudah dibuat. Orang-orang pintar bilang, banyak definisi tentang "binatang" yang satu ini sama banyaknya dengan aliran pemikiran yang berkembang di dunia. Namun demikian, definisi revolusi dari generasi kedua Frankfurt School yang dijurubicarai oleh Jurgen Habermas, barangkali lebih representatif untuk membantu menjelaskan "revolusi konseptual"-nya Jalaluddin Rakhmat.Tidak seperti Karl Marx yang memandang revolusi sebagai "tindakan strategis" melalui jalan kekerasan yang dilakukan oleh kaum proletariat---sebagai panggilan "hukum baja" sejarah---dalam upaya untuk mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan di dalam masyarakat. Habermas menafsirkan revolusi dalam konteks "tindakan komunikatif" melalui dialog-dialog konsensual yang dihasilkan oleh rasio yang berpihak untuk membongkar buhul-buhul kesadaran palsu (ideologi) yang membelenggu masyarakat demi terciptanya emansipasi dan demokrasi radikal, yakni hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup "komunikasi bebas penguasaan".
Dengan begitu, perjuangan kelas (revolusi politik) dalam pandangan Marx diganti dengan "perbincangan rasional" di mana argumen-argumen, komunikasi dialogis, dan refleksi diri menjadi faktor yang menghasilkan konsensus, emansipasi, dan pencerahan. Ini berarti, jika revolusinya Marx dialamatkan kepada kaum proletariat, revolusinya Habermas dititipkan kepada rasio yang berpihak. Jika yang pertama lebih mengandalkan "logika kekuatan", maka yang terakhir lebih mempercayai "kekuatan logika" (lihat Fransisco B.H. dalam Kritik Ideologi, Pustaka Kanisius, Yogyakarta, 1990).
Tak pelak lagi, di sini kita melihat adanya paralelisme yang cukup signifikan antara revolusi "komunikasi"-nya Habermas dengan gagasan tentang revolusi "konseptual"-nya yang dimaksudkan Jalaluddin Rakhmat. Di mana rasio, komunikasi, dan emansipasi menjadi titik api persoalan.
Tentang munculnya gagasan seperti ini dalam konteks umat Islam Indonesia memang memiliki relevansi historisnya tersendiri. Keprihatinan tentang arus kesadaran umat yang membeku, mentalitas yang terbelenggu, konservatisme yang kaku, serta fanatisme 'ashabiyyah yang menggebu-gebu, merupakan bilur-bilur pemicu ke arah upaya-upaya transformasi, yang pemenuhannya mesti mengambil tempat dalam suatu bidang yang bernama "revolusi konseptual".
Katakanlah gagasan serupa itu kita sepakati. Persoalan yang muncul berikutnya adalah, bagaimana konsep ideal pendaratan impian tersebut ke jantung masyarakat yang beku. Kembali ke Habermas, sejauh memasuki dunia sosial, terlebih dahulu kita harus membedakan antara "tindakan strategis" dan "tindakan komunikatif". Tindakan pertama berada dalam sumbu subjek-subjek, di mana sang komunikan kita jadikan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicanangkan komunikator yang berorientasi pada sukses. Sehingga penilaian tentang gagal berhasilnya tindakan ini lazimnya diukur dengan sejauh mana keberhasilannya dalam mewujudkan impian sang komunikator. Sedangkan pada tindakan kedua, para peserta komunikasi berada dalam sumbu intersubjektivitas dan co-partisipasi, di mana masing-masing pihak sama-sama aktif menafsirkan dunia untuk kemudian bergerak ke arah pencapaian tujuan bersama yang berorientasi pada pencapaian pemahaman konsesnsual. Di sini, tujuan yang akan dicapai tidak bersifat egosentris, dan sukses bukanlah ukuran. Keberhasilan tindakan ini justru tampak pada tercapainya pemahaman bersama.
Jika benar tentang gagasan revolusi konseptual ini dimaksudkan untuk membentuk struktur kesadaran umat, maka konsep pendaratannya mau tidak mau mesti mengambil tempat pada tindakan komunikatif. Hal ini berarti, para pribadi "tercerahkan" (para ulama dan cendekiawan) dalam berhadapan dengan umatnya mesti berposisi seperti psikoanalis, di mana transformasi pemikiran dan pemahaman atas makna-makna ideal itu terjadi dalam suasana interaksi dialogis dan "komunikasi bebas penguasaan".
Distorsi-Distorsi Revolusi
Perbincangan tentang komunikasi ideal seperti tadi, kendatipun telah menjadi ucapan umum dan nyaris menjadi basi, toh pengalamannya masih perlu berkeringat. Karena secara jujur harus kita akui betapapun maraknya aktivitas-aktivitas dakwah dan pengajian-pengajian agama belakangan ini, yang secara kuantitatif masih meningkat dan secara atributif lebih variatif, akan tetapi peningkatan tersebut belum menjadikan perubahan yang cukup mendasar dalam bangunan kesadaran umat.Hal ini, antara lain, disebabkan oleh miskonsepsi dalam pengambilan standar nilai yang kita gunakan untuk menakar berhasil atau tidaknya suatu aktivitas pengajian. Para komunikator agama selama ini, tampaknya masih terperangkap dalam godaan "kuantitatif" dan pesona "keaktoran", sehingga ukuran keberhasilan yang mereka gunakan masih berkhidmat pada membludaknya jumlah pengunjung, gempita tawa, kemampuan mematahkan umpan balik, kepiawaian menjinakkan khalayak, dan sebagainya. Sehingga "tablig akbar" masih saja digoda dengan "kiai ngepop" yang lebih "menyihir massa" dalam aspek "entertainment"-nya saja. Yang pada hakikatnya panorama-panorama demikian lebih merupakan manifestasi katarsis tindakan strategis ketimbang ekspresi pencerahan tindakan komunikatif.
Atau, jika ukuran konseptual yang mereka gunakan sudah benar, distorsi-distorsi komunikasi itu akan tetap terjadi, karena adanya bias-bias kultural dan struktural. Dalam hal ini, bias akademis, bias elite, dan bias urban yang melekat pada kebanyakan cendekiawan produk "sekolahan"---yang hanya terasah dalam kecerdasan konseptual tetapi tidak cukup terlatih dalam kecerdasan sosial (operasional)---seringkali membengkokkan praksis komunikasi dari cita-cita emansipasi menjadi virus-virus manipulasi, dan dari upaya-upaya pembebasan menjadi jurus-jurus pembebekan.
Oleh karena itu, gagasan tentang revolusi konseptual, sesungguhnya tidak cukup hanya dengan mengimbau dan menonjok ke luar, tapi juga harus mengiris dan menelanjangi ke dalam. Yang kita butuhkan bukan hanya kritik ideologis, kritik empiris, dan kritik metodologis---yang diarahkan melulu ke luar diri komunikator---kritik itu pun masih merupakan kritik intrasubjektif, untuk memeriksa terlebih dahulu apakah secara kultural dan struktural diri komunikator tidak telah teralienasikan. Apakah secara konsepsional pilihan-pilihan nilai komunikator tidak telah tersusutkan, dan apakah secara operasional langkah-langkah komunikator tidak telah terdistorsikan. Dan seterusnya.
Hanya dengan cara begitulah, "revolusi konseptual" bisa memperoleh pijakan yang kuat, dan sekaligus akan meraih kekuatan transformatifnya: pencerahan pemikiran, emansipasi, dan transendensi.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar