Selasa, 20 Januari 2015

Merenda Sisa-Sisa Optimisme bagi Generasi Mendatang

Berakhirnya Perang Dingin menebarkan bunga harapan yang semerbak di taman impian bangsa-bangsa. Untuk sementara, pelbagai wacana tentang bedil dan mesiu, sistem dominasi dan penghancuran ditekan ke bawah sadar. Seperti hanyut dalam optimisme Bertrand Russel (The Future of Mankind, 1984)---yang percaya bahwa kedamaian akan tiba bila terdapat hanya satu hegemoni yang memimpin dunia---banyak bangsa menaruh harapan besar pada kepemimpinan Amerika.

Uni Soviet telah bangkrut, dan layak dijadikan model kegagalan. Sebaliknya Amerika tampil sebagai “Sang Pemenang”. Maka, kisah tentang Amerika adalah kisah tentang puncak-puncak pencapaian daya-daya kreasi politik, ekonomi, dan kebudayaan umat manusia. Sebegitu jauh, sehingga Francis Fukuyama, melihat fenomena Amerika ini sebagai era akhir sejarah, “The End of History" (lihat Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, 1992).

Harapan bolehlah dipancangkan. Tapi semangat milenarian sering kali menumpulkan pedang keraguan. Tiba-tiba saja, pasukan Irak menginvasi Kuwait. Gelegak darah “Ramboisme” Amerika lekas terbakar. Hampir seluruh cadangan kemampuan sistem persenjataan dikerahkan memorak-porandakan Irak. Jarum jam bergerak cepat. Peristiwa demi peristiwa jadi batu ujian sang Hero untuk menunjukkan kesejatiannya. Dan yang kita saksikan adalah Amerika yang “tak berdaya” di Somalia, dan membisu seribu bahasa di Bosnia.

Krisis Teluk dan Tragedi Bosnia memberikan pelajaran penting, tentang betapa rawannya melancarkan totalitas kepercayaan kepada sang Homogen. Karena, kenyataannya, tak ada suatu bentuk penguasaan pun yang terbebas dari anasir kepentingan. Seiring dengan pergeseran yang terjadi pada basis-basis kekuasaan, kepentingan itu pun mengalami proses metamorfisisnya tersendiri: dari kepentingan yang bercorak ideologis (semasa Perang Dingin) menuju kepentingan yang lebih terbias ekonomis.

Tapi itu tidak berarti ancaman telah berakhir. Sebab seperti kata Toffler, cara bangsa-bangsa mengumpulkan kekayaan sama dengan cara mereka melakukan peperangan. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia perniagaan hari ini mencerminkan bentrokan persenjataan di masa depan (lihat Alvin Toffler, War and Antiwar: Survival at the Dawn of 21st Century, 1993).

Kita lihat di sini, meskipun ancaman komunisme kian surut, dan Amerika satu-satunya kuasa terkuat di bumi, tetapi situasi paradoks justru berlangsung. Yakni makin banyaknya negara yang merasa tidak aman. Umat manusia justru terus dihantui kobaran api peperangan. Sedangkan demokrasi liberal yang diyakini Fukuyama sebagai “stasiun pembebasan” bangsa-bangsa kenyataannya hanya kebebasan semu yang ditegakkan di atas penderitaan bangsa-bangsa lain. Jalan menuju demokrasi liberal, seperti kita lihat saat ini, hanyalah sebuah cara untuk mengalihkan bentuk-bentuk represi internal (di dalam negeri) menuju praktik-praktik kolonialisme baru yang lebih kompleks dan canggih.

Masalah paling akut yang kita rasakan kini adalah kenyataan bahwa capaian-capaian mutakhir di bidang ekonomi itu ternyata begitu jauh melampaui apa-apa yang bisa dibuat di bidang politik. Sebegitu rupa sehingga interaksi keduanya terasa kian menjauh. Dalam bidang ekonomi, hampir semua sudut dunia cenderung bergerak ke satu titik konvergensi, diorganisasikan ke dalam suatu unit aktivitas, ke dalam satu “pasar global”.

Sementara dalam bidang politik, yang terjadi bukan hanya terbaginya bangsa-bangsa dalam 60 atau 70 negara berdaulat seperti pada era sebelumnya, tapi unit-unit nasional itu sekarang berkembang jadi unit-unit yang lebih kecil dalam jumlah kian banyak. Implikasinya, ketegangan antara kedua tendensi yang bersifat antitesis telah melahirkan serangkaian guncangan dan krisis dunia baru.

Sementara kita dihadapkan pada tantangan dunia baru, persoalan-persoalan lama justru kian parah. Yang paling penting adalah ledakan penduduk dunia dan ketidakseimbangan demografis antara negara-negara kaya dan miskin. Sebagian besar penduduk dan laju pertumbuhannya yang paling cepat justru berlangsung di kawasan negara-negara miskin. Sedangkan negara-negara maju dengan kekayaan materi, teknologi, jaminan kesehatan, dan pelbagai fasilitas berlimpah, malah cenderung mengalami penurunan angka pertumbuhan penduduk, dengan implikasi makin meningkatnya proporsi penduduk berusia tua. Ini mendorong terjadinya mismatch dan ketidakseimbangan negara-negara maju dan miskin.

Dalam pada itu, ledakan penduduk itu sendiri telah melahirkan pelbagai tantangan ekologis yang secara kualitatif amat berbeda dengan di masa lalu. Tentu saja tidak boleh dilupakan adanya ledakan polusi yang mengerikan di kota-kota industri Eropa dan Amerika Utara. Tapi, selama paro kedua abad terakhir ini, kita menyaksikan pertumbuhan begitu cepat dalam erosi industrial di negara-negara industri baru. Gambaran ini akan semakin mengerikan jika melihat ancaman-ancaman lingkungan di negara-negara berkembang.

Jelaslah di sini, tantangan ekologis itu terkait erat dengan masalah pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini, yang paling relevan dibicarakan adalah tingginya angka pengangguran dan rendahnya kualifikasi pendidikan di sebagian besar negara berkembang. Dan di negara-negara yang paling terbelakang, persoalan pendidikan masih berkisar pada upaya untuk memperluas partisipasi di tingkat pendidikan dasar.

Persoalan yang menimpa kaum wanita lebih buruk lagi. Secara umum, jumlah wanita yang bisa mengenyam pendidikan tinggi hanya separo dari apa yang dicapai kaum pria. Bahkan ketika akses ke berbagai lembaga pendidikan lebih terbuka, kaum wanita masih menghadapi sejumlah kendala familial, institusional, kultural, dan bahkan kendala struktural.

Sementara itu, masalah pengangguran pemuda juga merupakan gambaran umum negara-negara maju. Secara umum masalah ini merupakan resultan ledakan penduduk, ketimpangan struktur ekonomi, terbatasnya kesempatan kerja, dan lemahnya kemampuan sumber daya manusia. Tapi di beberapa negara maju seperti Jepang dan Amerika, angka pengangguran ini cenderung meningkat bukan karena menyempitnya kesempatan kerja, melainkan lebih karena sindrom gaya hidup masyarakat pascaindustri. Anak-anak muda cenderung memilih pekerjaan yang lebih memungkinkan instant success, seperti mengundi nasib di bursa efek, ketimbang harus bekerja (dengan berkeringat) di pabrik-pabrik.

Persoalan pengangguran ini kian kompleks dengan adanya teknologi di negara-negara berkembang. Kenyataannya teknologi ini bukanlah sekadar benda mati, tetapi sungguh-sungguh hidup dan memiliki logikanya tersendiri. Dengan masuknya teknologi canggih banyak pekerjaan tradisional menghilang. Revolusi bioteknologi akan membuat praktik-praktik pertanian tradisional kadaluwarsa (redundant), sementara revolusi robotik mendorong terjadinya perubahan besar-besaran pengolahan (manufacturing) dan struktur pekerjaan di sektor industri.

Transformasi pertanian dan industri manufaktur ini tidaklah terjadi dalam ruang vakum, tetapi akan berkoeksidensi dengan hadirnya fenomena ledakan penduduk. Sungguh ironis, ketika jutaan penduduk masih menunggu antrean panjang menunggu panggilan kerja, integrasi bioteknologi di dunia pertanian dan robotika di sektor manufaktur justru membuat banyak pekerjaan kasep.

Masalah ini akan dipersulit oleh hadirnya kecenderungan ke arah globalisasi ekonomi. Kecenderungan ini bukan saja membuat kompetisi antarbangsa kian ketat, tapi juga mendorong terjadinya relokasi-relokasi industri yang dilakukan perusahaan-perusahaan multinasional (MNC). Bagi negara-negara berkembang, kehadiran mereka sering kali tidak cocok dengan kemampuan sumber daya lokal, dengan konsekuensi bukan saja kurang mendorong ke arah transfer teknologi bagi negara-negara berkembang, tetapi juga mengancam kemampuan kerja bagi penduduk setempat. Sementara bagi negara-negara maju sendiri, sikap mereka yang cenderung tak “mengakar” (rootless) itu pun sering mengganggu stabilitas ketenagakerjaan.

Akibatnya, masyarakat lokal di negara-negara maju dan seluruh negara berkembang, akan sulit menerima logika pasar dunia jika itu ternyata justru merugikan mereka. Sementara arus kegiatan ekonomi dan teknologi cenderung bergerak ke suatu unit aktivitas, tanpa dihalangi ruang dan waktu, kehadiran mereka di banyak kasus perekonomian justru sering menimbulkan ketegangan komersial dan instabilitas sosial yang rawan.

Sementara masih banyak negara bergelut dengan persoalan-persoalan di atas, perkembangan mutakhir di bidang teknologi komunikasi membawa implikasi sosial budaya yang tak terkira. Lima puluh atau enam puluh tahun lalu radio dan televisi mulai menebarkan pengaruhnya, tetapi masih terbatas di kalangan negara-negara kaya. Tetapi menjelang akhir abad ini, pengaruhnya kian mendunia. Dalam dunia lebih dari 600 juta set televisi, hampir semua agenda televisi itu diam-diam telah menjadi agenda masyarakat.

Tapi dengan posisinya sebagai perpanjangan dari kekuatan kapitalisme, kehadiran media-media komunikasi transnasional ini justru sering membawa imbauan-imbauan imajiner, berupa gaya hidup hedonistis dan ekspektasi-ekspektasi konsumeris lain yang justru menumpulkan ketahanan budaya dan daya kreasi masyarakat lokal. Jika ekspektasi-ekspektasi masyarakat ini ternyata tidak bisa dipenuhi oleh lingkungan setempat maka kerawanan sosial menjadi tak terelakkan.

Lautan krisis dan tantangan global saat ini memang makin luas dan ganas, tetapi juga terlalu dini untuk menarik kesimpulan dengan warna buram. Pertama-tama yang harus kita sadari adalah kenyataan bahwa saat ini kita hidup dalam sistem global yang sangat kompleks dan saling bergantung. Dalam sistem semacam itu, kelangsungan hidup suatu bangsa akan banyak bergantung pada hubungan-hubungan politik, ekonomi, kebudayaan dan hubungan-hubungan fungsional dengan bangsa-bangsa lain. Untuk itu kita dituntut mengembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk mempromosikan kerja sama internasional.

Dalam hal ini, kaum muda sebagai pemilik masa depan sudah sepantasnya menempati peran sentral dalam setiap upaya dan diskursus global mengenai masa depan. Amat disayangkan bahwa hingga saat ini, kebutuhan dan aspirasi kaum muda di berbagai belahan dunia masih sering diabaikan; dan integrasi mereka ke dalam proses pembangunan masih bersifat marjinal.

Faktor fundamental yang mengandung dampak negatif bagi formulasi kebijakan dan implementasinya di bidang kepemudaan adalah fakta bahwa perencanaan yang terpadu bagi pengembangan kaum muda masih belum dilakukan. Sejauh yang bisa diamati, proses implementasi kebijakan mengenai kepemudaan masih belum efektif karena alasan-alasan sebagai berikut:

Pertama, masih sempitnya lingkup konsep pembangunan yang ada; yang lebih menitikberatkan dimensi-dimensi ekonomi di atas pertimbangan-pertimbangan sosial. Sehingga program-program pengembangan kepemudaan hanya mendapatkan porsi yang amat kecil dari alokasi pembangunan.

Kedua, sering terjadi perbedaan amat serius di antara pelbagai kebijakan sosial yang ada; yang cenderung terfragmentasi secara sektoral (dan memiliki derajat persebaran yang amat luas). Di banyak negara, perencanaan mengenai kepemudaan belum dilakukan terintegrasi, lintas-sektoral, dan terkoordinasi secara baik (lihat Marie Spaey, 1994).

Tapi kelemahan dan kelambatan pada level pemerintahan ini, justru harus diatasi dengan berbagai inisiatif dan partisipasi masyarakat. Para pemuda perlu terus melakukan dialog dan kerja sama antarbangsa, untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri dan tantangan-tantangan yang menghadang umat manusia di seluruh dunia. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu komitmen dan formula baru dalam rangka menggagas masa depan dunia yang lebih baik.

Hal yang tak boleh dilupakan, sebagai pewaris masa depan, kaum muda tidak cukup hanya jadi penonton pasif yang meratapi keadaan. Mereka harus diperlengkapi kerangka etis, semangat dedikasi, sense of fairness, kesediaan saling berbagi dan bekerja sama, memiliki visi ke depan dengan rasa toleransi menerima keragaman, serta mau membuka diri penuh cinta untuk yang lain.

Karena itu, tepatlah kiranya jika kita senantiasa menempatkan agenda “Unity and Diversity: A New Challenge Towards a Better World for Future Generation” yang pernah digagas oleh CIDES (Center for Information and Development Studies) bekerja sama dengan The Future Generations Alliance Foundations (Jepang) pada penghujung 1994 silam.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar