Kamis, 15 Januari 2015

Kembali kepada Diri Sendiri

Ada seorang pengkhutbah dari sebuah kota kecil dan miskin, yang meniru pengkhutbah lain yang berhasil di Teheran, dan menyampaikan khutbah dari tokoh itu kata demi kata. Dia berseru, "Nyonya-Nyonya dan Tuan-Tuan, wahai kalian yang duduk di dalam mobil-mobil Cadillac besar dan melewati jalan-jalan ini, tidakkah kalian tahu bahwa ada orang-orang yang bahkan tidak memiliki sepasang sepatu yang masih utuh? Jika kalian tidak membantu mereka, maka hati-hatilah untuk tidak mengganggu mereka…." Kata-kata tersebut sangat menggugah, tetapi hanya berarti di Teheran, bukan di sebuah kota kecil. Orang yang menyampaikan khutbah ini di kota kecil, mengubah mimbarnya menjadi dagelan tragis.

Kisah di atas dituturkan Ali Syari'ati dalam bukunya Membangun Masa Depan Islam (1988), untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya tak ada contoh universal untuk menjadi "yang tercerahkan". Seseorang mungkin dapat dianggap sebagai yang tercerahkan di negeri industri Eropa, namun tidak dapat dikatakan demikian di kalangan komunitas Muslim. Maka, alangkah naifnya "budaya pembebekan" yang dipergunakan kaum terpelajar Negara-Negara Dunia Ketiga, terutama kalangan terpelajar Islam, terhadap segala hal yang berbau Barat. Akibat tragis yang menyertainya adalah bahwa selama bertahun-tahun perasaan, kesadaran, dan pemikiran rakyat diarahkan oleh mereka yang dijuluki sebagai tokoh "yang tercerahkan" ini, yang menyampaikan secara keliru, sementara mereka merasa telah menunjukkan jalan menuju keselamatan.

Ini tentu pemahaman yang salah kaprah terhadap pemikiran yang tercerahkan. Menyimpang dari mainstream yang menghanyutkan kebanyakan filosof, ilmuwan, ahli agama dan seniman, asyik beronani di menara gadingnya, berpacaran dengan abstraksi-abstraksi ilmiah, berkhayal dengan wirid-wirid penyucian, atau bercengkerama dengan puisi-puisi, ambiguitas, kontradiksi dan sindiran hingga sedikit orang yang memahaminya. Pemikir yang tercerahkan adalah individu yang dipenuhi kesadaran yang bertanggung jawab, melangkah langsung ke jantung masyarakat, memandu mereka mencapai tujuan, kebebasan, dan kesempurnaan manusiawi, serta membantu mereka menyelamatkan dirinya sendiri dari kebodohan, kemusyrikan, dan penindasan. Dengan kata lain, mereka bersikap sosial, berada di tengah rakyat, dan memainkan peranan sebagai nabi sosial.

Untuk itu, pemikir yang tercerahkan harus benar-benar menyadari keadaan kemanusiaan, setting kesejarahan dan kemasyarakatan serta "taksonomi budaya" buminya sendiri. Yakni, sangat umum yang menentukan badan pengetahuan, karakteristik, perasaan, tradisi pandangan dan cita-cita rakyatnya sendiri. Seperti Yunani dengan budaya filosofisnya, Romawi dengan budaya militer dan artistisnya, India dengan spiritualistisnya, masyarakat Islam pun mempunyainya, yaitu budaya Islam nan religius.

Celakanya, budaya (baca: agama) yang merupakan sumber energi dan aspirasi kreatif, pemandu kehidupan bermakna di muka bumi ini, menjadi kehilangan elan vitalnya, tergerus kebrengsekan umatnya sendiri. Di satu pihak, dilumuri oleh para pemuka agama-gadungan yang menghipnotis Islam menjadi agama antisosial, menyibukkan umatnya dalam ritus dan asketisme. Sedangkan di lain pihak, diludahi oleh para intelektual-gadungan yang dengan lantang berkata, "Akulah orang yang untuk pertama kalinya menjatuhkan bom ketaklukan kepada Eropa," seraya mengutuk Islam sebagai biang kerok kemandekan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Upaya membangun masa depan Islam mengisyaratkan perlunya strategi kembali kepada diri sendiri yang digerakkan oleh pemikir yang tercerahkan. Hal itu berarti, kembali menemukan ajaran Islam yang orisinal, menyaring sumber-sumber spiritual dan budaya Islam yang terkubur di selubung sejarah. Dengan kata lain, perlu adanya arus balik ke Al-Quran dan Sunnah secara serempak dengan gempita rekonstruksi pemikiran Islam.

Membaca buku Ali Syari'ati yang judul asilnya What is To Be Done: Enlightened Thinkers and Islamic Renaissance ini, bukan saja akan membuat kita terhentak-hentak dikagetkan alur pikiran "ideolog Revolusi Iran", yang gagasan-gagasannya sungguh bernas, aktual, dan kontroversial, tetapi juga akan mendekatkan pembaca pada harapan-harapan, aspirasi, dan iklim yang bergejolak menjelang revolusi Islam Iran.

Segera setelah menuntaskan karya ini, pembaca bukan saja akan berjumpa dengan teologi pembebasan Islam, tetapi juga mendapatkan kerangka pembebasan Islam. Lewat karya intelektual Islam Iran ini, kita juga akan bisa menyelami lebih dalam mengenai definisi intelektual, dan macam-macamnya, serta peran dan tanggung jawabnya. Lebih dari itu dia pun mengemukakan alasan-alasan teoretis, mengapa kebangkitan Islam sangat dibutuhkan, mengetengahkan studi kasus tentang kekuatan Islam serta cara yang ditempuh agar mampu menaklukkan para adikuasa di masa lampau: Persia dan Byzantium (Romawi); serta menawarkan suatu program praktis untuk membangun masa depan Islam dalam membentuk rencana tindakan bagi Husayniah Irsyad--- lembaga keagamaan dan pendidikan yang disokongnya sendiri pada tahun 1967.

Cara pemaparannya yang gamblang, tajam, dan blak-blakan, dalam warna bahasa figuratif dan berpihak---yang kelihatannya cukup terpelihara dalam terjemahan edisi Indonesia---menjadikan karya Syari'ati gampang dilahap dan gurih, kendatipun terkadang menyeret Syari'ati terjebak dalam rayuan generalisasi tergesa-gesa.

Di sini, sekalipun Syari'ati lebih menempatkan dirinya sebagai juru bicara kaum Syi'ah (khususnya dalam konteks rakyat Iran), tapi tak perlu disangsikan bahwa pesan moral yang dikandungnya relevan dan aktual bagi kaum Muslim dari mazhab yang berbeda, bahkan juga bagi masyarakat Dunia Ketiga lain yang non-Muslim.

Barangkali, satu-satunya "aib" yang mencolok dari karya Syari'ati ini, yang dapat membuat merah kuping mayoritas Islam di Indonesia adalah ketidakjeraan Syari'ati dalam mengklaim Islam Syi'ah sebagai Islam sejati, sekaligus menempatkannya pada posisi garda depan. Tapi, kalau saja kita mau berpikir agak lebih jernih dan lapang dada, segera akan diinsafi bahwa jika tidak boleh dibilang memang demikian kenyataannya, maka haruslah kita tafsirkan sebagaimana fungsi pengagungan terhadap semua ideologi lain, yakni, sebagai alat peneguh bagi para penganutnya. Singkatnya, ini bukan perkara kepongahan, tapi kiat mempertebal keyakinan dan membangkitkan kepercayaan rakyat Iran yang sedang terhempas dan terputus.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar