Selalu saja ada hal yang bisa kita petik dari ranumnya buah informasi yang tumbuh subur di kebun Republika Minggu. Laporan utama media ini (Minggu, 31 Oktober 1993) yang memuat hasil jajak pendapat (polling) tentang aspirasi sosial kaum muda, merupakan satu dari sekian banyak tebaran “hikmah” yang bisa dipungut dan didiskusikan.
Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan
Krisis Agama, Pengetahuan, dan Kekuasaan dalam Kebudayaan Teknokratis
Kamis, 22 Januari 2015
Rabu, 21 Januari 2015
Masturbasi Budaya
Ada teka-teki yang saya tak mampu pecahkan ketika di tahun 1970-an pikiran-pikiran Herbert Marcuse hinggap di kepala. Saat itu, ia menorehkan kritik tajam tentang konsep “budaya (berlibur) akhir pekan” (weekend) yang melanda masyarakat industri kapitalis.
Habibie dan "Kultur Ketiga"
Ilmu dan kekuasaan telah lama bersekutu. Sejarah perkembangan ilmu lebih mudah dijelaskan dengan logika “kemauan politik” ketimbang tuntutan intrinsik pengembangan ilmu itu sendiri. Bahkan ketika tuntutan intrinsik menghendaki tahap lanjut dari perkembangan ilmu, tuntutan ini pun sulit direalisasikan tanpa dukungan politik.
Selasa, 20 Januari 2015
Merenda Sisa-Sisa Optimisme bagi Generasi Mendatang
Berakhirnya Perang Dingin menebarkan bunga harapan yang semerbak di taman impian bangsa-bangsa. Untuk sementara, pelbagai wacana tentang bedil dan mesiu, sistem dominasi dan penghancuran ditekan ke bawah sadar. Seperti hanyut dalam optimisme Bertrand Russel (The Future of Mankind, 1984)---yang percaya bahwa kedamaian akan tiba bila terdapat hanya satu hegemoni yang memimpin dunia---banyak bangsa menaruh harapan besar pada kepemimpinan Amerika.
Bahasa dan Tradisi Berpikir Kritis
"Maaf, saya membocorkan rahasia ini kepada Anda. Tetangga saya, mahasiswa sebuah perguruan tinggi ternama, yang biasa ‘kosnya’ seratus lima puluh ribu per bulan, ternyata tidak pernah sanggup berlangganan surat kabar. Hampir saban hari dia datang ke kontrakanku, yang nota bene kusewa hanya dua ratus ribu per tahun, untuk turut nimbrung membaca berita. Dan berita apa coba yang dia baca? Iklan film, lowongan kerja, atau paling banter berita olahraga.”
Senin, 19 Januari 2015
“Quo Vadis” Sarjana Indonesia?
Adalah tidak benar stereotype yang beranggapan bahwa para sarjana Indonesia selama ini hanya pandai dalam level teoretis, namun tidak menguasai keterampilan praktis. Kenyataan yang sesungguhnya justru lebih memprihatinkan. Kebanyakan mereka justru tidak mengenal kedua-duanya---miskin teori dan tidak cakap dalam praktik.
Babak Baru Sejarah Kampus Republik
Tolong, perhatikan baik-baik! Sebentar lagi kita akan menyaksikan beraraknya awan kelabu yang menandai datangnya “zaman kegelapan” kampus-kampus di Indonesia. Ketika upaya untuk mengolahragakan (baca: olahfisik) manusia lebih terhormat daripada upaya untuk mengolahpikirkan dan mengolahsukmakan mereka, maka tatkala itu pula segala teori ekspektasi tentang kampus sebagai agent of change, atau penjaga sikap kritis, keadilan, kebenaran, dan rasio dengan sendirinya sekarat.
Minggu, 18 Januari 2015
Wajah Dunia Pendidikan Kita
Setelah dosen-dosen kritis ditendang dari universitas terpandang, olahragawan dimudahkan masuk institut “kelas pintar”, dan kewajiban skripsi mulai dibabat di perguruan tinggi kelas satu, lenyaplah konstruksi ideal jati diri kampus, sebagaimana dilukiskan Julien Benda, sebagai penjaga sikap kritis, kebenaran, keadilan, dan rasio.
Miskonsepsi Pendidikan Berorientasi Industri
Bola salju perdebatan sekitar isu pendidikan berorientasi industri (link and match) telah dan tampaknya masih akan terus menggelinding. Sebegitu jauh, belum tampak adanya aras problematik yang memudahkan kita menemukan titik-titik simpul pemecahannya, untuk pengusutan dan pengembangan lebih lanjut. Maka yang tampak kemudian bak mengurai benang kusut. Kita sibuk dalam sodoran-sodoran alternatif untuk masalah yang tidak kita pahami asal-usulnya.
Sabtu, 17 Januari 2015
Menyoal Politik Ilmu Pengetahuan
Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana ilmu pengetahuan Indonesia tak hentinya disesaki muatan ambisi penguasaan teknologi tinggi dan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Sedemikian latahnya hal ini dibicarakan sampai-sampai terkesan bahwa isu tersebut lebih sering menjadi populer ketimbang dimengerti, lebih sebagai fashion ketimbang praktis dan lebih merupakan slogan ketimbang cetak biru untuk bertindak. Apa yang dihasilkan oleh situasi ini adalah intensi paradoksikal antara realitas yang terjadi. Di balik euphoria para pemimpin bangsa menyusul sukses peluncuran N-250, misalnya---yang dipandang sebagai tonggak penting menandai era teknologi tinggi, dan kemampuan mensejajarkan diri dengan negara-negara maju---taraf penguasaan teknologi yang sesungguhnya justru masih digayuti awan keprihatinan.
Langganan:
Postingan (Atom)