Sabtu, 17 Januari 2015

Menyoal Politik Ilmu Pengetahuan

Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana ilmu pengetahuan Indonesia tak hentinya disesaki muatan ambisi penguasaan teknologi tinggi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sedemikian latahnya hal ini dibicarakan sampai-sampai terkesan bahwa isu tersebut lebih sering menjadi populer ketimbang dimengerti, lebih sebagai fashion ketimbang praktis dan lebih merupakan slogan ketimbang cetak biru untuk bertindak. Apa yang dihasilkan oleh situasi ini adalah intensi paradoksikal antara realitas yang terjadi. Di balik euphoria para pemimpin bangsa menyusul sukses peluncuran N-250, misalnya---yang dipandang sebagai tonggak penting menandai era teknologi tinggi, dan kemampuan mensejajarkan diri dengan negara-negara maju---taraf penguasaan teknologi yang sesungguhnya justru masih digayuti awan keprihatinan.

Data terbaru dari East-West Centre Database, misalnya menggambarkan bahwa kapabilitas teknologi Indonesia secara umum, dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, justru berada di posisi paling buncit. Gambaran ini diperkuat oleh Indikator Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia 1994 (BPPT, Ristek dan Papitek-LIPI). Indikator ini menunjukkan bahwa di balik sukses peningkatan output dan nilai tambah sektor industri manufaktur dalam lima tahun terakhir ini, justru terlihat kelemahan yang melekat pada sektor industri berteknologi tinggi dan menengah.

Rasio nilai tambah terhadap output industri yang menghasilkan produk dengan intensitas teknologi tinggi atau menengah menunjukkan tingkat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan rasio yang dimiliki industri yang menghasilkan produk dengan intensitas teknologi rendah---rata-rata 30 persen versus 35 persen. Lebih dari itu, output industri yang menghasilkan produk dengan intensitas teknologi tinggi atau menengah relatif kurang berorientasi pada pasar ekspor dibanding dengan produk-produk dari sektor manufaktur lainnya. Hal ini memberi kesan bahwa tidak terlalu banyak pengembangan teknologi tinggi dan menengah, dan jenis kandungan teknologi belum merupakan faktor dalam daya saing internasional bagi produk-produk Indonesia.

Demikian juga halnya dalam isu pengembangan SDM. Di balik kesenangan yang luar biasa untuk menjadikan masalah ini sebagai kata putus bagi semua problem pembangunan, situasi yang berlangsung justru menunjukkan kian merosotnya produktivitas dan mutu pemikiran yang dilahirkan garba-garba ilmu pengetahuan. Dalam Indikator Luaran (output indicator) Iptek yang diterbitkan oleh Papitek-LIPI 1995, diperlihatkan bahwa hampir semua indeks yang menunjukkan produktivitas ilmu di Indonesia, mulai dari jumlah publikasi ilmiah, kepengarangan bersama, hingga jumlah paten yang dihasilkan, masih jauh dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh negara-negara jiran.

Paradoks-paradoks seperti itu sesungguhnya tidak bisa disusutkan menjadi sekadar persoalan rumah tangga keilmuan, tetapi merupakan cerminan yang paling telanjang dari kinerja politik nasional yang diam-diam menyusup dalam bentuk kekisruhan yang melanda jagat politik ilmu pengetahuan.

Kecenderungan elitisme politik seperti yang ditunjukkan oleh kebijakan massa mengambang tampaknya diikuti oleh kecenderungan elitisme ilmu pengetahuan. Isu dan kepentingan pengembangan teknologi tinggi hanya melingkar-lingkar di kalangan teknokrat (baca: teklonog) atau pengusaha kerabat, dengan tidak merasa penting menghadirkan aspirasi dan partisipasi masyarakat luas. Pada tahap selanjutnya urusan pengembangan teknologi direduksi habis-habisan menjadi sekadar perkara keteknikan (artefak).

Ketika tantangan penguasaan teknologi didefinisikan sebatas peningkatan penguasaan technospere, maka akar sosial dan dimensi sosial teknologi diputuskan. Akibatnya, bukan saja membuat masyarakat teralienasi dari isu pembangunan teknologi, tetapi juga membuat proses periferalisasi dalam dunia ilmu pengetahuan itu sendiri---yakni terpinggirkannya ilmu-ilmu sosial dan humaniora dari percaturan. Situasi inilah yang sempat dikeluhkan oleh Prof. Sudiono M.P. Tjondronegoro (Kompas, 3 Februari 1996) dan Mohamad Sobary (Kompas,6 Maret 1996).

Persoalannya tidak selesai di situ. Ketika teknologi tercerabut dari akar sosiokultural dan ilmu sosial-kemanusiaan, yang terjadi kemudian adalah gejala pembusukan di dalam dirinya sendiri. Tanpa partisipasi rakyat dan ilmu-ilmu sosial, upaya pengembangan teknologi tidak saja kehilangan dimensi kemanusiaannya tetapi juga menumpulkan visi inovatifnya. Seperti disebutkan oleh D. Eleanor Westney, temuan-temuan inovatif dalam perkembangan teknologi kerap kali memiliki jangkar inspirasinya dalam pemahaman terhadap kebutuhan dan pengembangan masyarakat. (Lihat karyanya, Imitation and Innovation: The Transfer of Western Organizational Patterns to Meiji Japan, Harvard University Press, 1987).

Apa yang disebut dengan gerak perkembangan teknologi sesungguhnya merupakan siklus-siklus di sepanjang lintasan proses kerekayasaan. Dalam proses ini, yang menjadi tumpuan penting adalah keandalan dalam perumusan conceptual design. Dan untuk keadaan ini unsur-unsur yang dipertimbangkan bukan hanya aspek keteknikan, tetapi yang lebih penting justru visi sosial di sekitar kondisi masyarakat dan perkembangan di masa depan. Meminjam kata-kata almarhum Prof. Sutami, dalam urusan pembangunan jalan tol, sejatinya pertimbangan teknik hanya mengambil porsi sekitar 25 persen, adapun sisanya justru pertimbangan-pertimbangan sosial.

Pertimbangan sosial di sini tampaknya tidak saja berkaitan dengan sumber-sumber inspirasi bagi inovasi keteknikan, tetapi yang lebih ditekankan adalah kenyataan bahwa secanggih apa pun tingkat penguasaan teknologi dan rekayasa industrial, tanpa didorong oleh kesiapan masyarakat untuk menceburkan diri dalam proses itu, jangan diharap akan melahirkan suatu transformasi teknologi dan industri yang berhasil.

Masyarakat adalah medan dan aktor yang sesungguhnya dari segala perubahan. Oleh karena itu, lagi-lagi menurut Westney, syarat perlu bagi upaya transformasi teknologi dan industri adalah upaya mengembangkan struktur sosial yang kondusif ke arah itu.

Pernyataan terakhir ini dikatakan oleh Westney setelah melakukan studi terhadap pengalaman industrialisasi Jepang. Kesadaran Jepang akan pentingnya pertimbangan sosial dan penataan organisasi sosial yang kondusif ke arah pengembangan industri telah mempengaruhi strategi alih teknologi yang dikembangkan. Dalam strategi Jepang, apa yang perlu dilakukan pertama kali bukanlah transfer aspek-aspek keteknikan, melainkan pola-pola organisasi (manajemen) industrial yang dikembangkan di negara-negara Barat. Selama restorasi Meiji berlangsung (sejak 1868) tak sedikit Jepang mengimpor model-model organisasi Barat, seperti manajemen pos, telekomunikasi dan angkutan laut dari Inggris; pendidikan dasar dan tentara dari Prancis; sistem bank nasional dan kolese pertanian dari Amerika Serikat; perbankan (Bank of Japan) dari Belgia, dan lain-lain.

Situasi demikian berbeda dengan apa yang ditempuh Indonesia. Di sini persoalan manajemen teknologi bukan saja sering diabaikan, tetapi malah sering kali dikerdilkan agar tetap tergantung pada suatu tangan tertentu. Lemahnya perhatian terhadap sisi manajemen ini lagi-lagi menyingkapkan adanya elitisasi (birokratisasi) pengetahuan dan tercecernya visi sosial pengembangan teknologi. Padahal kelemahan di bidang manajemen ini berdampak luas pada kinerja pengembangan SDM.

Tidak ada strategi pengembangan SDM yang dirancang secara sungguh-sungguh dan diletakkan ke dalam kerangka pengembangan organisasi secara menyeluruh dan terpadu. Pengiriman SDM ke luar negeri, misalnya, yang sering menjadi omongan besar itu, tidak didasarkan pada visi pengembangan organisasi dalam jangka panjang, melainkan sekadar menyalurkan hobi petualangan perseorangan secara trial and error, sekadar untuk memperlihatkan adanya program pengembangan SDM. Tidak ada misi pencarian teknologi; tidak ada upaya pengembalian SDM ke dalam kerangka pengembangan suatu gugus kerja yang saling mengisi. Akibatnya, proyek pengiriman tugas belajar dan apa yang mereka peroleh dari bangku pendidikan luar negeri hanyalah pemborosan biaya dan ilmu yang tidak bisa dimanfaatkan.

Birokratisasi dan elitisasi ilmu pengetahuan itu juga pada akhirnya melemahkan daya dukung ilmu pengetahuan bagi peningkatan kualitas pembangunan. Ketika praksis pengembangan ilmu pengetahuan disubordinasikan ke dalam proyek pengembangan teknologi yang serba elitis, pada saat itu pula berlangsung proses pengkhianatan terhadap kesejatian ilmu.

Pada tahap pertama, ilmuwan yang terlibat bukan saja akan gagal memperjuangkan aspirasi publik tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga akan gagal memperjuangkan kepentingan kalangan ilmuwan sendiri. Dalam hal ini, kalangan ilmuwan tertentu yang dianggap tidak memberikan peran dalam orientasi pengembangan teknologi akan segera menjadi kelompok yang tersisihkan. Kedua, dalam keterlibatannya sebagai penasihat atau pendukung proyek elitis itu, watak ilmu yang mereka kembangkan akan bergeser dari sifatnya yang proporsional (objective analysis) menjadi intensional (mengabsahkan pilihan-pilihan elite). Ketiga, sebagai konsekuensi dari semua itu, mereka pun otomatis akan gagal menjalankan peran sebagai juru bicara publik untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan ilmu pengetahuan.

Pengembangan teknologi terlalu berharga untuk diserahkan kepada kepentingan sekelompok penguasa atau pengusaha. Bila saat ini terdapat apresiasi luar biasa dalam upaya penegakan HAM dan demokratisasi, salah satu agenda terpenting mestinya tak boleh melupakan pencarian ruang publik dalam kebijakan ilmu pengetahuan. Peran ilmu pengetahuan dan teknologi akan semakin menentukan cara mengada dan kuasa suatu bangsa di masa depan. Inilah saatnya mempersoalkan asumsi-asumsi dasar dan pilihan-pilihan strategis dalam politik ilmu pengetahuan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar