Jumat, 02 Januari 2015

Menunggu Cahaya Kearifan dari Kelamnya Masa Lalu

Beberapa bulan setelah keberangkatan Kang Yudi ke "Negeri Kanguru", Pak Utomo Dananjaya mengatakan kepada saya perihal sambutan positif terhadap Kang Yudi di kampusnya yang baru. Kabar senada juga saya peroleh dari Prof. Virginia Matheson Hooker sebagai Kepala Southeast Asia Centre, Fac. Asian Studies, ANU. Kesan demikian tentu saja membanggakan saya sebagai kawan.

Janji saya untuk menyunting buku kumpulan karangan tulisan-tulisan "masa lalu" Kang Yudi menemukan energi baru, setelah Mas Hernowo dan Mas Putut Widjanarko dari Penerbit Mizan juga merespons dengan senang hati. Niat lama yang mulai tenggelam di balik beberapa rutinitas, akhirnya terbit kembali. Saya mulai mengumpulkan tulisan-tulisan Kang Yudi untuk rentang waktu 1989-1998, menyelesaikannya, dan akhirnya tampillah buku seperti dalam genggaman Anda sekarang.

Sejarah sebuah buku setidaknya bisa kita maknai sebagai hikayat tentang kepingan pengalaman hidup seseorang. Pengalaman yang dilalui seorang pribadi atau suatu bangsa adalah semacam jembatan kehidupan dengan banyak curam untuk mencapai kesejatian cita-cita atau makna kehidupan itu sendiri.

Sejarah Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan---betapapun kecilnya---adalah mosaik atau kepingan potret pengalaman masa lalu sebuah masyarakat (wacana sosial) yang direkam oleh seorang anak manusia (wacana individual).

Lantas, mengapa Kang Yudi menjadi orang yang begitu prihatin terhadap persoalan masa lalu? Apakah ini semacam romantisme? Lalu, apakah masa lalu harus dikutuk atau ditangisi? Ia mengingatkan kita bahwa di balik kabut tebal masa lalulah awan kelam senantiasa membayangi masa depan bangsa yang kita cintai ini. Ia juga mengajak kita merenungkan akan kemungkinan distorsi pemahaman dan pemaknaan masa lalu. Ini membawa kita pada apa yang pernah diiangatkan oleh sastrawan kawakan LIPI, Prof. Taufik Abdullah sebagai bahaya hegemoni atau penguasaan terhadap ingatan.

***

Bagaimanapun, orang yang hidup tanpa kenangan atau ingatan adalah ibarat patung, batu atau tubuh tanpa jiwa. Namun, orang yang hidup dengan kenangan akan masa lalu yang terluka memang terasa perih. Keperihan sejarah inilah yang direkam kawan dan guru saya dalam bukunya ini.

Sebagaimana kita sadari, Kang Yudi dan anak-anak muda seusianya adalah generasi, saksi hidup sejarah, yang lahir dan dibesarkan dalam asuhan orde yang menjadikan masa lalu sebagai landasan legitimasi sebuah kekuasaan, sumber kutukan bahkan "teror kognitif" yang melumpuhkan ingatan. Masa lalu menjadi sebuah proyek yang direkayasa dalam mesin giling pembengkokan sejarah semata-mata untuk menopang status quo. Ingatan, imajinasi, dan kesadaran dengan pelbagai cara ditaklukkan oleh "rezim kebenaran"---dalam hal ini Orde Baru---di balik terali kenangan yang berlumuran darah.

Sebagai generasi yang dididik dalam asuhan pendidikan politik Orde Baru, Kang Yudi mencatat bahwa sistem Orde Baru adalah sistem yang didendangkan dengan pelbagai simbol dan permainan kata serta yang dipaksakan dengan pelbagai aturan dan alat pemaksa. Senjata adalah bahasanya dan sekaligus bahasa adalah senjatanya.

Sebagai mahasiswa tingkat S1 di tahun 1980-an, ia benar-benar menyaksikan gersangnya iklim pendidikan yang dilahirkan oleh sistem pendidikan Orde Baru. Dalam rentang kurun waktu itu, depolitisasi, hegemonisasi, dan penyeragaman dalam dunia pendidikan telah menjadikan kampus sebagai sarang kekerasan negara yang menjadi lahan tandus pemikiran kreatif dan tontonan teror, intimidasi, penahanan dan penangkapan anak-anak muda yang kritis. Ketika iklim kreativitas ini dibonsai, energi kreatif pun mengalami pemandulan dan pada gilirannya menggersangkan pemekaran akal budi itu sendiri. Ini tentu saja masa lalu yang pahit untuk dikenang oleh anak muda yang sudah lama menanti fajar reformasi.

Sebagai anak muda Islam, ia juga merasakan dan karena itu merindukan agar umat Islam Indonesia bisa keluar dari keterpurukannya dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Pada saat yang sama, ia juga menyaksikan akibat perseteruan antarmadzhab---yang sering direkayasa untuk kepentingan jangka pendek---telah menjadi jalan berliku pemekaran semangat ukhuwah dalam tubuh umat. Ini juga menjadi awan kelam masa lalu.

Barangkali, yang juga perlu dan penting dicatat, Kang Yudi dan sedikit generasi seusianya adalah angkatan baru intelektual Islam yang nyaris tuntas membaca apa yang disebut oleh para "intel bacaan" Orde Baru---secara hitam putih---sebagai pemikiran "kanan" dan "kiri". Tak heran kalau tidak sedikit generasi muda Islam mutakhir yang jebolan pesantren sangat fasih berbicara tentang pemikiran kontemporer termasuk teori-teori radikal atau pemikiran kritis.

***

Kini, menjelang abad ke-21, setelah goyah dan robohnya "rumah impian" bernama Orde Baru di balik dendangan janji-janji utopis mengenai tinggal landas yang tak kunjung tiba, dendam lama pun seolah hidup kembali. Kutuk pun digelar di balik darah, peluh, dan air mata rakyat.

Setelah angin deras reformasi dengan kencang berembus, negeri ini masih saja mempertontonkan absurditas budaya dan politik. Ledakan kekecewaan akan masa lalu menjadi semacam lelucon tragis bagi generasi muda kini. Orang seolah dimabuk oleh "luka" masa lalu.

Kemudian, setelah duka-cerita itu dan di depan "serambi penantian" akan bayangan masa depan yang mencekam itu, romantika perlawanan pun dianggap mulai membuahkan hasil manakala dahaga akan kebebasan itu terjelma dalam obral serangan dan hujatan. Sebuah cermin kemarahan terhadap masa lalu. Setumpuk kata-kata keras dan kasar berhamburan di jalanan dan segerobak dagelan konyol digelar di televisi. Di balik pentas kemilau gaya hidup, berita-berita pers seperti berlumuran darah. Pelacuran dan barbarisme politik serta pornografi konsumtif pun dipertontonkan di pelbagai penjuru negeri.

Euforia ini memang bisa menyeret kita membiarkan diri---meminjam ungkapan Prof. Taufik Abdullah---"terbuai dalam dendam sejarah". Cermin kegalauan nilai dan kelamnya harkat kemanusiaan di balik kriris yang mengimpit ini telah menjadikan tragedi nasional kian memilukan. Dalam situasi semacam ini, renungan ke masa lalu seolah menjadi kenangan yang mencekam.

Apalagi orde yang baru saja kita lalui memang terasa perih untuk dikenang. Kisah dominasi yang memandulkan imajinasi ini memang tidak akan pernah habis-habisnya untuk didendangkan. Di balik pengepungan ruang imajinasi masyarakat dan dalam konstruksi kesadaran sejarah yang terluka itulah, setidaknya Kang Yudi mengingatkan kita bahwa kehendak untuk mengenang---betapapun perihnya ingatan itu---adalah jalan menuju pencerahan akan masa depan.

Karenanya, semoga saja kita memang tidak terbuai dalam suasana dendam-sejarah. Dan, semoga ingatan akan masa lalu tidak hanya sebatas jalan pemuasan dahaga sebuah generasi, tetapi juga menjadikan negeri ini lebih arif memperlakukan sejarah secara manusiawi dan jujur. Dengan demikian, semoga masa lalu memang memberikan cahaya kearifan, supaya kita tidak membunuh masa depan atas nama masa lalu sebagaimana yang dikhawatirkan penulis buku ini dan generasi-generasi yang mungkin telah menjadi korban kekerasan masa lalu yang kelam. Wallâhu a'lam bish-shawâb.

Cibaduyut-Panaitan, 14 Maret 1999/26 Dzulqa'dah 1419
Idi Subandy Ibrahim*)

*) Adalah pengamat dan peneliti kebudayaan pop. Lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fikom, UNPAD (1989-1997) ini telah menyusun belasan buku antara lain Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (Mizan, 1997); Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru [bersama Yudi Latif, M.A.] (Mizan, 1996); dan kini sedang menyiapkan kumpulan tulisan Dr. Ariel Heryanto (Mizan, akan terbit). Saat ini menjadi konsultan di beberapa penerbitan di Bandung dan mengajar matakuliah "Propaganda" dan "Etika Komunikasi" di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar