Minggu, 04 Januari 2015

Sebuah Prolog: Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan

Ali Syari’ati, sosiolog kondang dari Iran pada paro kedua abad ini, mengibaratkan masyarakat seperti sebuah kerucut. Pada wilayah paling bawah ada massa rakyat yang banyak, sementara di atas itu ada sekelompok elite. Kaum intelektual penghuni wilayah kerucut paling atas bergabung dengan elit lainnya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak pernah bergabung dengan massa alit alias wong cilik, akan tetapi selalu bersama kelompok elite, bahu-membahu memelihara stabilitas status quo.

Di luar kelompok tadi, pada setiap zaman ada kelompok yang tidak bisa dimasukkan pada kelompok massa karena pengetahuannya yang tinggi, akan tetapi, juga tidak bisa digabungkan pada kelompok elite karena keusilannya menampilkan gagasan-gagasan kontroversial yang sering membuat “merah kuping” banyak kalangan. Mereka menyimpang dari mainstream, melenceng dari Zeitgeist, dari nada zamannya. Mereka itulah kelompok “para pemikir yang tercerahkan” (raushanfekr). Kata Ali Syari’ati, jika kita mau melihat masa depan suatu masyarakat, maka kita harus melihat pada karakteristik kelompok yang menyimpang ini. Merekalah yang bakal membentuk masa depan.

Hipotesis Syari’ati ada benarnya. Dalam konteks Indonesia misalnya, kelompok inilah yang selalu bertindak sebagai avant gardre dalam momentum-momentum penting sejarah perjuangan bangsa. Merekalah yang mengilhami gerakan-gerakan kebangkitan nasional, merekayasa Sumpah Pemuda, mendesak percepatan proklamasi kemerdekaan Indonesia, mengganyang Orde Lama, membuat Orde Baru yang congkak terpental dari sejarah, dan secara setia terus mengontrol pengamalan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam atmosfer kehidupan reformasi. Celakanya, kelompok ini jualah yang sering mengilhami dan mementori aksi-aksi mahasiswa, berani melontarkan hinaan terhadap “bapak-bapak”, doyan mengungkit-ungkit kemapanan, serta terampil membongkar aib banyak pihak. Sehingga kemudian mereka pun sering disumpahserapahi, dimusuhi, dan digelari “anak-anak kurang ajar”.

Lalu, muncullah semacam pertanyaan etis; sedemikian besarkah dosa mereka sehingga perlu “dikucilkan”? Mengapa para calon pengawal masa depan bangsa ini malah kita campakkan? “Kapankah kita sadar bahwa kita sedang membunuh benih-benih kreatif dan unsur dinamis bangsa ini?” tanya Arief Budiman.

Mempermalukan Masa Lalu

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, ada baiknya kita merenungkan kembali filsafat sejarah Arnold Toynbee dalam A Study of History mengenai psikologi runtuhnya kebudayaan-kebudayaan umat manusia. Menurut Toynbee, apabila kebudayaan tumbuh dari jawaban yang berhasil atas tantangan yang dihadapi masyarakat, maka kehancuran kebudayaan terjadi karena ketiadaan tenaga kreatif dalam kelompok minoritas yang ada dalam masyarakat, yaitu kelompok minoritas yang biasanya memimpin kelompok mayoritas yang tidak kreatif. Ketiadaan kelompok kreatif yang sedemikian itu dengan sendirinya membuat kelompok mayoritas menjadi kehilangan arah sejarah, yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi sosial.

Mengenai sebab-musabab bermulanya ketiadaan tenaga kreatif kelompok minoritas, Toynbee melihatnya dari segi hubungan antara seseorang yang menghasilkan suatu kreasi (tenaga kreatif) dengan para pengagumnya serta dampaknya terhadap upaya raksasanya. Apabila kreativitas pertama-tama merupakan bentuk jawaban seseorang yang melahirkan kreasi itu terhadap tantangan yang dihadapi masyarakat, maka keburukan kreativitas terletak pada keterpesonaan para pengagumnya yang mencapai peringkat pengkultusan.

Pada saat itu, secara tidak sadar orang yang melahirkan kreasi tersebut akan merasa puas dengan keberhasilan yang telah dicapainya dan ia menjadi kembali tidak mampu memberikan jawaban yang berhasil terhadap tantangan baru. Dalam keadaan yang demikian ini, tenaga-tenaga yang tersembunyi tidak mampu lagi melahirkan kekuatan-kekuatan raksasa di mana kreativitas tetap diwarnai kesungguhan dan orisinalitas.

Hal ini karena seorang yang kreatif pada waktu itu didudukkan para pengagumnya pada posisi yang tertinggi akan kembali tidak mampu melanjutkan kreativitasnya. Rahasia keberhasilannya pada fase pertama menjadi hambatan baginya untuk tetap berkreasi. Ini karena timbulnya kondisi-kondisi baru dan ia tidak memiliki apa yang bisa disajikan pada para pengagumnya kecuali dengan mengulang-ulang keberhasilannya di masa lampau.

Padahal kebutuhan-kebutuhan baru selalu timbul tetapi ia tidak mampu menyajikan kepada mereka suatu kreasi baru. Tidak hanya itu saja, malah ia juga menghalangi timbulnya pribadi kreatif baru dari generasi selanjutnya. Dengan demikian, pribadi kreatif dari generasi terdahulu pun menjadi masuk dalam kelompok pelopor para penentang pribadi-pribadi kreatif selanjutnya yang mampu memberikan jawaban atas tantangan yang ada.

Nah, sekarang izinkanlah saya menjawab pertanyaan Arief Budiman tadi: Mengapa kita memusuhi benih-benih kreatif dan unsur dinamis bangsa ini? Bukankah ini suatu isyarat bahwa perjalanan bangsa ini sudah terlalu lelah dikendalikan oleh minoritas kreatif masa lalu yang telah mandek dan bersifat anakronistis. Sementara nilai-nilai, sikap, dan tuntutan-tuntutannya sudah sedemikian berbeda dengan apa yang dianut dan diperjuangkan oleh minoritas kreatif masa kini?

Tidakkah ini juga sebagai kila-kila bahwa logika zaman Orde Baru seringkali terlalu agung mendefinsikan kualitas generasi masa lalu sebagai cara untuk menutup-nutupi impotensi masa kini serta sebagai kiat pembenaran untuk mewariskan (baca: memaksakan) kepentingan-kepentingan kita terhadap generasi masa depan yang pada akhirnya menganggap tuntutan sebagai ancaman, koreksi sebagai subversi dan kreativitas baru sebagai mempermalukan masa lalu?

Pengingkaran Kreatif

Mestinya kita tidak perlu terlalu kecewa bila sistem politik dan praktik-praktik pembangunan selama ini masih cukup responsif sehingga membuka kemungkinan untuk menampung aspirasi dan koreksi. Kita berkeyakinan bahwa stabilitas politik yang kita perjuangkan selama ini bukanlah stabilitas yang beku, yang meniadakan tampilnya kemungkinan alternatif-alternatif baru, dengan menampilkan segala bentuk tuntutan (demands) demi tercapainya kebulatan dukungan (support).

Ini perlu kita tekankan karena dinamika kebudayaan (baca: pembangunan) di mana pun selalu bergerak dalam irama dialektika suatu tradisi dan reformasi, antara integrasi dan disintegrasi, antara kesepakatan dan pengingkaran. Bila tradisi, integrasi, dan kesepakatan diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidup dan pembentukan identitas bangsa, maka reformasi, disintegrasi, dan pengingkaran dibutuhkan untuk membuka peluang bagi pembaruan dan pengembangan kebudayaan. Maka kesadaran historis inilah sebenarnya yang harus didenyuti oleh Orde Reformasi kalau ia tidak ingin mengulangi kembali kesalahan generasi lama.

Kesadaran bahwa masalah pengingkaran tidak selalu bermakna buruk bagi dinamika pembangunan, kian memperoleh momen aktualitasnya bila dihadapkan pada konteks Indonesia dan dunia kekinian. Ketika separo umat telah menjadi “manusia organisasi” yang tidak sadar bahwa dia tidak lagi berdaya untuk tidak taat. Individu sudah terjinakkan sedemikian ampuh sehingga dia bukan hanya menyembah suatu otoritas tapi malah menerimanya dengan senang hati.

Birokrasi (warisan) Orde Baru, misalnya, tampil di depan kita dalam postur yang sedemikian gigantis sehingga kita tidak berani lagi berpikir untuk menentangnya. Dan, manakala praktik-praktik pendidikan yang diterapkan pada anak cuma dijalankan atas dasar kepatuhan bukan berlandaskan semangat pertukaran pikiran. Serta pada saat banyak orang hidup tenteram dalam kungkungan magis-konsumeristis, maka kebajikan untuk berani membangkang adalah sesuatu yang amat didambakan untuk menjaga keseimbangan jalannya kebudayaan.

Di sinilah diperlukan semacam keraguan lain. Suatu sikap skeptis yang serentak terhadap nilai-nilai yang menutupi banyak kenyataan buruk dan percaya pada hal-hal baik yang belum ada tapi potensial bisa ada. Kepribadian untuk masa kini adalah merdeka sepenuhnya di tengah ikatan-ikatan rutin dan bertumbuh subur di tengah dunia yang kerdil.

Gerakan-gerakan mahasiswa di tanah air ini telah mempunyai suatu tempat yang sangat spesifik. Dan, kini gerakan-gerakan tersebut dengan susah payah berusaha tampil kembali, mengagetkan banyak pihak karena kelancangannya mengatakan “tidak” kepada tuntutan-tuntutan tertentu, justru pada saat hampir semua pihak menyatakan “ya”.

Di sini menurut saya, dibutuhkan semacam kearifan untuk mentakbir pelajaran-pelajaran yang mereka ekspresikan lewat aksi-aksinya yang nampak kurang ajar. Adakah mereka menunjukkan suatu kecenderungan fanatik untuk menampilkan ambisi mereka sendiri yang barangkali kurang memperoleh ruang aktualisasi yang memadai di negeri ini? Atau, barangkali mereka cuma ingin meladeni panggilan sejarah untuk menegakkan ajaran moral, sebagai simbol perjuangan kaum intelektual?

Mungkin juga mereka ingin menyampaikan kehendak baik dalam pengertian turut berpartisipasi dalam pembangunan nasional sesuai dengan kacamata dan cara “pengucapan” mereka sendiri? Semua pertanyaan di atas saya kira perlu dipertimbangkan secara matang, karena pemahaman terhadapnya akan menentukan sikap dan reaksi terhadap mereka. Apakah sepantasnya perlu digebug, atau sebaiknya terus dibiarkan menjalankan perannya sebagai pengingkar-pengingkar kreatif.

Ketergesa-gesaan mengambil keputusan secara emosional, bisa jadi menyenangkan untuk sekadar melancarkan “balas dendam”, tetapi boleh jadi berakibat buruk bagi kehidupan bangsa dalam jangka panjang. Sebab, bila pengingkar-pengingkar kreatif itu terus-menerus digunduli, akan menjadi sulit rasanya untuk mencari pihak lain yang---oleh karena spontanitas usia, desakan-desakan vitalitas dan kepercayaan kepada masa depan bangsa---masih mau mengambil risiko sebagai tumbal-tumbal pembangunan, ketimbang penikmat-penikmat pembangunan.

Sampai di sini, sekali lagi kita bertanya: minoritas kreatif yang selalu peduli dan memperingatkan, yang resah dalam ketidakseimbangan, haruskah kita kucilkan? Atas nama masa lalu, tegakah kita membunuh masa depan? Lantas, kalau demikian halnya, masih adakah sisa harapan yang tersimpan di laci impian, bila atas nama ambisi masa lalu orang-orang tega membunuh masa depan?

Di panggung politik dan budaya, ketika inovasi dan kreativitas memagut, banyak gugatan yang mencocor perkara kemacetan alih generasi. Lantas, sebagai pil penenangnya, para sutradara segera mengganti para figuran lama yang telah basi dengan wajah-wajah baru yang lebih “elok”, tetapi tidak sampai pada aktor utama, apalagi soal ide ceritanya. Maka yang tampil di hadapan kita adalah generasi kesurupan yang tunduk di bawah remote control arwah masa silam. Gentayangan di setiap pojok budaya, membayang di saban momen peristiwa.

“Tidak,” kata Slamet Gundul, penjahat kelas kakap yang telah mendekam di penjara Cipinang. “Saya mohon demi Tuhan. Semoga tidak terjadi alih generasi. Saya ingin lekas pergi ke Semarang, untuk mengeluarkan anak-anak saya dari lingkungannya sekarang. Sebuah lingkungan ‘masa lalu’ yang telah melahirkan jalan sejarahku.”

Ada cahaya kearifan yang meluncur dari kelam masa lalunya. Apalah artinya alih generasi jika itu berarti hanya mengganti sekrup-sekrup lama dengan baut-baut yang lebih baru, tetapi tidak dalam mesin visi idealisme? Bukankah setiap generasi memiliki dunia makna sendiri-sendiri? Maka setiap nilai-nilai lama yang ingin terus tumbuh, tidak boleh hanya melewati saluran “pelestarian”, melainkan perlu dimasukkan ke dalam kremasi kritik, inovasi, dan sintesis kreatif.

Tetapi mengapa kearifan semacam itu malah terlahir dari balik terali penjara? Sementara di luar itu, para penjaga “moral bangsa” justru tak henti-hentinya memproyeksikan borok sejarahanya pada generasi mendatang lewat sejumlah ancaman dan keharusan, dengan dalih pewarisan nilai?

Lalu apa sesungguhnya yang mereka wariskan buat masa depan? Di rumah, para orangtua rajin berkhutbah tentang pentingnya kerukunan antarkeluarga, menjaga tertib hidup, serta keharusan belajar tekun, lantas segera meninggalkan anak-anaknya di meja makan dengan kesepian yang panjang. Demi alasan hidup layak, mereka rela menukar kasih sayang dengan lipatan uang, dan mengganti hangatnya dekapan dengan aneka game watch. Tiba-tiba dering telpon berbunyi, dari kejauhan sang Ibu menyapa: “Halo sayang, apa PR-nya sudah dikerjakan? Papa sudah pulang? Oh, kalau belum datang, tolong kabarkan nanti, Mama pulang agak terlambat.”

Sepi di dalam membawa anak ke luar rumah. Di sekolah dan di masjid anak-anak diajarkan nilai-nilai ideal masyarakat: seperti perlunya sikap bersaudara, bekerja keras, jujur, bersikap adil, dan mengejar prestasi. Tetapi pada saat yang sama, guru-guru sekolah rajin bolos, nilai ujian bisa “diatur”, dan mimbar pengajian sering berubah menjadi seruan kebencian. Galau di sekolah, mereka memburu kepastian di lingkungan masyarakat. Tapi yang ditemui adalah praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan jabatan, penyerobotan dan mentalitas menerabas, penerimaan pegawai yang tidak transparan, prostitusi sosial yang dihalalkan, kesenjangan sosial dan penindasan struktural yang dipertontonkan.

Sementara itu, dalam kondisi krisis nilai serta kelangkaan orangtua yang baik hati, guru yang bijaksana, dan tetangga yang ramah, media televisi dengan acara-acara yang hangat dan mendidik, tulen, dan memesonakan, kian setia menemani mereka, menjadi penghibur bagi yang frustrasi dan kawan setia bagi mereka yang kesepian. Tetapi mereka tidak tahu, bahwa televisi bagi mereka tak ubahnya Duryudana bagi Karna: kawan setia tapi diam-diam menyesatkan. Seperti kata Ernest van den Haag (1968), orang mungkin berpaling pada media massa bila ia kesepian atau bosan. Tetapi, sekali media massa menjadi kebiasaan, ia dapat merusak kemampuan memperoleh pengalaman yang bermakna.

Semua “media massa” pada akhirnya mengasingkan orang dari pengalaman personalnya, dan walaupun tampak mengguncangkan, media massa memperluas isolasi moral sehingga mereka terasing dari yang lain, dan realitas diri mereka sendiri. Dengan demikian, media massa menimbulkan depersonalisasi dan dehumanisasi. Media massa sering menampilkan lingkungan sosial yang tak sebenarnya, sehingga “menipu” manusia dan memberikan citra yang bias tentang dunia. Tambahan, menurut Lee Loevinger dalam teori reflective-projective-nya bahwa media massa adalah cermin masyarakat yang menampilkan suatu citra yang ambigu---menimbulkan tafsiran yang bermacam-macam---sehingga pada media massa setiap orang memproyeksikan atau melihat citranya. Media massa mencerminkan khalayak, dan khalayak memproyeksikan citra pada penyajian media.

Dengan demikian, acara-acara televisi bisa memperkukuh dan meneguhkan sikap hidup penontonnya. Celaknya, serbuan acara televisi yang masuk ke mari hanya sedikit yang berbau edukatif dan mengandung muatan moral. Kebanyakan adalah film-film kekerasan, dan semi pornografis, yang dalam keadaan anomi (keguncangan nilai), bisa saja muatan-muatan pesan yang dikandung di dalamnya ditiru dan dijadikan model alternatif untuk menyalurkan hasrat aktualisasi dirinya. Model tiruan dari media ini sering kali mentok dan kalah ketika harus mencapai tujuan-tujuan tertentu lewat cara-cara yang absah dan terlembaga.

Namun akibatnya, bila bias pengaruh media ini berkoeksidensi damai dengan kondisi rumah, sekolah dan negara, yang kemudian menjadi saluran banjir keluh kesah dan buih omong kosong, maka luapan kekecewaannya menjadi tak tertahankan. Lihatlah, sekarang mereka mulai menjadikan setiap tempat sebagai ajang pertempuran. Di Jakarta dan sekitarnya, tempat-tempat keramaian adalah wilayah yang tepat untuk menggelar “peperangan” adu gengsi antarpelajar. Di Semarang, lempangnya jalan merupakan sirkuit yang nyaman untuk unjuk kebolehan dalam merenggut nyawa pejalan atau menghajar setiap perintang. Di Bandung, beberapa anak SMP tanpa perlu punya alasan tega menghajar para pengendara motor dan menghancurkan mobil orang. Dan yang lebih fantastis, di kota pelajar Yogyakarta, dua orang pelajar SMA, di sekolah yang berbeda, membuka sesama temannya persis di muka kelas. Rekaman sekeping dunia remaja itu masih terngiang di telinga kita.

Tak ada alasan untuk membenci diri sendiri. Masih ada hal-hal lain yang perlu dijadikan kambing hitam. Lihat toko itu, pandanglah rumah-rumah mewah itu, tataplah polisi itu. Sikat, serbu, kecoh! Maka di Pasar Baru dan Lebak Bulus (Jakarta) mereka merusak gedung dan rumah-rumah mewah. Sedangkan di Pasar Minggu (Jakarta) dan di Kudus polisi dikeroyok dan bahkan meninggal dalam adu kebut.

Dalam situasi seperti ini, tidak ada tempat lagi bagi Max Weber untuk berfatwa, bahwa kota adalah tempat yang direncanakan bagi kelompok “berbudaya” dan “rasional”. Kota-kota “organik”-nya Mamford---yang mengekspresikan tatanan moral tradisional segera berganti dengan gelisah kota heterogenik, yang penuh ambiguitas, kekerasan, dan disintegrasi sosial. Adapun berbagai bentuk kebijakan agama, seperti baik hati dan kasih sayang mulai hancur digantikan oleh kekerasan yang brutal dan anarkis. Kota bagaikan lautan api. Meminjam ungkapan film Street of Fire yang disitir oleh Akbar S. Ahmed dalam Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam, “Kita tidak lagi bisa berbicara dengan fasih tentang kembali ke hutan. Bahkan, di kalangan binatang di hutan, tata tertib di pelihara. Dan dalam kelompok keluarga terdapat perlindungan dan perhatian yang lebih besar ketimbang di dalam banyak masyarakat manusia.”

Kota-kota di sekitar kita benar-benar telah mengalami proses degenerasi, kekalutan, dan mimpi buruk yang tak tahu kapan berakhir. Setiap orang, tak peduli para penganjur moral Pancasila, harus berintrospeksi yang berkelanjutan. Para orangtua dan pendidik mesti berjuang lebih keras lagi, tentang bagaimana belajar “berbicara” kepada anaknya. Dan, di setiap “Hari Anak”, umpamanya, kita tak cukup hanya membuat spanduk dan ucapan selamat. Diperlukan keseriusan dan keikhlasan yang sangat, untuk membebaskan anak dari mimpi buruk masa lalu. Seperti kata Khalil Gibran: Mereka lahir dari kamu tetapi bukan milikmu. Mereka adalah putra-putri sang hidup yang melesat ke masa depan.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar