Rabu, 07 Januari 2015

Menuju Debat Beragama Secara Produktif

Tulisan ini berawal dari upaya untuk mengajak kita semua melewati jembatan penuh ranjau dalam "menuju debat agama secara terbuka dan produktif". Catatan singkat ini merupakan respons saya atas salah satu tulisan seorang intelektual ternama, Prof. M. Dawam Rahardjo. Meskipun belum menggunakan seluruh perangkat pisau bedah yang dimilikinya, tulisan M. Dawam Rahardjo, "Di Sekitar Cara Mendiskusikan Pendidikan Keagamaan Akhir-Akhir Ini (Republika, 8 Februari 1994), cukup menggugah kita akan gawatnya perbedaan pendapat jika hal itu tidak dikendalikan oleh akal sehat, lapang dada, dan kejujuran ilmiah.

Memang agak disesalkan, dalam kapasitas sebagai pemamah filsafat yang setia, Mas Dawam hanya "membaca" teks "ngawur" dari para penyerang Nurcholish Madjid sebatas ekspresi amarah penghujatan as it is. Padahal, sebenarnya beliau bisa membongkar struktur-struktur simbolis yang mengemuka, untuk kemudian menembus makna terdalam di balik teks-teks yang mencurigakan itu, hingga dikenalilah motif-motif tak sadar yang ada di belakangnya.

Tulisan ini mencoba menawarkan serba sekilas tafsir metodis atas teks-teks bernada menghujat tadi, untuk mengungkapkan problem-problem psikososial keumatan yang memicu debat-debat tidak produktif yang berkembang akhir-akhir ini.

Dominasi dan Inferioritas

"Apalah artinya dialog bila masing-masing pihak tidak berada dalam posisi yang seimbang," begitu kira-kira Edward Said punya pendapat dalam sebuah karyanya Orientalism. Dalam hal ini, kendatipun banyak orang percaya akan dimensi emansipatoris dan kebijakan dialog, dia sendiri sebenarnya tak pernah terlepas dari hubungan-hubungan kekuasaan dan buhul-buhul domestifikasi. Bahkan ketika Jurgen Habermas menekan pentingnya "dialog konsensual" dan "komunikasi bebas penguasaan", sesungguhnya hanyalah cara pengucapannya yang berbeda untuk mengatakan bahwa dialog itu tidak pernah sepenuhnya bebas.

Yang dimaksud dengan hubungan-hubungan kekuasaan di sini, tidak harus dalam bentuk dominasi dengan mengerahkan alat-alat kekerasan yang telanjang, tapi bisa juga bersifat hegemonis, di mana pengendalian itu terjadi karena penguasaan akses dan penguasaan salah satu pihak terhadap medium penyampaian pesan. Dalam kaitan ini, kemampuan orang untuk "merebut" media dan kemampuan media untuk menganugerahkan sesuatu kepada seseorang merupakan faktor kunci yang menentukan siapa mengalahkan siapa, dan siapa berbicara kepada siapa.

Berbicara tentang perebutan media sebagai arena pertarungan tenaga wacana berarti berbicara tentang penguasaan informasi yang dibuahi tradisi tulis dan baca. Karena sebagian besar informasi yang ada di jagat raya sekarang ini dipicu dan disimpan dalam memori dan bahasa orang-orang Barat, maka siapa yang akan tampil sebagai "penguasa" (komunikator) media adalah mereka yang bisa bersentuhan dengan Barat atau paling tidak bisa "membongkar" paket-paket informasi dari Barat.

Persoalan terakhir inilah yang menyulut kecurigaan secara berjenjang-jenjang. Pada tingkat pertama, hegemoni Barat atas dunia Islam selama berabad-abad di berbagai front "pertempuran" (psikointelektual, sosio-politikal, material-fisikal), bukan saja telah menempatkan Barat dalam posisi superior dan dunia Islam dalam posisi inferior, tetapi lebih dari itu telah menorehkan bilur-bilur kekecewaan dan luka-luka psikologis yang amat parah.

Dalam posisi inferior, seseorang biasanya mengembangkan mekanisme pertahanan diri baik lewat pernyataan "anggur masam", kambing hitam, apologetisme, eksklusivisme, dan sebagainya. Secara demikian, kemunculan kebanyakan para pembaru pemikiran Islam yang "kebanyakan" diasuh dalam tradisi pendidikan Barat ini berada dalam ruang sejarah yang kisruh, yakni ketika hutan kecurigaan terhadap Barat masih belum menemukan musim rontoknya.

Oleh karena itu, betapa pun mereka berusaha meyakinkan posisinya sebagai juru bicara Islam, setiap ide baru keagamaan yang dilontarkannya justru dianggap sebagai hujan bom ketundukan kepada Barat.

Penghujatan itu diperparah oleh kecurigaan pada tingkatan selanjutnya. Mempelajari Islam di negara-negara Barat sama artinya berburu kepada macan-macan orientalis di sarangnya sendiri. Padahal yang namanya orientalis itu (dianggap) identik dengan tipu muslihat, pendistorsian, dan penjungkirbalikan ajaran Islam. Singkat kata, Islam versi para orientalis itu identik dengan Islam sesat. Mungkinkah umat harus mendengar wacana-wacana para intelektual ternama yang telah di-brain-washing dengan ajaran-ajaran sesat?

Bagi para obskurantis yang memandang dirinya sebagai agen yang berhak memonopoli "jaringan pasar kebenaran", terang saja kevokalan para "westernis"---karena akses mereka terhadap media dan kemampuan media membuat agenda setting masyarakat---dianggap sebagai faktor yang menggoyahkan status quo keagenannya. Maka, tak ada jalan lain kecuali melancarkan serangan. Karena kurang menguasai jurus keilmuan dan teknik menggiring bola pesan untuk meng-counter attack permainan total football para "westernis", mereka cenderung menampilkan serangan-serangan sporadis.

Alienasi Kesadaran

Akan tetapi, betapapun tidak beralasannya serangan-serangan para obskurantis terhadap para pembaru pemikiran Islam, tidak mungkin serangan itu bisa bertahan lama tanpa ada pembenaran empirisnya. Derajat tertentu dari kekurangan-kekurangan para pembaru memang turut menyulut api resonansi perdebatan. Kekurangan ini tampaknya bisa dilacak dari watak dan sejarah teks yang mendarahinya.

Sebagai kalangan yang dibesarkan dalam pola asuhan tradisi tulis dan baca, para pembaru ini memang bisa dimengerti bila mengandung bias sebagai halnya karakteristik media cetak itu sendiri. Bila media lisan---yang menjadi tradisi obskurantis---memiliki bias pada suara sehingga melahirkan keakraban sosial dan ikatan erat dengan umatnya, maka media cetak memiliki bias pada penglihatan dan melahirkan sistem perseptual yang linier, urutan sekuensial, serta kecenderungan menata dan mengatur berdasarkan susunan tertentu, sehingga cenderung melahirkan individualisme dan jarak dengan umatnya.

Bila tradisi ini berkoeksidensi damai dengan tradisi keilmuan Barat yang overspecialized dan "terlalu objektif" sebagai warisan dari paradigma positivisme yang selama berabad-abad mengukuhkan dominasinya, maka kecenderungan ke arah alienasi kesadaran menjadi sulit dielakkan.

Dalam hal ini, studi keagamaan yang dikembangkan di Barat sedikit banyak tunduk pada tradisi ilmu-ilmu empiris-analitis di mana agama (sebagai objek kajian) dapat diobjektifikasikan sepenuhnya berdasarkan hubungan subjek-objek yang "bebas" kepentingan. Lalu, sebagai objek kajian, agama bisa dipecah ke dalam berbagai spesialisasi yang satu sama lain boleh jadi tidak saling menggenapkan.

Karena setiap infosfer bisa mempengaruhi psikosfer, maka kecenderungan berikutnya bisa segera mewarnai sikap keberagamaan para cendekiawan kita. Yang menjadi kesibukan mereka hanyalah mencatat perkembangan para pemikir Islam bukan mengembangkan pemikiran Islam. Mereka asyik belajar tentang agama tapi sedikit yang belajar (ber-)agama. Lalu muncullah praktik-praktik pemberlakuan double standard dalam praksis tindakan sehari-hari. Sebagai ilmuwan keagamaan, mereka tak lepas dari masalah ini.

Tetapi dalam dinamika perkembangan umat, mereka sebenarnya lebih berperan sebagai pengamat ketimbang pelaku yang berkeringat. Lebih tampil sebagai pengkritik yang cerdas ketimbang pembangun yang konstruktif.

Para "aktivis" keagamaan jelas tidak bisa menerima untuk melulu dikritik dan diusik, sementara yang mengkritik dan mengusiknya tidak menunjukkan otentitas dirinya sebagai pribadi-pribadi yang pantas digugu dan ditiru. Jika sudah begini, jangan salahkan jika mereka membabi buta.

Kesiapan Berefleksi Diri

Kesejatian suatu teks tidak bisa dinilai dari arti harfiahnya saja, melainkan memperoleh kepadatan isinya dari tindakan seseorang. Oleh karena itu, para cendekiawan tidak bisa hanya memperlengkapi dirinya dengan rasio teoretis murni yang sekadar berkepentingan untuk menjawab: apakah yang dapat saya ketahui. Tetapi, mesti disokong oleh rasio praksis murni untuk menjawab: apakah yang harus saya lakukan.

Sudah saatnya para opinion leader ini mengeluarkan agama dari kamus istilah ilmu lantas menjadikannya sebagai darah dalam urat nadi kehidupan sehari-hari. Untuk sampai pada jalan itu, pintu yang harus dilewati adalah kesiapan untuk berefleksi diri. "Di dalam kekuatan refleksi diri," ujar Habermas, "pengetahuan dan 'kepentingan' adalah satu." Wallâhu a'lam bish-shawab![]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar