Sabtu, 10 Januari 2015

Dari Ekspresi Politik ke Ekspresi Kultural

Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bukan saja menandai babak baru sejarah Indonesia, tapi juga membawa pengaruh yang besar terhadap warna dakwah Islam. Hajat hidup mendasar sebuah negara merdeka, seperti kebutuhan akan ideologi dan dasar negara, lalu perangkat-perangkat demokrasi sebuah negara republik---seperti UUD, partai politik, dan lembaga pemilu---ternyata tidak bisa dipenuhi secara gampang. Malah, sebaliknya, upaya pemenuhan masalah-masalah ini telah membawa Indonesia kepada konflik-konflik saudara yang begitu mencekam.

Jika pada wilayah ideologis, konflik itu berlangsung antara kubu nasionalis Islami dengan nasionalis sekular di sekitar Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar. Di tingkat politik praktis, konflik tersebut tidak hanya terjadi di antara kedua kubu itu, tetapi juga di dalam kubu masing-masing sehingga "umat Islam" pada saat itu terpecah ke dalam partai-partai politik yang beragam, yang terlibat konflik yang berkepanjangan satu sama lain.

Begitu dalamnya konflik-konflik itu terjadi, sehingga tak heran jika masing-masing partai mengembangkan ideologi dan doktrin politiknya sendiri guna mendapatkan "jimat" perjuangan sekaligus sebagai tawaran propagandis guna memperoleh dukungan yang luas dari masyarakat. Untuk kepentingan ini, agama (dengan sandaran Kitab Suci) sering kali dijadikan klaim ideologis masing-masing partai. Teks-teks kitab suci dan hadis Nabi acap diberlakukan sebagai alat legitimasi perjuangan-perjuangan mereka, untuk menumbuhkan kesadaran palsu dalam masyarakat.

Karena agama dijadikan klaim ideologis, maka, dengan sendirinya, sarana-sarana keagamaan dan komunitas agama menjadi rebutan masing-masing partai untuk mencengkeramkan hegemoni kekuasaannya. Dalam hal ini, dakwah Islam merosot peranannya menjadi hanya kepanjangan tangan dari interes-interes politik kepartaian untuk memperluas pengaruhnya dalam masyarakat.

Dakwah dalam sekat-sekat interes politik yang manipulatif semacam itu, memang cenderung bersifat eksklusif dan menutup dirinya dari masukan-masukan luar, pikiran-pikiran kritis, kajian-kajian objektif-analitis serta medan semantik yang lebih luas. Yang pada gilirannya mengubah fungsinya sendiri dari alat penyadaran menjadi alat pemicikan, dari wahana cinta menjadi api pertikaian. Inilah sandungan kedua yang menghambat tumbuhnya tradisi keilmuan di kalangan umat Islam Indonesia. Celakanya, dakwah semacam ini berlangsung lama, hingga Indonesia memasuki fajar Orde Baru.

Dakwah di Masa Rezim Orde Baru

Terbitnya fajar Orde Baru membawa harapan-harapan baru bagi para pemimpin umat, akan kemungkinan bangkitnya Islam sebagai kekuatan politik---mengingat peranannya begitu besar dalam mengganyang komunisme. Suatu alasan yang bisa memberikan alasan kuat tentang mengapa dakwah dengan muatan ideologis-politis yang begitu kental masih terus berlangsung sekurang-kurangnya hingga tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru.

Optimisme demikian nyaris terwujud ketika katup artikulasi politik di serambi muka Orde Baru dibuka lebar-lebar. Akan tetapi, logika sejarah kemudian berbicara lain. Krisis politik dan ekonomi yang begitu parah yang diwariskan Orde Lama, telah mendorong para pemimpin Orde Baru untuk segera memprioritaskan pembangunan ekonomi yang disokong oleh stabilitas politik yang mantap. Setidak-tidaknya begitulah yang kita simak dari pidato-pidato sloganistis para birokrat Orde Baru. Inilah yang dianggap sebagai lonceng kematian bagi format kekuatan politik berdasarkan aliran---yang sering dicap sebagai faktor instabilitas politik di masa Orde Lama. Dihilangkannya isu-isu ideologis dari percaturan politik, serta segera disusutkannya saluran artikulasi politik merupakan proyek baru Orde Baru.

Strategi politik seperti inilah yang mendorong terjadinya proses depolitisasi massa, fusi kepartaian pada tahun 1973, dan diberlakukannya Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk seluruh kekuatan sosial politik Indonesia. Bila proses depolitisasi massa mencerabutkan partai politik Islam dari grassroot-nya dan fusi kepartaian berhasil membawa konflik-konflik politik dari konflik-konflik eksternal menjadi konflik-konflik internal di dalam tubuh partai sendiri---dalam hal ini PPP, misalnya---maka hilangnya isu-isu ideologis dari percaturan politik berhasil mengaburkan jejak eksatologi politik Islam yang membawa kelesuan yang dalam bagi para kader politik Islam. Iklim politik yang nir-kondusif inilah yang pada waktunya nanti---yang disokong dengan berbagai kekecewaan lainnya, seperti kegagalan-kegagalan yang diderita PPP pada saban pemilu, ditambah dengan pertikaian internal partai yang berkepanjangan, serta ketidakmampuan para politisinya untuk memainkan peranan sebagai artikulator kepentingan Islam---menyebabkan terjadinya frustrasi politik umat Islam.

Sementara para tokoh politik Islam telah khusyuk menghayati nyanyian luka, para pemuda Islam yang selalu gelisah dan bertanya, memburu cakrawala kepastian di ruang-ruang kuliah, di layar "kotak-kotak ajaib" dan di setiap baris lembaran media cetak. Revolusi informasi yang melanda masyarakat Indonesia sekitar tahun 1970-an, memang menjanjikan kemudahan akses terhadap media massa. Dari sanalah mereka berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran lintas-kultural, memahami kondisi objektif realitas keumatan, mengetahui berbagai pengalaman perjuangan, keberhasilan serta kegagalan bangsa-bangsa lainnya di belahan dunia sana. Lalu, lahirlah kesadaran reflektif akan posisi dirinya dan setting kemasyarakatan yang dijunjungnya, bersahutan dengan meningkatnya aspirasi harapan-harapan akan kemungkinan kebangkitan Islam.

Akan tetapi, meningkatnya aspirasi dan harapan kaum muda ini tidak mendapatkan tempat penampungan yang adekuat pada wadah-wadah perjuangan yang disediakan oleh "para orangtua" mereka, yang tengah mengalami kelesuan. Maka muncullah keresahan dan ketidakpercayaan pada jalan perjuangan yang ditempuh orangtua mereka. Lantas segera berhamburan meninggalkan rumah-rumah politik orangtuanya, mencari kesejatian dirinya di alam raya. Sambil terus berjalan, mereka tak henti-hentinya dikejutkan oleh panorama-panorama kesejarahan umat yang begitu menyedihkan: kemiskinan dan keterbelakangan, ketidakadilan struktural, birokrasi yang korup, dekadensi moral, saluran artikulatif yang tersumbat, bangkrutnya sarana-sarana pendidikan Islam, dan sebagainya. Maka lunglailah pikiran mereka, lunglailah hati mereka. Sebagai penawar pelunglaian yang menyergapnya, sebagian mereka ada yang singgah di masjid---mengambil air wudhu, shalat, mengaji, mendengarkan ceramah-ceramah, lalu bertukar pengalaman dengan rekan-rekan lainnya yang berkumpul di sana. Inilah kemudian yang melahirkan kelompok-kelompok mentoring agama Islam. Sedangkan sebagian kecil lainnya yang ogah mampir ke masjid, memilih berteduh di tempat-tempat rindang dan sepi---merenung, membaca, lalu berdiskusi hingga larut malam. Inilah kemudian yang melahirkan kelompok-kelompok diskusi.

Dalam pada itu, para orangtua mereka yang telah lama melantunkan nyanyian luka, perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Dan sungguh mereka tersentak, tatkala memergoki anak-anaknya banyak yang kabur dari rumah-rumah mereka. Beruntunglah mereka cepat sadar, betapa semangat kepartaian yang terlalu jor-joran, telah mengabaikan mereka untuk mendidik dan mengasah anak-anaknya. Tanpa pikir panjang, mereka pun segera mengikuti tapak-lacak anak-anaknya yang hilang. Demikianlah, para orangtua NU misalnya, mulai meninggalkan "rumah politiknya" (PPP) pada tahun 1984, lewat pintu Muktamar Situbondo, untuk kemudian ngebut terus di jalan "Khittah 1926" dengan menggunakan sarana dakwah, pendidikan, dan sosial-ekonomi.

Begitulah kita menyaksikan, di sekitar awal tahun 1980-an, ada arus mudik dakwah Islam dari ekspresi politik ke ekspresi kultural, dari kader kepartaian ke kader intelektual. Sungguh di luar dugaan, arus mudik ini memperoleh sambutan yang luas dari berbagai kalangan masyarakat. Belakangan umat Islam baru sadar, di balik kerugian-kerugian politik yang diratapinya, lumatnya format kekuatan politik aliran akibat modernisasi politik melalui kebijakan depolitisasi dan perampingan ternyata mengakibatkan terjadinya---apa yang disebut Moeslim Abdurrahman dengan---"desimbolisasi aliran"; suatu keadaan yang membuka ekspresi keagamaan yang bebas tanpa harus terkait dengan polarisasi kekuatan politik secara formal.

Dengan keadaan seperti itu, dakwah memperoleh tempatnya yang longgar, dan Islamisasi berjalan secara lebih intensif dan ekstensif, memasuki kampus-kampus "sekular", rumah-rumah pejabat, kantor-kantor pemerintah dan swasta, bahkan sampai ke arisan para artis. Suatu hal yang sangat kondusif bagi tumbuhnya telaah-telaah keagamaan secara lebih kualitatif di masa-masa yang akan datang.

***

Namun, sayang sekali, seperti yang telah saya katakan di bagian awal tulisan ini, kendatipun secara formal dan kuantitatif kegiatan dakwah sekarang ini menunjukkan perkembangan yang pesat, tetapi secara kualitatif keadaannya masih sangat memperihatinkan, mesti ada pendekatan dan metode baru yang kita upayakan agar semaraknya kegiatan dakwah selama ini tidak terperangkap ke dalam praktik-praktik "dakwah penjenuhan"---point of diminishing return---yang bisa mengakibatkan larinya kembali orang-orang dari kegiatan ini. Yang indikasinya mulai menyergap beberapa masjid yang dulunya begitu ramai dibanjiri kegiatan dan dikunjungi banyak orang, tapi belakangan mulai menunjukkan tanda-tanda kemerosotannya.

Untuk itu, saya akan menawarkan dua alternatif guna mengatasi ancaman di atas sekaligus membawa dakwah Islam ke arah yang lebih kualitatif dan emansipatif. Pertama, perlu adanya perubahan konsep dakwah, dari dakwah linear ke dakwah sirkular. Kedua, perlunya menumbuhkan masyarakat sadar informasi (information-based society) yang bertumpu pada jaringan perpustakaan sebagai sokogurunya. Secara lebih terperinci, kedua tawaran tersebut akan saya uraikan dalam tulisan Perpustakaan sebagai Garba Informasi.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar