Rabu, 21 Januari 2015

Habibie dan "Kultur Ketiga"

Ilmu dan kekuasaan telah lama bersekutu. Sejarah perkembangan ilmu lebih mudah dijelaskan dengan logika “kemauan politik” ketimbang tuntutan intrinsik pengembangan ilmu itu sendiri. Bahkan ketika tuntutan intrinsik menghendaki tahap lanjut dari perkembangan ilmu, tuntutan ini pun sulit direalisasikan tanpa dukungan politik.

Jangan dikira bahwa sebuah revolusi pengetahuan hanya bersandar pada temuan-temuan baru paradigma pengetahuan. Ketika Isaac Newton muncul dengan pikiran-pikiran revolusionernya pada tahun 1687, dia pergoki bahwa hipotesis-hipotesis fisika Cartesian mainstream saat itu pada kenyataannya sangatlah bertubrukan dengan fenomena astronomi. Tetapi untuk menarik mundur fisika Cartesian dari singgasananya, yang diperlukan Newton tidaklah melulu upaya pengungkapan rumus-rumus fisika baru.

Suatu kampanye aktif untuk mempekenalkan pikiran-pikiran revolusionernya secara sadar dilakukan. Pertama, mengetahui Raja James II meminati masalah-masalah kelautan, Newton secara sengaja mengalokasikan porsi khusus dari buku Principia-nya untuk membahas hal-hal berkaitan dengan pasang (tides), dan mendedikasikan edisi pertama dari buku tersebut kepada sang Raja dan Royale Society yang ditasbihkan sebagai patronnya. Kedua, mengingat pada masa itu kekuatan gereja sangat menentukan dalam seluruh percaturan intelektual, Newton dan para pendukungnya berusaha mengendalikan Boyle Lectures, yang berisi delapan khutbah di gereja-gereja London mengenai bukti-bukti Kristianitas. Suatu upaya yang memberi Newton sarana legitimasi dan publikasi.

Jika ilmuwan memerlukan kekuasaan sebagai sarana legitimasi politik, kekuasaan membutuhkan ilmu sebagai sarana legitimasi ilmiah. Hingga tahap ini, ilmuwan dan penguasa memiliki peran sendiri-sendiri yang bisa dibedakan. Maka ketika Francis Bacon (abad ke-17) meluncurkan kata-kata sakti “knowledge is power”, yang terbentuk dalam kesadarannya adalah pemahaman sederhana bahwa pengetahuan merupakan salah satu sarana penting kekuasaan. Di sini belum terbayangkan bahwa knowledge adalah “power” itu sendiri; bahwa menjadi ilmuwan (scientist) berarti menjadi penguasa sekaligus. Bahkan ada kesan bahwa wilayah operasi para ilmuwan hanyalah di ruang-ruang laboratorium tertutup yang naïf terhadap wilayah publik.

Karena para ilmuwan dianggap terisolasi dari publik, maka mereka dianggap tidak memiliki kompetensi politik. Tak heran, jika hingga waktu yang cukup lama, para scientist tidak dianggap berhak menyandang predikat intelektual. Inilah yang tercermin dalam buku The Two Culture-nya C.P. Snow, yang terbit pada tahun 1959. Menurut Snow, ada dua kategori kultur pemikir: yang pertama adalah literary intellectuals yang berbasis literatur dan filsafat, dan dekat dengan publik; yang kedua adalah scientist yang berbasis pengetahuan alam dan berjarak dari publik.

Kesadaran demikian baru terusik dengan munculnya fenomena-fenomena mutakhir yang menunjukkan kian dekatnya jarak science dan scientist dengan publik. Di level teori, ketika buku-buku science semacam Consciousness Explained-nya Daniel C. Dennett, Wonderful Life-nya Stephen Jay Gould, A Brief History of Time-nya Stephen Hawking, The Emperor’s New Mind-nya Roger Penrose, dan The Language Instinct-nya Steven Pinker menjadi best seller, orang pun mulai sadar bahwa scientist pun bisa menyentuh dan mendorong wacana publik.

Sementara itu, di level praktis, perkembangan teknologi yang mendorong munculnya era globalisasi dan bergesernya persaingan dunia dari sengketa ideopolitik ke imago-ekonomi telah menempatkan scientist dan teknolog sebagai “penguasa” kunci di era baru. Peran kelompok ini kian penting dengan adanya perubahan dramatis pada paradigma ekonomi.

Wacana publik telah bergeser dari wacana “ideopolitik” ke ekonomi, dan inti perkembangan ekonomi adalah teknologi. Dengan begitu, kehadiran para scientist dan teknolog pada era baru ini memiliki kompetensi politik tertentu untuk menjadi juru bicara publik, berhak menyandang predikat intelektual, dan bisa diberi jalan ke singgasana kekuasaan. Kelompok inilah yang disebut John Brockman sebagai representasi dari kekuatan “kultur ketiga” (the third culture).

Dalam konteks Indonesia, kemunculan kekuatan “kultur ketiga” ini tercermin dari figur seorang Habibie. Menempuh jalur Newton, Habibie datang dengan gagasan-gagasan accelerated evolution-nya. Dia menjalin hubungan patronase dengan Presiden Soeharto, menjadi Menristek, dan Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta---yang tak bisa diabaikan---ia memperoleh legitimasi keagamaan melalui ICMI.

Namun, berbeda dengan Newton yang berhasil mempopulerkan pemikirannya berkat dukungan tim humas yang tangguh, Habibie tampaknya gagal membawa ide-idenya dari kalangan critical mass ke massa, karena kurang mengoptimalkan peranan dari public relations. Ini terbukti dari masih banyaknya salah paham dan tuduhan tak berdasar terhadap apa yang dilakukannya.

Akan tetapi, ada hal lain yang membuat Habibie bergerak lebih maju dari Newton, yakni kemampuannya untuk tidak sekadar mencari dukungan politik bagi program-program ipteknya, tapi dia telah berhasil membawa wibawa pengetahuan menjadi wibawa politik.

Kemunculan Habibie sebagai Wapres merupakan bukti keberhasilan ini. Habibie adalah simbol dari zaman baru. Suatu zaman ketika pengetahuan bukan sekadar menjadi sarana kekuasaan, tetapi telah menjadi kekuasaan itu sendiri.

Logika penerimaan pasar memang masih sering digunakan untuk memojokkannya. Kompetensinya di bidang politik diragukan. Kehadirannya sebagai representasi intelektual dipertanyakan. Argumen-argumennya di bidang ekonomi dipandang sebelah mata.

Ada baiknya semua itu diajukan sebagai kritik. Tetapi sebaik-baik kritik adalah kritik yang memperhitungkan perubahan di dalam dan di luar. Zaman sudah berubah. Sementara ukuran-ukuran penilaian yang kita pakai masih menggunakan ukuran lampau.

Dalam ukuran lampau, Habibie memang tampak menyimpang dari mainstream. Namun, “Jika kita ingin menggagas masa depan,” tulis Ali Syari’ati, “kita harus memperhatikan secara saksama karakteristik orang yang menyimpang ini.” Kita lihat saja bagaimana pewaris “kultur ketiga” ini akan bermain di bidang politik dan sainstek nasional setelah ia tampil di pentas “Orde Reformasi”.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar