Selalu saja ada hal yang bisa kita petik dari ranumnya buah informasi yang tumbuh subur di kebun Republika Minggu. Laporan utama media ini (Minggu, 31 Oktober 1993) yang memuat hasil jajak pendapat (polling) tentang aspirasi sosial kaum muda, merupakan satu dari sekian banyak tebaran “hikmah” yang bisa dipungut dan didiskusikan.
Krisis Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokratis
Kamis, 22 Januari 2015
Rabu, 21 Januari 2015
Masturbasi Budaya
Ada teka-teki yang saya tak mampu pecahkan ketika di tahun 1970-an pikiran-pikiran Herbert Marcuse hinggap di kepala. Saat itu, ia menorehkan kritik tajam tentang konsep “budaya (berlibur) akhir pekan” (weekend) yang melanda masyarakat industri kapitalis.
Habibie dan "Kultur Ketiga"
Ilmu dan kekuasaan telah lama bersekutu. Sejarah perkembangan ilmu lebih mudah dijelaskan dengan logika “kemauan politik” ketimbang tuntutan intrinsik pengembangan ilmu itu sendiri. Bahkan ketika tuntutan intrinsik menghendaki tahap lanjut dari perkembangan ilmu, tuntutan ini pun sulit direalisasikan tanpa dukungan politik.
Selasa, 20 Januari 2015
Merenda Sisa-Sisa Optimisme bagi Generasi Mendatang
Berakhirnya Perang Dingin menebarkan bunga harapan yang semerbak di taman impian bangsa-bangsa. Untuk sementara, pelbagai wacana tentang bedil dan mesiu, sistem dominasi dan penghancuran ditekan ke bawah sadar. Seperti hanyut dalam optimisme Bertrand Russel (The Future of Mankind, 1984)---yang percaya bahwa kedamaian akan tiba bila terdapat hanya satu hegemoni yang memimpin dunia---banyak bangsa menaruh harapan besar pada kepemimpinan Amerika.
Bahasa dan Tradisi Berpikir Kritis
"Maaf, saya membocorkan rahasia ini kepada Anda. Tetangga saya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama, yang biasa ‘kosnya’ seratus lima puluh ribu per bulan, ternyata tidak pernah sanggup berlangganan surat kabar. Hampir saban hari dia datang ke kontrakanku, yang nota bene kusewa hanya dua ratus ribu per tahun, untuk turut nimbrung membaca berita. Dan berita apa coba yang dia baca? Iklan film, lowongan kerja, atau paling banter berita olahraga.”
Senin, 19 Januari 2015
“Quo Vadis” Sarjana Indonesia?
Adalah tidak benar stereotype yang beranggapan bahwa para sarjana Indonesia selama ini hanya pandai dalam level teoretis, namun tidak menguasai keterampilan praktis. Kenyataan yang sesungguhnya justru lebih memprihatinkan. Kebanyakan mereka justru tidak mengenal kedua-duanya---miskin teori dan tidak cakap dalam praktik.
Babak Baru Sejarah Kampus Republik
Tolong, perhatikan baik-baik! Sebentar lagi kita akan menyaksikan beraraknya awan kelabu yang menandai datangnya “zaman kegelapan” kampus-kampus di Indonesia. Ketika upaya untuk mengolahragakan (baca: olahfisik) manusia lebih terhormat daripada upaya untuk mengolahpikirkan dan mengolahsukmakan mereka, maka tatkala itu pula segala teori ekspektasi tentang kampus sebagai agent of change, atau penjaga sikap kritis, keadilan, kebenaran, dan rasio dengan sendirinya sekarat.
Minggu, 18 Januari 2015
Wajah Dunia Pendidikan Kita
Setelah dosen-dosen kritis ditendang dari universitas terpandang, olahragawan dimudahkan masuk institut “kelas pintar”, dan kewajiban skripsi mulai dibabat di perguruan tinggi kelas satu, lenyaplah konstruksi ideal jati diri kampus, sebagaimana dilukiskan Julien Benda, sebagai penjaga sikap kritis, kebenaran, keadilan, dan rasio.
Miskonsepsi Pendidikan Berorientasi Industri
Bola salju perdebatan sekitar isu pendidikan berorientasi industri (link and match) telah dan tampaknya masih akan terus menggelinding. Sebegitu jauh, belum tampak adanya aras problematik yang memudahkan kita menemukan titik-titik simpul pemecahannya, untuk pengusutan dan pengembangan lebih lanjut. Maka yang tampak kemudian bak mengurai benang kusut. Kita sibuk dalam sodoran-sodoran alternatif untuk masalah yang tidak kita pahami asal-usulnya.
Sabtu, 17 Januari 2015
Menyoal Politik Ilmu Pengetahuan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana ilmu pengetahuan Indonesia tak hentinya disesaki muatan ambisi penguasaan teknologi tinggi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sedemikian latahnya hal ini dibicarakan sampai-sampai terkesan bahwa isu tersebut lebih sering menjadi populer ketimbang dimengerti, lebih sebagai fashion ketimbang praktis dan lebih merupakan slogan ketimbang cetak biru untuk bertindak. Apa yang dihasilkan oleh situasi ini adalah intensi paradoksikal antara realitas yang terjadi. Di balik euphoria para pemimpin bangsa menyusul sukses peluncuran N-250, misalnya---yang dipandang sebagai tonggak penting menandai era teknologi tinggi, dan kemampuan mensejajarkan diri dengan negara-negara maju---taraf penguasaan teknologi yang sesungguhnya justru masih digayuti awan keprihatinan.
Menunggu Para “Raushanfekr”
Seorang wartawan The Economist---tempat Jansen, pengarang buku Militant Islam bekerja---beberapa tahun silam pernah datang ke Indonesia untuk meliput isu kebangkitan Islam di Tanah Air tempat bercokolnya mayoritas umat Islam sejagat ini. Yang menarik dari lawatan itu adalah “kenaifannya” untuk mengabaikan pencarian informasi tentang sumber kebangkitan itu dari pesantren-pesantren atau instansi-instansi Islam. Akan tetapi, ia malah melacaknya dari universitas-universitas, kampus yang bersifat sekular.
Jumat, 16 Januari 2015
Religiositas Orang-Orang Terkenal
Seorang mahasiswa UI girangnya bukan main ketika diterima kerja part time, pada sebuah organisasi beken tempat perhimpunannya para intelektual terkenal. Maka hari itu dia putuskan untuk pergi kuliah lebih dini agar bisa berbagai suka dengan rekan-rekan kelompok diskusinya, sambil membongkar memori kolektif tentang imaji tokoh-tokoh pujaan yang tersimpan di album pengumuman.
Kampus sebagai Pusat Kebangkitan Umat Bergama
Rentetan krisis yang susul menyusul mencabik-cabik “dunia Islam” dalam rentang waktu yang cukup panjang---seperti tragedi abadi yang menyayat bangsa Palestina, intervensi Uni Soviet di Afghanistan, kenestapaan bangsa Moro di Filipina, kemelut Patani di Thailand, penderitaan orang Tasykent di Asia Tengah (Rusia), pertempuran yang tak kunjung padam antara Irak dan Iran, konfrontasi “Singa Teluk Parsi” dengan seterunya koboi Amerika, bahkan dengan mitra-mitranya sendiri di negara-negara Timur Tengah---yang telah mencapai momentumnya lewat tragedi “Jumat Berdarah” yang memalukan itu---sedikit banyak telah memorak-porandakan radar analisis, dan mengembuskan angina keraguan bagi sementara kalangan umat Islam sendiri, yang pada gilirannya mendesak mereka untuk meninjau kembali slogan “Abad Kebangkitan”-nya.
Kamis, 15 Januari 2015
Kembali kepada Diri Sendiri
Ada seorang pengkhutbah dari sebuah kota kecil dan miskin, yang meniru pengkhutbah lain yang berhasil di Teheran, dan menyampaikan khutbah dari tokoh itu kata demi kata. Dia berseru, "Nyonya-Nyonya dan Tuan-Tuan, wahai kalian yang duduk di dalam mobil-mobil Cadillac besar dan melewati jalan-jalan ini, tidakkah kalian tahu bahwa ada orang-orang yang bahkan tidak memiliki sepasang sepatu yang masih utuh? Jika kalian tidak membantu mereka, maka hati-hatilah untuk tidak mengganggu mereka…." Kata-kata tersebut sangat menggugah, tetapi hanya berarti di Teheran, bukan di sebuah kota kecil. Orang yang menyampaikan khutbah ini di kota kecil, mengubah mimbarnya menjadi dagelan tragis.
Langit yang Kering dan Bumi yang Karam
Jika ada institusi kebudayaan yang begitu banyak dikeluhkan oleh umat Islam tapi nyaris tidak mendapat tempat dalam agenda pembaruan pemikiran Islam, maka itulah "kesenian".
Rabu, 14 Januari 2015
Antara Memeluk dan Dipeluk Agama
Mengaku memeluk agama tentu telah menjadi klaim kita hari-hari. Tapi apa benar sikap keberagamaan kita termasuk kategori "memeluk" agama---atau jangan-jangan justru "dipeluk" agama, tidak pernah mengusik daya kritis kita.
Visi Baru tentang Ibadah
Syahdan, sekali waktu ada seorang peserta pengajian yang bertanya kepada almarhum Buya Hamka: "Buya, katanya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar. Tapi, mengapa tetangga saya yang terkenal rajin shalatnya juga terkenal buruk perangainya?" Atas pertanyaan itu Buya menjawab: "Sudah rajin shalat saja sudah buruk perangainya, apalagi kalau dia tidak pernah shalat."
Selasa, 13 Januari 2015
Menatap Masa Depan Agama-Agama
Agama, tiba-tiba memasuki jajaran kata kunci utama, ketika kita melakukan analisis isi berita-berita media massa belakangan ini. Jika benar media massa merupakan cermin bening kondisi objektif masyarakat, maka hal itu berarti, agama sekarang ini tengah menduduki posisi sentral dalam agenda kehidupan umat manusia. Sekurang-kurangnya anggapan demikian diperteguh oleh pendapat John Naisbitt dan Patricia Aburdene, yang dalam buku Megatrends 2000-nya mengkonstantir bahwa dasawarsa 1990-an sebagai era kebangkitan kembali agama-agama (kebangkitan religius milenium baru).
"Bimbo Mania" di Bulan Ramadhan
Berpikir mendalam ala kajian wacana akan mengantarkan kita ke ufuk kesadaran baru bahwa praksis dakwah keagamaan itu tiada lain adalah perjuangan untuk menghadirkan orisinalitas. Yang terakhir ini amat penting dalam rangka menjamin rasa kepastian beragama seseorang, sekaligus sebagai selaput batas yang membedakan habitatnya dengan lingkungan ekologis "orang lain". Inilah hal yang secara psikologis sangat diperlukan untuk memperjuangkan pilihan-pilihan.
Senin, 12 Januari 2015
Mencari Bentuk Kesenian Islam
"Apa lagi yang kau risaukan? Telah kurelakan diriku menjadi pimpinan produksi," tanyaku kepada Miranda Risang Ayu pada suatu kesempatan.
Menuju Transformasi Seni Islam
Selepas menikmati presentasi "dakwah gerak"-nya Roy Julius Tobing, di Masjid Universitas Padjadjaran yang tampil pada penghujung 1990 silam, saya sempat berkata kepada Sis Triaji: "Pada waktunya nanti, orang akan memandang kesenian Islam itu identik dengan kesenian yang 'sehat', dan kesenian yang 'sehat' itu ya yang Islami."
Minggu, 11 Januari 2015
Kepicikan Pangkal Kerapuhan Ukhuwah
Sejarah memberi kita dokumentasi pelajaran yang amat berharga, bahwa sumber-sumber utama "kebangkrutan" Islam (umat Islam) bukanlah berasal dari serbuan eksternal, melainkan justru lebih dikarenakan friksi-friksi internal yang berkepanjangan.
Patologi Agama yang Merisaukan
Menjelang gerbang 1990-an, betapa banyak peristiwa keagamaan (Islam) yang menggelitik perhatian kita. Dari Jakarta terbetik kabar yang mengejutkan. Para eksponen dua mazhab Islam yang tidak pernah akur sepanjang sejarah (Sunni-Syi'ah), tiba-tiba saling bersalaman dalam suatu dialog bening, di awal langit Oktober 1989. Sementara itu, peristiwa serupa juga nyaris terjadi lebih dini di Bandung (akhir September 1989), sebelum akhirnya bermuara pada kegagalan, karena ulah beberapa oknum. Tapi tak apalah, toh itu bukan satu-satunya sensasi yang berhasil dicuatkan kota ini. Medio Juni 1989, ratusan anak muda Islam Kota Kembang, memadati beberapa bus carteran untuk memburu Jakarta guna menghadiri belasungkawa atas wafatnya Imam Khomeini di Kedubes Iran. Dan tak lama berselang, awal November tahun yang sama, ratusan mahasiswa dan pemuda dari berbagai aliran dan sekte keagamaan yang beragam, berhajat sepakat di kampus Universitas Padjadjaran, dalam rangka aksi unjuk rasa dan tafakur bersamaan berkenaan dengan fitnah yang dilontarkan terhadap Muslimlah berjilbab---sebagai biang penyebar racun makanan.
Sabtu, 10 Januari 2015
Perpustakaan sebagai Garba Informasi
Praktik dakwah yang umumnya berkembang selama ini, pada dasarnya berangkat dari suatu prakonsepsi yang beranggapan bahwa dalam proses dakwah, masyarakat adalah objek yang harus diubah dan dituntun karena ke-dha'if-an dan potensinya untuk bertindak jahil. Untuk itu menjadi tugas para dai dan lembaga dakwah dalam menjaga agar masyarakat tetap berpijak pada jalan yang lurus.
Dari Ekspresi Politik ke Ekspresi Kultural
Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, bukan saja menandai babak baru sejarah Indonesia, tapi juga membawa pengaruh yang besar terhadap warna dakwah Islam. Hajat hidup mendasar sebuah negara merdeka, seperti kebutuhan akan ideologi dan dasar negara, lalu perangkat-perangkat demokrasi sebuah negara republik---seperti UUD, partai politik, dan lembaga pemilu---ternyata tidak bisa dipenuhi secara gampang. Malah, sebaliknya, upaya pemenuhan masalah-masalah ini telah membawa Indonesia kepada konflik-konflik saudara yang begitu mencekam.
Jumat, 09 Januari 2015
Menuju Transformasi Dakwah Islam
Kita lihat dan kita hayati dalam-dalam, segala modus aksi umat manusia menjelang milenium ketiga ini tengah mengalami transformasi secara revolusioner di berbagai bidang perjuangan, kecuali di sektor dakwah Islam. Pada pokoknya aktivitas ini masih berkutat di lingkaran dakwah "cuap-cuap" yang kedalamannya---meminjam ungkapan sebuah hadis---tidak sampai di tenggorokan apalagi ke ulu hati. Sebutan yang khas untuk dakwah jenis ini adalah "santapan ruhani". Maka, setelah kenyang menyantap imbauan "surga-neraka", hadirin lantas puas dan bubar.
Kejayaan Masa Lalu sebagai Cermin
Demikianlah hari-hari kebangkitan dan kejatuhan Kami pergilirkan di antara umat manusia.
(QS Ali Imrân [3]: 140)
Kamis, 08 Januari 2015
"Imam Majhul": Wajah Islam Ahistoris
Syahdan, sekali waktu ada seorang sahabat Rasulullah saw. yang melintas di sebuah lembah yang bermata air jernih dan segar. Lembah itu begitu indah dan memesonakan, sehingga sahabat tadi berangan-angan untuk mengasingkan diri dari masyarakat agar kemudian bisa menghabiskan waktunya untuk beribadah secara khusyuk di lembah itu. Ia lantas bergegas mengadukan rencananya tersebut kepada Rasulullah saw. Lalu apa kata Rasul? "Jangan engkau lakukan itu. Kedudukan engkau di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah kamu ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga. Berjuanglah di jalan Allah." (HR At-Tirmidzi).
Revolusi Konseptual Lewat Komunikasi Bebas Penguasaan
"Revolusi konseptual" adalah kata-kata sakti yang diwiridkan begitu vokal oleh salah seorang cendekiawan Islam, Jalaluddin Rakhmat di berbagai forum pengajian. Itulah obsesinya, dan di sanalah ia mengabdikan sebagian besar hidupnya. Menurut pengakuannya sendiri, "Saya hampir gila memimpikannya." Tidak begitu jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata sakti tadi. Namun, secara samar-samar, bisa disimpulkan bahwa hal itu merujuk ke suatu ikhtiar untuk melakukan perombakan secara radikal dalam struktur kognitif, sikap, pendekatan, dan muatan berpikir umat Islam melalui cara meniupkan kembali ruh tradisi keilmuan ke dalam Islam, sebagai upaya untuk mengatasi kelesuan intelektual, kelembaman mental, konservatisme yang kaku, serta fanatisme sektarian yang membabi buta dalam struktur kesadaran umat Islam masa kini.
Rabu, 07 Januari 2015
Menuju Debat Beragama Secara Produktif
Tulisan ini berawal dari upaya untuk mengajak kita semua melewati jembatan penuh ranjau dalam "menuju debat agama secara terbuka dan produktif". Catatan singkat ini merupakan respons saya atas salah satu tulisan seorang intelektual ternama, Prof. M. Dawam Rahardjo. Meskipun belum menggunakan seluruh perangkat pisau bedah yang dimilikinya, tulisan M. Dawam Rahardjo, "Di Sekitar Cara Mendiskusikan Pendidikan Keagamaan Akhir-Akhir Ini (Republika, 8 Februari 1994), cukup menggugah kita akan gawatnya perbedaan pendapat jika hal itu tidak dikendalikan oleh akal sehat, lapang dada, dan kejujuran ilmiah.
Krisis Islam dan Keterbukaan
Revolusi informasi yang bergerak secara cepat dalam dekade terakhir ini, telah memberi kemungkinan dan akses yang lebih luas bagi umat Islam Indonesia untuk belajar tentang pengalaman perjuangan, keberhasilan dan kegagalan bangsa-bangsa lainnya di belahan dunia sana.
Selasa, 06 Januari 2015
Islam dan Budaya Demokrasi di Indonesia
Kendatipun daya resonansinya tidak sanggup menggetarkan agenda media, hingga tak terintip dari jendela publik, isu yang diperbincangkannya sungguh merupakan "critical issue", yang memainkan peranan sebagai kunci interpretasi (interpretative key) dalam meneropong atmosfer masa depan keislaman dan keindonesiaan. Begitulah apresiasi spontan saya saat diselenggarakan seminar sehari "Agama dan Demokrasi", yang diprakarsai oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), pada awal 1990-an silam di Jakarta.
Tanggapan Agama atas Kondisi Sosial Politik
Syahdan ketika api pertempuran antara Persia dan Romawi tengah berkobar begitu sengitnya, tiba-tiba saja, bala tentara Persia diterjang kehabisan perbekalan. Kisra Anusyirwan---sang raja---tidak sabar lagi menanti tibanya suplai perbekalan dari ibu kota. Maka diutuslah Bazrajamhir ke sebuah negeri tetangga (yang menjadi pecundangnya) untuk menjamin harta penduduk negeri itu yang akan segera dikembalikan begitu perang usai.
Senin, 05 Januari 2015
Tercerabut dari Akar Sejarah dan Akar Rumputnya
Apabila ada organisasi massa yang pernah memperoleh begitu banyak pengikut serta cukup berpengaruh dalam kehidupan keagamaan dan sosial-politik di tanah air ini---tapi belakangan kian ditinggalkan kesetiaan para jamaahnya serta kian surut kontribusinya bagi proses transformasi masyarakat Indonesia---maka itulah Nahdlatul Ulama (NU).
Tiga Paradigma Pemikiran Islam yang Berkembang
Konservatisme teologis dan keterbelakangan umat Islam di satu sisi vis-à-vis modernisasi, hegemoni negara dan krisis global umat manusia di sisi lain, merupakan sinyal-sinyal crucial yang menggelisahkan kalangan intelektual Islam untuk segera mengembangkan teologi baru yang lebih empowering, yang memungkinkan Islam mengaktualisasikan diri di pentas sejarah sebagai rahmat sekalian alam.
Minggu, 04 Januari 2015
Islam Indonesia, Pembaruan Keterbelakangan
Tampilnya K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziah NU setelah melampaui leleran keringat muktamar yang dirundung kecemberutan sekalangan “sayap tua”, dinilai oleh para analis sebagai indikasi yang kian memperkuat anggapan tengah terjadinya revolusi besar dalam kepemimpinan Islam Indonesia, yakni pudarnya peranan kiai (ulama tradisional) bersamaan dengan bangkitnya peranan kaum intelektual (golongan terpelajar) Islam. Pergeseran yang berlangsung pada tampuk kepemimpinan itu juga berarti angin segar yang menjanjikan transformasi sejarah Indonesia: dari ortodoksi menuju ortopraksi, dari fanatisme sektarian menuju perjuangan nonsektarian, dari Islam konservatif menuju Islam progresif.
Sebuah Prolog: Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan
Ali Syari’ati, sosiolog kondang dari Iran pada paro kedua abad ini, mengibaratkan masyarakat seperti sebuah kerucut. Pada wilayah paling bawah ada massa rakyat yang banyak, sementara di atas itu ada sekelompok elite. Kaum intelektual penghuni wilayah kerucut paling atas bergabung dengan elit lainnya dari kaum yang berbeda. Mereka tidak pernah bergabung dengan massa alit alias wong cilik, akan tetapi selalu bersama kelompok elite, bahu-membahu memelihara stabilitas status quo.
Sabtu, 03 Januari 2015
Kata Pengantar
Waktu saya diundang menulis kata pengantar untuk buku Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan ini, saya merasa memperoleh kehormatan. Topik buku tersebut penting, relevan, dan merangsang. Dan penulisnya, Sdr. Yudi Latif, layak diberikan ucapan selamat atas prestasinya.
Kehendak untuk Mengenang: Antaran ke Arah Penjelajahan
Jakarta masih bau amis darah dan bah sumpah serapah ketika seorang aktivis mahasiswa berkata di layar kaca: "kami sudah tidak percaya lagi pada para orang tua (suara masa lalu). Jika mereka tidak bersedia kami pertemukan, kami akan menempuh cara-cara sendiri untuk menghadapi problem bangsa." Pernyataan ini disusul oleh wanti-wanti aktivis lainnya di harian pagi esok hari. "Jangan sampai perjuangan ini dinodai oleh para petualang masa lalu yang bertukar baju reformasi." Masa lalu? Tiba-tiba kata ini menjadi reminder terhadap proyek penerbitan kumpulan tulisanku, yang sejak lama dipersiapkan oleh Sdr. Idi Subandy Ibrahim. Kawan Idi memilih tulisan yang berjudul "Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan", untuk dijadikan judul buku yang akan diterbitkan. Pikiran sejenak tercenung. Jangan-jangan ada cerita besar di balik kata "masa lalu" ini. Di setiap masyarakat memang kerap terjadi gap antargenerasi. Di banyak tempat, kesilaman (senioritas), misalnya, sering dijadikan sebagai ukuran kebenaran dan legitimasi. Demi sukses karier kesenimanan atau kecendekiawanan, seseorang tidak cukup mengandalkan qua kualitas, tetapi perlu ditopang oleh faktor "kecemerlangan karena berhubungan" (gilt by association). Yang muda perlu menjalin patronase dengan "singa-singa tua", pemberi tuah kredibilitas. Tetapi dalam kasus Indonesia, mengapa persoalan masa lalu menjadi lebih rumit, mengapa menjadi kata kunci dari banyak kekecewaan?
Jumat, 02 Januari 2015
Menunggu Cahaya Kearifan dari Kelamnya Masa Lalu
Beberapa bulan setelah keberangkatan Kang Yudi ke "Negeri Kanguru", Pak Utomo Dananjaya mengatakan kepada saya perihal sambutan positif terhadap Kang Yudi di kampusnya yang baru. Kabar senada juga saya peroleh dari Prof. Virginia Matheson Hooker sebagai Kepala Southeast Asia Centre, Fac. Asian Studies, ANU. Kesan demikian tentu saja membanggakan saya sebagai kawan.
Kamis, 01 Januari 2015
Tentang Penulis
Lahir di Sukabumi, 26 Agustus 1964, Yudi Latif dibesarkan dalam lingkungan NU, dan menghabiskan masa kanak-kanaknya bersama dongeng-keagamaan dan tradisi puisi kepahlawanan.
Langganan:
Postingan (Atom)